Pertama, setelah (seandainya) pasangan XY terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, kita berharap supaya umat Islam Indonesia termasuk Muhammadiyah tidak terjebak kembali dengan hasratnya sendiri, hasrat untuk berkuasa. Memang betul, kader persyarikatan tidak boleh buta politik, jika perlu kita andai diberi amanah akan mengelola pemerintahan “ideal.” Kenapa tidak?
Tetapi, kini, umat mudah tergiring dalam model pemikiran sektarian bahkan rasial (terutama lewat media sosial). Apa yang diungkapkan oleh Prof. Amin Abdullah mengenai “kebangkitan konservatisme Islam” betul-betul ada sebagaimana “moderasi beragama” itu ada.
Kedua, meskipun kita berbeda pilihan, tidak serta merta umat Islam (kelompok Islam) mentakfiri lawan politik (tetapi saya kira, bukanlah dari kader Muhammadiyah yang ngomong begitu), diantaranya ngebully, nyinyir, dan ujaran kebencian lainnya. Dalam kesejarahan, toleransi dan demokrasi telah teruji di dunia Islam. Lantas, seseorang mengatakan: “Jangan ajari kami toleransi.” Namun demikian, kita juga dengan mudah atau terpolarisasi secara politik.
Itu biasalah dalam perbedaan pilihan. Saya pribadi, misalnya, saya mendukung si A, tidak pernah mencemoohi secara senonoh pada si B. Sebaliknya, jika pilihanku si B, saya juga tidak melontarkan kata-kata menghujat pada si A.
Karena kita sama-sama menghargai nilai kemanusiaan, sekalipun kita mengatakan agar kita saling mengingatkan dalam kebajikan atau kebenaran. Kita mencoba mempraktekkan suatu nilai kemajemukan dan berkeadaban di lingkungan kita masing-masing.
Ketiga, kritik atas kritik itu penting. Pekerjaan rumah jangka panjang (long term home work) umat Islam terutama di Indonesia, diantaranya dan hal tersebut mendasar bagaimana cara membebaskan diri kita dan keluar dari bentuk-bentuk (Faruqian): (a) Kemiskinan intelektual atau sains teknologi dan (b) Kemiskinan ekonomi. Paling tidak, kedua hal tersebut yang mendera dunia Islam.
Keempat, saya setuju dengan pernyataan Profesor Azyumardi Azra, kurang lebih: “Tidak cukup fiqih-agama menyelesaikan persoalan negara.” Apapun dan berapapun kemampuan kita secara individual maupun sosial berbuat untuk negara, bangsa dan Islam itu tidak menjadi masalah.
Kelima, kita mencoba untuk menjawab bahwa musuh paling besar bagi dunia Islam bukanlah pihak luar (sang Lain), asing dan aseng. Tidak keliru Buya Syafii jika mengatakan: “Partai Politik yang berasas Islam telah gagal mencetak Pemimpin.” Kurang lebih begitulah ungkapannya.
Tetapi, kalau umat Islam tangguh, tidak reaksioner, maju, dan berkeadaban tinggi, kita yakin bahwa bangsa dan negara lain akan segan dan menghormati (sekalipun tidak gila penghormatan) umat Islam Indonesia.
Doktor Said Rijal. "Bagi orang beriman yang masih membaca referensi wajibnya, mereka sangat mudah mengenali siapa Komunis, Syiah, Liberal, Munafik, Kafir, dan Majusi."
Nabi menjelang wafatnya berpesan: “Kutinggalkan dua perkara, jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian selamat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Tidak ada pesan berpegang pada buku Karl Marx atau Pancasila.”