Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ironi dan Kelucuan

26 November 2022   08:05 Diperbarui: 27 November 2022   19:58 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ironi (SUmber gambar : penlighten.com)

Pemikiran klasik nampaknya masih menyembunyikan ironi dan kelucuan. Apalagi dari satu konsep yang memungkinkan filsafat dipermasalahkan sedemikian rupa.

Apa jadinya, jika saya mempermasalahkan filsafat. Tidak lucu kan?

Saya bersama para besti di masa anak muda sempat menggelar kajian filsafat. Ingin tahu berapa yang hadir. Tidak cukup selusin yang hadir.

Diakui, daya minat terhadap kajian filsafat rendah. Animo kajian filsafat merosot. Hanya segelintir saja yang berminat membangun tradisi keilmuan di kalangan mahasiswa. 

Itu dulu, bagaimana sekarang? Justeru daya minat kajian filsafat yang lunglai menjadi satu permasalahan. 

Tetapi, kami anggap itu sebagai seni, sesuatu yang menantang.

Tidak keliru ada satu ungkapan. Memulai sesuatu itu yang berat. Saya kira, dimulai dari hal-hal kecil itu penting, ternyata banyak yang keok. Langkah kecil yang terseok-seok membuat peminat kajian filsafat memilih mundur secara teratur.

Begitulah cara berpikir sebagian besar kawula muda, yang sedang diuji.

Apakah mereka mempermasalahkan pemikirannya sendiri? 

Padahal, mempermasalahkan pemikiran serupa melihat bulan purnama laksana "bakpao" atau "bola salju" yang tergantung di langit, itu tidak kocak. Mempermasalahkan filsafat berarti menyediakan ruang untuk memainkan permainan bebas dengan batas-batas tertinggi dan terendah dari pemikiran.

Bagi orang-orang yang belum berpikir tentang permasalahan, maka mulailah mempermasalahkan ide dan pemikiran, bahkan kebenaran itu sendiri. Mengenai permasalahan, bukan berarti seseorang sengaja mencari permasalahan.

Satu kasus, orang setengah teler tertawa sendiri saat melihat tiang listrik. Dia melihat tiang listrik seperti orang yang sedang memanggilnya. Orang setengah teler itu tidak termasuk dalam ironi dan kelucuan.

Alasannya, karena dia tidak mempermasalahkan kebenaran. Yang tidak mempermasalahkan kebenaran bukan juga berarti divonis sebagai orang setengah teler. Jika ingin mempermasalahkan kebenaran, seseorang perlu memikirkan ironi dan kelucuan. Keduanya datang silih berganti dalam kehidupan.

***

Lucu atau tidak? Komedian pun tidak luput menghadapi ironi. Sebaliknya, ruang informasi yang menggeser pengetahuan  yang diminati kawula muda, jika tidak kecanduan berat terhadap medsos, diantaranya buku elektronik maupun lewat 'mbah' google. 

Kawula muda tidak perlu meratapi kematian Socrates karena gambaran perjalanan hidupnya begitu singkat, karena tersaji di ruang siber.

Dibandingkan hukum yang tidak memihak padanya menjadi takdir tidak mampu mengutuk pada siapapun atas nama manusia.

Kita wajar bertanya tentang hukuman apa yang setimpal dikenakan pada orang-orang yang merenggut hidup hingga nyawanya melayang hanya karena filsuf atau pemikir besar lainnya membela kebenaran dengan segenap jiwa dan raganya. Setidak-tidaknya dalam pikiran orang-orang yang melihat masih ada secerca harapan akan hari esok.

Bahwa, biarlah pihak yang mencelakai diri seseorang yang mengutuk dirinya sendiri dalam kehidupan manusia rasional agar lebih berdaulat. Sesungguhnya tidak ada lagi urusan besar dari ironi kehidupan yang bergerak mencari jejak-jejak kebenaran dan kebajikan kembali menjadi prinsip tertinggi. Kebenaran sebagai prinsip keniscayaan yang mendasari proses antara keadaan dan kenyataan, peristiwa, dan kondisi yang diharapkan.

