Utopia bukan agenda dan ramalan, tetapi kewaspadaan terhadap: (i) ketidaksadaran dan (ii) retakan. Keduanya membentangkan arus dan menunjukkan hentakan kecil untuk menghancurkan rezim tanda (karena utopia memiliki titik terjauh dari penggunaan tubuh). Utopia tidak memiliki prediksi apa-apa.
Lebih dari itu, utopia berbeda dengan kuasa dan strategi-strateginya untuk menanamkan, menopengkan, mengendalikan, dan membelokkan pada sesuatu. Sebaliknya, utopia menata dan mendaur ulang bangunan terakhir dari patahan dan retakan peristiwa, membawa dunia mimpi dan fantasi sebagai anugerah.
Utopia bukanlah dialektika atau peristiwa khusus, yang dipasrahkan atau tidak dipasrahkan pada tatanan takdir.
Sehingga, ia tidak lagi melibatkan dirinya untuk mengatasi kontradiksi secara dialektis dan tidak hanya melampaui batas-batasnya yang hilang. Utopia memilih untuk melepaskan kembali tempo pembebasannya yang pernah ia rampungkan.
Utopia tidak lagi bertentangan dengan pergerakan yang melintasi setiap jaringan produksi, setiap rasionalitas, setiap irasionalitas yang rasional, setiap mitologi, setiap titik balik, dan setiap lompatan jauh ke depan. Bagi sosok utopis, negeri impian merancang dirinya dengan jaringan baru dan mengeluk-elukan kegamangan yang sepeleh.
Sebagaimana terjadi dengan yang lainnya (termasuk ideologi), utopia adalah mistifikasi. Demi mistifikasi dari utopia, kehidupan berlangsung sejak seluruh perbincangan tidak ada lagi tema tentang titik akhir, yaitu “akhir kenikmatan,” “akhir simulasi,” atau “akhir dari subyek-pencerahan.” Kini dan mungkin sampai kapan, gambaran negeri impian diproyeksikan ke depan, dimana utopia tergambar dihadapan jejak-jejaknya sendiri.
Utopia dengan melintasi permukaan tubuh yang mendukung keberadaannya. Titik tolak utopia mengambil suatu peran dari teks atau struktur bahasa politik tentang “keruntuhan mitos” atau kritik musik dan puisi atas kondisi mutakhir membuat orang menertawakan suatu permainan dari orang-orang waras. Orang berpikir mengenai pembalikan arah kenampakan ilusi tidak melawan pembebasan alam dari bualan dan tirani.
Kemungkinan-kemungkinan dibalik pandangan utopis yang tertunda. Tetapi anehnya, orang-orang tidak waras tidak membuat orang-orang tertawa.
Mereka hanya menertawakan dirinya sendiri. Orang-orang tidak waras ternyata hanya mampu berpikir apa-apa yang tidak dipikirkan oleh orang-orang yang berpikir bebas. Tidak khayal lagi, terdapat suatu masa, dimana orang-orang tidak waras akan berbicara tentang kebenaran dan logika yang akan menuntaskan seluruh alur cerita.
Lain halnya, utopia menjadi ruang untuk semua ditandai oleh “peleburan permanen birahi dan logos,” “persaudaraan sejati antara proletariat dan kapitalis,” atau “peleburan subyek dan obyek.” Kini, titik akhir itu terjadi bukan lagi di depan dan di balik layar, tetapi terkepung dari seluruh arah yang memusatkan kemampuan untuk memproyeksikan cita-cita utopia.
Terkoyaknya ideologi pasca-utopia muncul saat tidak ada lagi utopia. Yang ada hanyalah ilusi dari realitas.