Hal yang sama, ada pertimbangan orang-orang yang melihat masa depan, dari keadaan dimana manusia bertahan hidup melalui hiburan sesuai kelucuan (humor). Ironi sejenis kelucuan tersendiri. 

Keadaan menertawakan diri kita. Kelucuan mengatur irama konflik pikiran dengan nafsu, nurani dan godaan yang mengikuti hukum secara relatif untuk membujuk kita dan hingga melupakan keadaan kekacauan pikiran kita.

Sebaliknya, gangguan pada kelucuan justeru akan membawa kita dalam keadaan yang tidak diharapkan, energi patah semangat, bergeser dan hancurnya mencipta. Di atas semua hal itu, kematian Socrates bukan berarti kematian manusia atau kelenyapan makna.

Ironi hanyalah konsekuensi dari apa yang kita pikirkan, jika betul-betul kita berpikir dan konsekuensi dari keadaan yang membuat harapan lenyap di depan kita. Boleh kita mengatakan mengapa itu terjadi.

Apa yang bisa kita sesalkan pada Rene Descartes, yang membuat geometri kelucuan dan membuat kebenaran takluk padanya hanya melalui suatu premis cogito, sum atas ironi kehidupan. ‘Wujud tertinggi’, akhirnya tidak dibuat kelucuan dari silogisme Kant. Ironi dan kelucuan bukan hanya bentuk esensial melalui tatanan kehidupan yang ditandai oleh benda-benda, air mata, dan tawa.

Tetapi juga, ironi dan kelucuan adalah relasi esensial terhadap hukum logis yang mereka akui sebagai fungsi dan penandaannya. Sehingga, ironi merupakan cara untuk keluar dari proses pemikiran dengan jalan mana dibuat berdiri sendiri melebihi kebenaran yang ditertawakan. Kelucuan adalah usaha untuk tidak menyetujui hal-hal dipikirkan yang di luar ironi dan hukum logis di balik kehidupan. Sejauh yang kita ingat, ironi berserak-serakan di bumi.

Sebagaimana telah diketahu, bahwa dalam pemikiran filosofis yang berhubungan dengan pengetahuan membagi realitas, meliputi: (a) realitas obyektif; (b) realitas subyektif; dan (c) realitas inter-subyektif. Jenis realitas teranyar dari 'posmois', yaitu hiperealitas alias realitas baru (kecerdasan artifisial, virtualitas). 

Seluruh hal yang bisa diketahui melalui pikiran atau nalar dan indera di sebut realitas obyektif. Persepsi inderawi menyediakan syarat atas apa yang bisa dilihat, diraba, didengar, dan dirasakan oleh setiap orang diklasifikasi dalam realitas obyektif. Karena ada alasan bisa dinalar atau dipikir dan dirasakan, maka dunia luar bisa juga diukur dan dihitung sejalan dengan pemikiran ilmiah yang jelas dan pasti secara umum.

Sebagai relasi antara pengukuran dan perhitungan dengan dunia luar, yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. Seorang yang mampu mengukur dan menghitung boleh dikatakan ilmuwan. 

Tetapi, ilmuwan yang hanya berkutat pada disiplin ilmunya tetapi abai pada jeritan penderitaan banyak orang, tanpa sensivitas pada kehidupan manusia berkalang tanah yang ada di sekitarnya dan hanya hidup di atas menara gading tidak lebih dari ironi.

Kita memiliki pandangan lain atas eksistensi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat kehidupan manusia lebih nyaman, efektif dan cepat tetap ada tergelincir dalam ironi. Dampak samping ilmu pengetahuan yang tidak mampu membebaskan manusia dari keletihan, kegelisahan dan alienasi kerja yang serba mesin. Manusia telah terotomatisasi dalam kehidupan (diantaranya tokoh mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse telah menganalisis dalam One Dimensional Man). Sesuatu yang tidak tergoyahkan akibat kelahiran ironi dan kelucuan ternyata datang dari obyek yang hidup melalui mesin, yaitu ‘bio-mesin’. Suatu mesin yang merenggut jiwa, pikiran, dan kehendak manusia melalui serba teknologi kehidupan.

Kelucuan datanglah! Saya ingin cerita lucu. Ampun! Membahas logika, dimana letak lucunya? Logika matematika dalam ilmu pengetahuan meletakkan setiap pengukuran dan perhitungan sesuatu, yang disepakati melalui satuan-satuan meter, gram, kubik, ohm, dan sebagainya. 

Tetapi, jenis logika ini tidak mampu mengukur kedalaman suara batin seseorang dan tidak mampu untuk menghitung kenikmatan non fisik, kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya, dan luapan perasaan korban bencana alam yang dipertajam dengan simulasi malapetaka.

Kemiripan ironi antara kata-kata dengan ucapan dan bahasa tulisan saling bertentangan antara satu sama lainnya. Terjadi juga dalam ranah pengetahuan atas realitas obyektif, setelah pengukuran dan perhitungan dijadikan acuan untuk memproyeksi, memprediksi dan memanipulasi bukti-bukti dan hasil penemuan ilmiah demi kemakmuran material maupun keuntungan manusia.

Misalnya, seorang ahli memprediksi cuaca, memprediksi aliran listrik yang mengalir dalam komputer atau internet, yang dihubungan dengan mesin-mesin kecerdasan hingga tulisan pun bisa diselesaikan melalui perantaraannya. 

Tentu saja, masih banyak kegunaan teknologi bagi kehidupan manusia. Semuanya, membuat kita tidak merasa puas, bahkan meningkatkan keadaan pikiran yang lebih bingung dan tidak nyaman dalam mengarungi kehidupan di bawah dominasi ilmu pengetahuan.

Lebih singkat diuraikan di sini mengenai pengetahuan yang terlibat dalam realitas subyektif yang hanya dipikirkan dan dialami oleh seseorang atau segelintir orang saja. Mengenai realitas subyektif sesungguhnya lebih obyektif dari sudut pandang masing-masing orang. 

Sesuatu yang subyektif melunturkan konsensus karena kesepakatan masing-masing menurut orang-orang. Ironi dan kelucuan berlangsung dalam realitas subyektif. Katakanlah, jika seseorang yang berbicara tentang rokok itu berbahaya bagi kesehatan, sementara yang berbicara seorang perokok tulen.

Pernyataan aneh dari seseorang terjatuh dalam pertunjukan absurditas melalui tubuh dibalik realitas subyektif. Hukum pelarangan rokok tidak lagi disubversi oleh pergerakan naik dari ironi. Tetapi, pergerakan menurun dari kelucuan nampak  hukum sebagai konsekuensi darinya.

Si X mengatakan, bahwa kecantikan itu bertubuh gemuk. Menurut si Y, kecantikan itu yang bertubuh sintal. Peristiwa kelucuan muncul di saat diadakand perlombaan lari dari masing-masing yang merepsentasikan kecantikan melalui tubuh mereka.

Memang betul, tidak ada patokan akan kebenaran dari realitas subyektif, melainkan sesuatu tidak terpikir, terasa dan teralami seseorang dianggap kebenaran melalui hasrat, kesenangan, dan fantasi sekarang memiliki logika tersendiri. 

Satu hal yang patut direnungkan, bahwa semua hal yang dapat dirasa, dialami, dihasrati, dan dinalar sesudah mengalami proses materialisasi akan terjatuh dalam ilusi atau kehampaan.

Untuk bahan pertimbangan atas realitas inter-subyektif, maka layak menerima ruang pengetahuan dan imajinasi. Tampilan luar dari obyek dan subyek memperantarai kehadiran realitas inter-subyektif melalui fiksi yang berkembang menjadi narasi kecil merambah di tengah masyarakat. 

Kebenaran tidak akan muncul darinya tanpa menghubungkan dirinya dengan kondisi obyektif yang dirasa, dialami, dan dipikirkan; bersama orang-orang yang menghasrati, menikmati, dan memfantasi atas sesuatu. Orang-orang yang hidup dalam suasana nyaman sebagai bagian dari imajinasi kolektif.

Tetapi, kapan mereka menempuh perjalanan jarak jauh akan mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi dengan dunia luar ditandai keterlambatan tiba di tempat tujuan, tidak adanya prediksi cuaca sebelumnya, sehingga dapat diukur kecepatan seseorang menghadiri kegiatan. 

Hal ini merupakan pergerakan ironi tanpa absurditas yang menyamarkannya. Seseorang yang keluar dari realitas inter-subyektif tidak mendapatkan apa-apa, kecuali kekaguman sekaligus absurditas, dimana ironi dan kelucuan memancing dirinya untuk memasuki pertunjukan lebih usil dan geli.

Demikian halnya, ilmu pengetahuan menempatkan dirinya atas sesuatu sia-sia karena tidak membebaskan manusia dari muslihat ketidakhadiran akan kebenaran yang sejati terjadi melalui visi masa depan dunia. 

Kondisi sekarang berlawanan antara ironi dan kelucuan itu sendiri akibat meluapnya permasalahan yang tidak terpecahkan persis meluapnya obyek tanpa batas.

Maka ada cara lain menuju kelucuan, yaitu abai setiap tawaran pemecahan permasalahan. Urutan indikator pembangunan tidak lebih proses penyelarasan dari proyeksi, yang ironisnya menerima begitu saja alasan-alasan logis untuk menghindari bertambahnya kekacauan pikiran.

***

Ironi dan kelucuan berakar dari pemikiran klasik yang dibawa oleh filsuf kuno. Pada saat satu pergerakan lelucon ke lelucon lainnya memenuhi ruang penuh sesak, dimana kita tidak mampu berpikir, kecuali berbalik menjadi bahan tertawaan dalam pemikiran modern. 

Mungkin, sebelum dan setelah filsuf yang kita kenal sekarang tidak bermimpi ingin mati secara alamiah dan mulus, tetapi mati sambil tertawa ngakak penuh bahagia di bawah siksaan fisik dan batin.

Kebenaran dan kebajikan dipertimbangkan melalui hukum pada batas tertinggi dan terendah menyetujui pengetahuan yang kita terima dari intitusi ilmiah, baik di depan kelas (tidak heran, jika ada orang yang dieluk-elukan, akhirnya terjerat hukum karena melanggar sumpah jabatan). 

Sudah tentu, akan berbeda jika dibandingkan anak-anak muda dengan apa-apa yang dialami oleh filsuf dan pemikir besar begitu pahit dan getir.

Mari kita melihat ironi yang lain, begitu dekat dengan kehidupan dan pemikiran. Lebih dari penandaan pada teks dari seseorang untuk mengatasi lelucon konyol dibalik pengetahuan dengan  menyertai kamus, perpustakaan atau buku elektronik. Kita tidak berada dalam semesterius suatu fenomena lelucon yang mengantar kematian Socrates, filsuf atau pemikir lainnya.

Begitu adanya, dalam komik direbahkan dengan komputer untuk sementara tidak berdiam diri sambil termenung dan mengatakan pada saat tertentu. “Anda mengetahui sesuatu apa yang ada dalam pikiran Anda sendiri.” “Anda mengetahui lebih banyak daripada filsuf yang datang setelah Anda.” “Anda tidak mengetahui, bahwa lampu kamar Anda lagi tidak menyala.”

Keadaan tersebut memungkinkan seseoran mengambil komik, lalu disandingkan dengan menonton kisah filsuf modern dalam sinema. 

Obyek yang instan tidak menuntun pengetahuan, karena membuat kita malas untuk memikirkan sesuatu, yang semestinya tidak perlu diketahui melalui pemikiran filosofis.

Disitulah pengetahuan subyek tidak dapat bermain dengan pikiran bebas terhadap obyek. Dalam gabungan khusus, dari ironi dan kelucuan, kita akan melihat perbedaan antara mengetahui dan pengetahuan, pura-pura tidak tahu dan mengetahui. Semuanya adalah makhluk alamiah yang tidak dapat mengontrol dan membaca dirinya sendiri atau mendengarkan suara dari pikirannya mengenai subyek dan obyek di sekelilingnya. Kita tidak dapat memastikan obyek pengetahuan sebagai sesuatu yang otonom dalam memberikan kepastian atas diri sendiri.

Setiap orang akan menduga, bahwa Anda dapat saja menjadi subyek dan obyek berubah menjadi Anda, yang bermain dengan dunia berganti menjadi subyek dan obyek bagi dirinya sendiri. 

Dari sini, pemikiran menikung dan memutar dari arah dan jalur mana pengetahuan digali dan dimengerti oleh seseorang.

Kita menanti untuk mendengarkan bagaimana seseorang menjelaskan tentang obyek atau keadaan yang ironis berbeda dengan peristiwa lucu yang telah ditulis dan dibaca oleh orang lain. Suatu pemikiran lebih penting untuk tidak perlu dipaksa.

Selanjutnya, menerima energi yang telah letih lebih dahulu sebelum membuat dahi berkerut sebagai pelepasan, tanpa beban kemungkinan yang terjadi dari keadaan semestinya. 

Apa yang kita tidak ketahui bukan karena pengetahuan, tetapi kita tidak mampu berpikir tentang peristiwa yang remeh-temeh.

Kadangkala kelahiran ironi dan kelucuan malah akan menjadi pemikiran yang khas. Tidak jauh berbeda dengan pengetahuan, ironi dan kelucuan mengingatkan kita pada abjad atau kata-kata yang tidak sesuai dengan pembicaraan dan tinta di atas kertas.  

Andaikata obyek pengetahuan berupa pengetahuan disipliner ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan ilmu eksak begitu menggairahkan melebihi obyek yang bersifat pasif dengan maksud untuk menggoda kita. Tetapi, godaan tidak membuat kita untuk mengingatkan pada keadaan ironis dan pengetahuan yang membantu kita mencapai kesamaan akan kenyataan dengan apa yang sekadar kata-kata yang berada di atas kertas, yaitu melalui ironi dan kelucuaan.

Kita tidak mungkin akan mencapai pengetahuan begitu saja tanpa mengenal dengan baik tentang kehidupan yang ditopang oleh silih bergantinya pergerakan antara ironi dan kelucuan. 

Syarat pertama untuk mengetahui adalah melupakan pertanyaan seputar definisi pengetahuan. Terdapat kemungkinan dari kelucuan akan membantu anak-anak mengingatkannya pada orang tuanya yang sering mengisahkan sosok yang berpetualang dengan peristiwa atau keadaan ironis.

Orang-orang yang dikisahkan menemui hasrat subyek yang ironis tidak lain adalah ayahnya sendiri. Anak-anak mungkin lebih berhasrat untuk mengetahui astronomi, matematika, sejarah, biologi, dan pendidikan karakter melalui alur dan bentuk kelucuan yang mengalir dalam ingatan.

Mengenal obyek dan konsep tentang apa yang ironi dan kelucuan penting bagi anak-anak untuk meningkatkan pengetahuan. 

Misalnya, bagaimana bumi, taman, kota, desa, pabrik, rumah hunian, dan tampilan obyek lainnya tetap hijau tanpa bahaya akan degradasi lingkungan.

***

Rumah kita adalah rumah hijau (mata pun berhijau-hijau lantaran lihat duit) demi kelangsungan generasi muda dalam struktur bahasa yang terbebas dari ketidakhadiran sampah menumpuk atau bentuk pencemaran lainnya. “Anda memiliki pengetahuan mengenai betapa pentingya cahaya matahari tatkala gumpalan kabut asap menyelimuti tempat tinggal kita.” Dalam buku menggambarkan tampilan lingkungan hijau, tetapi dari tampilan terluar tetap tidak tertuntaskan dan terhayati.

Betapa tampilan luar merusak makna dari kata-kata bertentangan dengan apa yang terucap dan apa yang tertuliskan. Seseorang akan mengatakan ketidaksesuaian antara tampilan luar dan sesuatu yang disembunyikan akibat ia hanya sekadar tetek-bengek kelucuan.

Tatkala seseorang berusaha untuk mengetahui pernyataan atau obyek pembicaraan dalam kata-kata yang mengandung kelucuan, tampilan luar dari obyek terlibat bersama keadaan yang perlu dibangun untuk memenuhi kenyataan semestinya terjadi. 

Kita berusaha untuk mengetahui sesuatu dengan cara memutar-balikkan keadaan agar bertentangan dengan kenyataan, membuat lebih berbeda dengan tampilan luar melalui obyek dan subyek pengetahuan.

Dalam pengetahuan disipliner, saat Anda berusaha untuk mengetahui obyek-obyek aneh dan menantang tampilan luar atau mengaburkan pengetahuan tentang kehidupan. Maka saat itulah bagaimana bertahan hidup, ilmu pengetahuan dipaksa mengenal tahapan yang mendebarkan dengan mengambil peristiwa daur ulang obyek melalui model simulasi.

Bagaimana seseorang leluasa berdusta di balik operasi plastik. Mereka yang senang dengan permainan menantang melalui simulasi permainan. “Anda yang menjadi subyek untuk membuat kelinci percobaan sekaligus obyek pengetahuan melalui percobaan yang sama.”

Seseorang tidak merasakan mencubit kulit sendiri di saat mencubit kulit orang lain karena pengetahuan tentang obyek yang sama belum tuntas maknanya, kecuali obyek yang ironis. 

Kulit murni dipindahkan dari kulit yang berada di bagian pahanya melalui operasi plastik. Jantung seseorang yang meninggal dijadikan nilai kebajikan bagi kelangsungan hidup orang lain melalui transplantasi jantung.

Ia menjadi obyek pengetahuan dalam dunia kedokteran. Ironi adalah keterbalikan di balik dunia tiruan menjadi lebih nyata melebihi apa yang terpikirkan dan tergambarkan dari seluruh kemanusiaan yang nyaris menjadi mayat.

Apalagi yang lebih menggairahkan pikiran dibandingkan dengan ‘tampilan luar’ dari obyek tanpa batas? Orang akan mengetahui, bahwa kelenyapan obyek dan subyek tidak membuat ironi dan kelucuan ikut memudar. 

Obyek yang memudar sejauh pengetahuan melalui informasi tanpa kelucuan mengiringi kenyataan yang ironis. Mustahil pengetahuan muncul sebelum ada ironi dan kelucuan yang menguatkan eksistensinya.

Tahapan akhir dari pergerakan tampilan luar melalui simulasi hingga kita dapat mengatakan  lebih lucu dari kata-kata yang menyembunyikan apa sesungguhnya hakikat filsafat dari keadaan, ucapan atau teks tertulis. 

Pada saat seseorang memuji dan membandingkan dirinya dengan teman sejawat Anda karena kecantikannya, saat itulah Anda akan lenyap dan yang lainnya lebih nyata. 

Orang-orang akan membawa ironi keluar dari dunia ini tersimulasi hingga rampung. Anda begitu piawai memainkan gaya komedian. Anda terlihat sepuluh tahun lebih tua dari saya. Semuanya ini datang dari kelenyapan maknanya sendiri setelah melahirkan kenyataan suatu ironi subyek yang tidak berselang-seling dengan obyek. Ironi subyek yang berhubungan dengan proses kedekatan obyek terperangkap dalam dirinya sendiri.

Apakah dampak dari semuanya ini akan terlihat dalam penampakan keadaan sesungguhnya melalui keadilan hukum yang pincang? Lalu, "guys" beralih pada analisis data kemiskinan di negeri kaya? 

Terhadap absurditas hukum tertuju pada citra antara titik pergerakan naik dari ironi dan pergerakan menurun dari kelucuan. Kedua titik pergerakan menandai seseorang yang baru merahi penghargaan Revolusi Mental Award sebagai bentuk apresiasi dari pemerintah padanya, tiba-tiba ditetapkan menjadi tersangka oleh institusi penegak hukum karena kasus korupsi (lalu, siapa yang ingin bertepuk tangan?). Apakah dia telah terlanjur tidak mengetahui apa-apa (ironi berasal dari kata Yunani eironeia, yang berarti ‘pura-pura tidak mengetahui’)?  

Dalam kenyataan, ironi bisa saja menimpa seseorang yang tekun beribadah, tetapi memiliki kegemaran untuk korupsi. 

Bisa saja seseorang sedikit menggunakan suatu metafora ironi, seperti pemerintah yang lalu telah sukses menaikkan harga-harga bahan pokok; penampilannya sangat memikat, semua penonton mengantuk mendengarnya; kota besar adalah kota yang sangat aman. 

Setiap hari selalu ada kasus pencurian dan seterusnya. Ada pula nampak ironi, tetapi betul-betul suatu kelucuan, persis subyek berubah menjadi obyek atau sebaliknya.

Masih seputar absurditas hukum menjadi pembicaraan yang cukup seru sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi. “Haris pun mengaku khawatir kalau pengungkapan pelaku ini justru tidak membuka kasus Novel Baswedan. Bahkan dia menduga mereka yang ditangkap bukan pelaku sebenarnya.” ”Ini masalah sebenarnya enggak diungkap, dicariin pemain pengganti. 

Coba dijelaskan, diurai bagaimana penjelasannya, biar motifnya (terungkap), apa bales dendam,” ujar dia. Dari sini, titik pergerakan ironi jalin menjalin dengan pergerakan kelucuan. Ironi atas keadilan hukum menghadapi orang yang berdusta dalam memainkan peran ganda, dari “pemain pengganti.”

Aparatur hukum atau siapalah mungkin “pura-pura tidak mengetahui” pelaku sungguhan. Dalam kenyataannya, ironi bergerak sesuai atas pergerakan dusta, dalam kepura-puraan dipoles sedemikian rupa. 

Lain halnya, peristiwa politik menghabiskan bermilyar-milyar uang, tetapi dipenuhi sandiwara. Panggung depan bersitegang, panggung belakang bercanda ria.

Entah tertawa karena menganggap lucu lawan politiknya ataukah dia menertawakan dirinya sendiri? Suatu hal yang dianggap biasa-biasa saja, tatkala berkumpul dalam kesempatan setelah berakhir peristiwa politik yang menegangkan diiringi dengan canda tawa. 

Sebentar, mereka sebagai antar-pemain mencoba mengutak-atik angka kemiskinan dengan membandingkan modal keuntungannya yang akan dirahi besok.

Berlebihan jika pergerakan kelucuan ditampilkan paradoks Epicurean, dalam pernyataan ada penemuan obat sakit menjadi sehat, tetapi ada yang membuat peluru kimia terkutuk.

Yang satu mengobati, yang lain menyakiti bahkan membinasakan. Pergerakan kelucuan muncul di tengah kehingar-bingaran seperti dalam bait lagu: “Hewan mulai maju, kera menyandang bedil, manusia senang bugil, sungguh asyik dunia dalam berita” (Lagu Nasida Ria, Dunia Dalam Berita, karya: Drs. H. Abu Ali Haidar).

Teror dan kekacaubalauan politik perlu dirileks melalui kelucuan. Hiburan saat ini tidak hanya bergantung pada tontonan komedi di atas panggung resmi, tetapi juga membaca kata-kata lucu melalui HP. Bagaimana orang mengelak, hiburan dari kelucuan tidak melulu bertentangan dengan ironi. 

Tetapi, keduanya bisa berfungsi secara otomatis. Pada saat kita mengingat konflik berdarah di ujung negeri, di tempat lain dibuat acara lucu-lucuan agar orang-orang ikut tertawa terbahak-bahak yang membahas dan diisi oleh aktor politik di beberapa program tayangan televisi. Alur pergerakan eironeia, yaitu “orang pura-pura tidak mengetahui” apa itu jejak-jejak kelucuan. Keduanya bergerak keluar dari pengetahuan yang khas sebagai jalur pergerakannya, karena pengetahuan itu adalah dirinya sendiri.

Di bagian khatam, saya mengutip satu humor, yang mungkin dianggap lucu atau mungkin tidak lucu. Ini humornya.

"Tertawa bisa jadi obat terbaik. Tapi kalau kamu tertawa tanpa alasan yang jelas, mungkin kamu butuh obat." - dream.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun