Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Pembaharuan Pemikiran Islam Mandek di Muhammadiyah?

19 November 2022   17:33 Diperbarui: 12 November 2024   05:59 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Muktamar Muhammadiyah ke-48, di Solo, 2022 (Sumber foto : muktamar48.id)

Karena ada sesuatu dan lain hal, saya tidak punya kesempatan untuk menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-48, yang berlangsung pada tanggal 18-20 November 2022, di Solo. 

Praktis, saya tidak bisa mengikuti dan menyimak berita seru di luar forum permusyawaratan tertinggi di persyarikatan. Terus terang, saya menyesal lantaran terlambat menulis tentang Muhammadiyah.

Tetapi, saya sempat memerhatikan berita yang disajikan lewat situs-situs Muhammadiyah di media sosial, seperti Facebook. Agar tidak ketinggalan jauh, saya diam-diam menyimak seputar berita perhelatan Muktamar berseliweran di beberapa grup WhatsApp (WA) Muhammadiyah di daerah. Termasuk, grup WA alumni IMM. 

Lalu, saya tertegun sejenak, maklumlah lagi musim. Banyak teman mengirim informasi di grup WA, semacam tempat kemek. 

Jadi, sebelum berangkat atau sedang berada di Solo, sudah ada ajakan. “Yuk kita kemek di blablabla.” Itulah sekilas info buat “guys” (teman-teman) penggembira Muktamar.

Ada lagi, postingan di grup WA yang menarik. Ide dan pemikiran dari forum alumni IMM Sulawesi Selatan soal pembatasan masa kepengurusan pimpinan Muhammadiyah. 

Selebihnya, postingan keriangan para peserta, apalagi para penggembira dari daerah lewat grup WA. Ada postingan penggembira lagi nongkrong di dermaga pelabuhan, di bandara udara. Berpose ria di beberapa tempat di Kota Solo. 

Di hari pertama Muktamar, saya melihat postingan di WA masih marak dengan berpose ria atau menjurus “ngeceng.” Melepas rindu bersama para alumni menyertai serba-serbi Muktamar. 

Hari itu, ada agenda dan hasil sidang Tanwir Muhammadiyah dihelat di muktamar. Biasanya, sidang Tanwir membuahkan calon pimpinan pusat Muhammadiyah. Kali ini, ada 39 orang, yang akan disaring lagi menjadi 13 pesonil. Kelihatannya, Muktamar seakan-akan masih berkesan sebagai “ritual otomatis” lima tahunan. Lah, namanya juga menggembirakan Muktamar.

Di sela-sela kegiatan tersebut, soal adu konsep terasa bungkam di tengah riuhnya perhelatan Muktamar. Tidak ada “panas dingin” soal pemikiran baru, di sana. Pembicaraan di tahapan pra Muktamar pun menyodorkan nama-nama calon pimpinan untuk periode mendatang. Tidak ada yang istimewa. Atau mungkinkah Muktamar sebatas mekanisme pergantian pimpinan? Tanyaku membatin. Bagi yang tidak ikut Muktamar, tahunya ngoceh. Maunya apa? Memang begitulah.

Cukup lama, saya menantikan nuansa-nuansa baru. Jika Muhammadiyah ingin mengakhiri masa pandemi dan krisis yang lain, semua pihak juga menaruh harapan yang sama. Atau, jangan sampai saya mengidap sesuatu, semisal FOMO (fear of missing out). Ada rasa takut kecolongan momen berharga dan khawatir ketinggalan berita yang sedang trending atau terkini.

Padahal, Muhammadiyah punya waktu lima tahun untuk nge-refresh jejak-jejak dan langkah pergerakan lewat Muktamar. Apa yang kurang di Muhammadiyah? Semua yang kita butuhkan nyaris ada di persyarikatan.

Coba angkat tangan warga WA? Ayo, siapa warga medsos? Kira-kira apa yang kurang di Muhammadiyah, coba tunjukkan paling tidak di tiga dekade terakhir? Saya pak! 

Muhammadiyah telah memiliki pemikiran baru, apa itu? Sudah lupa, ya? Itu tuh tuh, “Islam Berkemajuan,” “Islam Wasathiyah (Moderat) Berkemajuan.” Ooh begitu. Kalau perlu diberi tanda atau kata-kata yang lebih menonjol dari kata-kata lain. 

Apa ada lagi? 

“Internasionalisasi Muhammadiyah,” digencarkan melalui prioritisasi pimpinan cabang istimewa Muhammadiyah, yang terbentuk di luar negeri.

Adakan Majelis Tarjih dan Tajdid. Semua hal bisa difatwakan dan diputuskan duduk perkara lewat tarjih dan tadjid. Semuanya belum memadai, bahkan belum ada terobosan baru. Saya tidak heran, sejak pagi-pagi Prof. Kuntowijoyo (1993 : 265) menyatakan bahwa, “Gerakan Sosial Muhammadiyah: Adaptasi atau Reformasi?" Manhaj tarjih, apa tidak cukup di zaman now?

Pantaslah, tiga tahun terakhir saya mengikuti obrolan alias diskusi mini-minian di grup WA alumni. Di situlah wara-wiri cara berpikir bermacam-macam. Ada teman yang sukanya takfiri, menuduh antek-antek Barat, dan sebangsanya.

Pantasan, belakang hari, setiap saya mengirim tulisan dari pentolan liberal, ada saja teman di grup WA yang interupsi (memangnya medsos bisa diinterupsi?) dan dikatai-katai. Hari kemarin saja, saya mengirim tulisan ke grup WA. Temanya, pluralisme hingga judulnya politik identitas. 

Betapa sebagian teman, ada yang “mencak-mencak” atau “kebakaran jenggot.” “Ngirim jangan yang gituan, link tulisan dari pentolan liberal masuk ke grup kader Muhammadiyah,” seru teman di grup WA. Itu baru tulisan dengan pemikirannya.

Belum lagi dalam bentuk aksi provokasi, yang akan dibuat “terbakar” kelompok garis keras. Saya sadar, yang disebut warga grup WA, sangat beragam “cara berpikirnya.” Mulai garis lucu, nyantai, nyimak hingga garis geras, juga ada.

Saya memang sering mengirim link tulisan dari si pentolan “liberal” di grup WA. “Aduhai, usahaku untuk nyentil pembaharuan pemikiran Islam di Muhammadiyah Gatot (gagal total) nih!” Saya ragu, jika ada keniscayaan pembaharuan pemikiran Islam muncul di Muhammadiyah.

***

Nah, saya ada secuil cerita. Empat atau tiga hari lagi pencoblosan (Pemilu), 17 April 2019. 

Saya tiba-tiba terkesima dengan diskusi kecil-kecilan dengan teman-teman melalui grup WA, tanggal 13 April 2019. Ada tiga doktor yang terlibat diskusi mini-minian di malam itu. Berikut ini, sekelumit hasil diskusi lewat grup WA.

Hemat saya, dalam Islam sangat menjunjung nilai atau nilai kebebasan (apakah A, B atau C, terserahlah). Dalam Al-Quran: “Laha makatsabat walakum maktastabtum wala tusalunna amma kanu ya’malun ...”. Bukankah pilihan bebas itulah yang akan dipertanggungjawabkan di Yaumil Hisab?

Sebutlah Doktor Said Rijal (nama samaran), yang pertama memantik. Begini pernyataanya. Pilihan bebas setelah menyampaikan yang haq dan yang bathil. Bukan bebas seperti pemahaman kaum Liberal yang menganggap semua pilihan kualitasnya sama.

Saya setuju dari pakar, bahwa X bukanlah tipe pemimpin umat Islam yang ideal. Daripada ... daripada ... lebih baik ... lebih baik ... Begitulah alur logikanya. Karena tidak ada yang lain.

Doktor Nuh Bahrun (nama samaran), bertutur: “Kalau berpikiran waras pilih Z, kemudian kalau berpikiran tidak waras maka pilihannya X.” Terus, saya berkomentar. “Hanya orang tidak waras atau gilalah yang selamat Doktor Nuh.” “Untuk itu sekarang dibuka pemilih sudah masuk daftar pemilih orang gila,” ujarnya.

Saya kira, “kegilaan mampu berpikir tentang sesuatu yang tidak terpikirkan oleh yang lain,” sahutku.

Begitu cermat dari Doktor Umay Luthfi (nama samaran). Apa katanya? “Bukan pemimpin Islam atau bukan. Yang jadi soal bagi saya ada koalisi sebelah yang mengkondisikan untuk paling banyak dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres/Cawapres), sehingga harus dilawan calon yang mereka usung, semoga kita bisa patahkan kesewenang-wenangan mereka menyusun Undang-Undang.”

Doktor Said Rijal, mengatakan: “Lebih baik mendukung kebangkitan konservatisme Islam daripada mendukung kebangkitan Komunis, Syiah, dan Non Muslim Radikal.”

Giliran saya. “Bisa dimaklumi hal demikian pak Doktor Umay Luthfi.” Cuma ada catatan.

Pertama, setelah (seandainya) pasangan XY terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, kita berharap supaya umat Islam Indonesia termasuk Muhammadiyah tidak terjebak kembali dengan hasratnya sendiri, hasrat untuk berkuasa. Memang betul, kader persyarikatan tidak boleh buta politik, jika perlu kita andai diberi amanah akan mengelola pemerintahan “ideal.” Kenapa tidak?

Tetapi, kini, umat mudah tergiring dalam model pemikiran sektarian bahkan rasial (terutama lewat media sosial). Apa yang diungkapkan oleh Prof. Amin Abdullah mengenai “kebangkitan konservatisme Islam” betul-betul ada sebagaimana “moderasi beragama” itu ada.

Kedua, meskipun kita berbeda pilihan, tidak serta merta umat Islam (kelompok Islam) mentakfiri lawan politik (tetapi saya kira, bukanlah dari kader Muhammadiyah yang ngomong begitu), diantaranya ngebully, nyinyir, dan ujaran kebencian lainnya. Dalam kesejarahan, toleransi dan demokrasi telah teruji di dunia Islam. Lantas, seseorang mengatakan: “Jangan ajari kami toleransi.” Namun demikian, kita juga dengan mudah atau terpolarisasi secara politik.

Itu biasalah dalam perbedaan pilihan. Saya pribadi, misalnya, saya mendukung si A, tidak pernah mencemoohi secara senonoh pada si B. Sebaliknya, jika pilihanku si B, saya juga tidak melontarkan kata-kata menghujat pada si A.

Karena kita sama-sama menghargai nilai kemanusiaan, sekalipun kita mengatakan agar kita saling mengingatkan dalam kebajikan atau kebenaran. Kita mencoba mempraktekkan suatu nilai kemajemukan dan berkeadaban di lingkungan kita masing-masing.

Ketiga, kritik atas kritik itu penting. Pekerjaan rumah jangka panjang (long term home work) umat Islam terutama di Indonesia, diantaranya dan hal tersebut mendasar bagaimana cara membebaskan diri kita dan keluar dari bentuk-bentuk (Faruqian): (a) Kemiskinan intelektual atau sains teknologi dan (b) Kemiskinan ekonomi. Paling tidak, kedua hal tersebut yang mendera dunia Islam.

Keempat, saya setuju dengan pernyataan Profesor Azyumardi Azra, kurang lebih: “Tidak cukup fiqih-agama menyelesaikan persoalan negara.” Apapun dan berapapun kemampuan kita secara individual maupun sosial berbuat untuk negara, bangsa dan Islam itu tidak menjadi masalah.

Kelima, kita mencoba untuk menjawab bahwa musuh paling besar bagi dunia Islam bukanlah pihak luar (sang Lain), asing dan aseng. Tidak keliru Buya Syafii jika mengatakan: “Partai Politik yang berasas Islam telah gagal mencetak Pemimpin.” Kurang lebih begitulah ungkapannya. 

Tetapi, kalau umat Islam tangguh, tidak reaksioner, maju, dan berkeadaban tinggi, kita yakin bahwa bangsa dan negara lain akan segan dan menghormati (sekalipun tidak gila penghormatan) umat Islam Indonesia.

Doktor Said Rijal. "Bagi orang beriman yang masih membaca referensi wajibnya,  mereka sangat mudah mengenali siapa Komunis, Syiah, Liberal, Munafik, Kafir, dan Majusi."

Nabi menjelang wafatnya berpesan: “Kutinggalkan dua perkara,  jika kalian berpegang teguh padanya,  maka kalian selamat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Tidak ada pesan berpegang pada buku Karl Marx atau Pancasila.”

Saya berpandangan lain. Kalau kita mengkaji atau menganalisis Doktor Said Rijal, sekarang ini sudah sulit membedakan yang mana Komunis, Muslim, Syiah, dan Non Muslim, yang mana kapitalis dan sosialis komunis? Apa alasanku?

Koperasi yang dikatakan sebagai soko guru ekonomi yang sesuai dengan asas kekeluargaan Indonesia, pada kenyataannya terjadi pada “anggota memakan anggota,” saling mengeksploitasi.

Perusahaan besar (seperti yang bergerak di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, perkebunan, energi, dan pertambangan, properti/perumahan), yang notabene berhaluan kapitalis dituntut untuk menjalankan CSR (tanggungjawab sosial perusahaan).

Fakta, dalam politik praktis umat (mayoritas terutama di daerah-daerah) di Indonesia tidak jarang melakukan hallal’a hullulu’ (menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan), memperalat orang lain demi kenikmatan politik dan hal itu berlangsung sampai sekarang. Bukankah praktik-praktik tersebut beraroma (telah mnenjurus) komunis?

Kita mengetahui bersama, bahwa Republik Rakyat Tionghoa (RRT) pasca-Perang Dingin tanpa malu-malu mencoba mempraktekkan sistem ekonomi pasar (kapitalisme global), sekalipun tetap mempertahankan rezim komunisnya.

Ideologi apapun yang dianut, ia akan diambilalih oleh “simulasi” dan “skenario,” yang menghegemoni global (termasuk politik AS cs).

Dimanakah Dunia Islam (termasuk umat Indonesia) yang kaya raya akan sumberdaya alam? Ditambah lagi peristiwa ironis di Timur Tengah (dunia Islam) saling cakar, dibodoh-bodohi, saling membunuh, atau ditunggangi oleh hegemoni global.

Doktor Nuh Bahrun.  "Astaqfirullah azhim banyak istiqfar, sudah jelas di belakang Z, Komunis, Syiah, LGBT, Sekuler, masih tidak bisa dibedakan, maka hal seperti itu sudah buta hati, pendengaran, dan penglihatan. Wahai para penyokong di atas bertobatlah, sebelum ajal tiba!"

Saya menanggapi Doktor Nuh Bahrun, yang mempermasalahkan hubungan Z, Komunis, Syiah, LGBT, Sekuler.

Saya melihat tidak relevan lagi dengan Z, Doktor Nuh Bahrun. Menyangkut masalah Syiah, LGBT, sekuler, dan seterusnya, sekali lagi tidak ada hubungannya, karena jauh-jauh sebelumnya secara genealogi telah ada memang sejak dahulu. 

Misalnya, masalah LGBT, bukankah akar-akar sejarahnya telah ada sejak Nabi Luth As dan kaumnya. Sekuler (secara harfiah, berarti dunia, saat ini, temporal, jangka pendek), selama kita masih hidup di dunia, kita tidak bisa lepas dari sekuler.

Umat Islam sering terkondisikan. Baik Z maupun sparing partnernya (X) dan para Timnya sama-sama memiliki kecenderungan terhadap apa yang disebut “Politik Ketakutan” (meminjam teori Slavoj Zizek), antara lain:  Z takut kalah, takut pada negara khilafah, takut militeristik, takut teroris, takut akan kembalinya Orde Baru, takut kehilangan kesempatan kedua kalinya untuk mewujudkan janji-janji politiknya, dan seterusnya. X dan Timnya takut tidak menang, takut akan PKI atau komunis, takut liberalis dan sekuler, takut antek asing dan aseng, takut merajalelanya LGBT, takut Islam lenyap di bumi Indonesia, dan seterusnya.

Menyangkut apa yang diungkapkan oleh Doktor Said Rijal, mengenai orang beriman yang masih membaca referensi wajibnya, mereka sangat mudah mengenali siapa Komunis, Syiah, Liberal, Munafik, Kafir, dan Majusi serta wasiat Nabi SAW menjelang wafatnya. Saya ingin menyampaikan.

Pertama, bahwa jauh dari substansi perbincangan melalui diskusi kita (menghilir mudik bin cicle reasoning).

Kedua, tidak ada hubungannya antara 'pilihan bebas' atau kebebasan itu sendiri dengan Komunis, Syiah, Liberal, Munafik, dan seterusnya. Pilihan bebas ada sejak zaman batu, zaman Nabi Adam As, dari “buah khuldi” ke “buah virtual” hingga pilihan bebas tercekik antara papyrus dan cyberneticus. Pilihan bebas merupakan potensi manusia yang selalu ada dalam setiap sejarah, zaman dan masyarakat.

Ketiga, dua perkara yang ditinggalkan atau diwasiatkan (Al-Qur'an-Assunnah) sepeninggal Rasul SAW pada 14 abad yang lalu bukanlah sesuatu yang taken for granted atau sebagai tanda baca titik (.). Kita mengetahui, bahwa Al Qur'an bersifat mujmal (global), berarti kandungan (a) tidak terinci atau tetet benget dan (b) tidak bertentangan dan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang bersumber dari buku dan karya atau teori lain, sekalipun dari non muslim.

Karena itu, apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an akan dan telah dijelaskan melalui buku dan karya atau teori lain. Misalnya, proses pembuahan antara sperma dan ovum itu tidak dijelaskan, bahwa sekitar tiga juta sel sperma mendekati sel telur, tetapi hanya satu sel sperma yang samapai atau bertemu dengan sel telur (tanpa mendahului para Profesor, Doktor di sini), tetapi diungkap lewat ilmu pengetahuan.

Begitu pula dalam bidang astronomi, fisika, kimia, matematika, psikologi, sosiologi, dan seterusnya. Saya sependapat dengan sang intelektual  besar Islam, seperti Profesor Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa Al-Qur'an sesuatu yang sudah permanen. Tetapi, pemikiran yang ada didalamnya tidak pernah final seiring perjalanan waktu, dari satu zaman ke zaman lain.

Itulah sebabnya munculnya para mufassirin, mutakallimin dan fuqaha yang bertugas untuk memahami teks Al-Qur'an dan Al-Hadits, dan seterusnya, yang terikat dengan ruang dan waktu.

Keempat, mengapa kita dimungkinkan beritijhad dan bahkan menafsirkan dan memahami ulang terutama dari pihak otoritas keilmuan tentangnya? 

Karena itu, Rasulullah SAW menjawab setiap permasalahan yang dihadapi umat baik bidang Aqidah ibadah, hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seterusnya dengan asbabun nuzul yang begitu dahsyat dijawab langsung oleh Rasulullah SAW melalui wahyu dengan perantaraan malaikat Jibril As.

Jadi, setiap perkataan atau ujaran, pandangan, sikap, dan tindakan Rasulullah SAW dalam menjawab permasalahan umat berdasarkan asbabun nuzulnya itu telah final. Tidak ada orang di yang melangkahi otoritasnya. Nah, sepeninggal beliau ada ulama pewaris Nabi yang tentu saja kaya dengan pandangan baru, penafsiran dan pemahaman ulang atas situasi dan kondisi yang berkembang mengelilingi kita. Makanya, tidak ada ulama yang mengatakan, bahwa “pendapatku sudah final”. Umat ini perlu berada dalam perubahan terus menerus (anti jumud).

Kelima, tentang Karl Marx. Saya juga bukan ahlu ‘ilm tentangnya. (a) Sepanjang pembacaan saya, satu-satunya agama yang paling menghargai prinsip pilihan bebas adalah Islam; (b) Sejauh yang saya baca, Karl Marx tidak pernah menyerang, menghina, dan menjungkirbalikkan agama Islam. Ia hanya menyerang dan menghabisi tiga serangkai kuasa. Agamawan, politisi atau birokrat, dan borjuis atau kapitalis.

Sampai sekarang saya belum memahami apa makna Karl Marx dalam karya ilmiah yang panjang dan melelahkan bahkan sangat berpengaruh dalam menggerakkan perubahan dunia, sepertiga belahan bumi, yaitu Capital (Volume 1) yang ditulis semasa hidupnya dan Volume 2 dan 3 ditulis saat anumerta.

Satu-satunya pemikir dan filsuf posmodernis yang mampu mereproduksi pemikiran dan teori Karl Marx adalah sosok Jean Baudrillard (The Mirror of Production, For a Critque of Political Economy of the Sign) maupun Jean Francois Lyotard (Libidinal Economy). Baudrillard misalnya, mengkritik Karl Marx dengan teorinya: fase masyarakat primitif, agraris, feodal, dan komunis menjadi masyarakat agraris, masyarakat industrial, dan masyarakat informasi.

Keenam, sekadar mengingatkan Doktor Said Rijal. Alat analisis dan kritik dalam menentang kolonialisme atau kapitalisme di bumi pertiwi. Seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka, HOS Cokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Misbach, dan seterusnya, yakni Karl Marx-Marxisme. Belakangan terjadi sintesis dialektika dengan teori keadilan Islam (diantarnya KH. Ahmad Dahlan.dengan teologi Al-Maun di Indonesia, seperti arah dari buku karya Profesor Abdul Munir Mulkhan: “Marhaenisme Muhammadiyah ...,” dan seterusnya). Saya melihat kecenderungan akan kesana sebagai “pengulangan.”

Ketujuh, umat Islam perlu menggunakan teori “Teologi Materialis” atau “Islam Materialis” tanpa menelan mentah-mentah teori Dialektika Materialisme-Karl Marx. Maksudnya, begini. Cobalah kita bayangkan seandainya Wahyu hanya sebatas Wahyu yang diterima oleh Rasul SAW melalui perantaraan malaikat Jibril As. Selanjutnya, jika tidak dimaterialisasi hingga dalam bentuk Mushaf Al-Quran, saya yakin, kita sangat kesulitan untuk membaca, memahami bahkan mengamalkannya.

Mungkin lewat teks tertulis, umat Islam hidup butuh materialitas. Karena itu, pemikiran modern mengenai peradaban mula-mula muncul lewat teks tertulis.

Kedelapan, salah satu faktor penghambat pemikiran umat Islam ke arah kebangkitan Islam dari tidurnya yang panjang adalah mengidap Xenophobia. Kita takut dituduh murtad bahkan kafir.

Doktor Said Rijal. "Terima kasih penjelasannya yang panjang lebar, Ermansyah R. Hindi.  Saya hanya ingin menanggapi poin ke-6 (enam). Menurut saya itu kesimpulan yang bersumber dari fanatisme ekstrim terhadap Marxisme. Menurut saya, perlawanan terhadap penjajahan di nusantara bersumber dari spirit Islam, yaitu Jihad fii Sabilillah. Itulah yang paling ditakuti Penjajah. Para pengusung Marxisme seperti Tan Malaka atau Nasionalisme seperti Bung Karno hanya mendompleng dan memanfaatkan ruhul Jihad Ummat Islam," ujar Doktor Said Rijal.

Saya bukanlah seorang Marxis apalagi fanatisme ekstrim, bukan mentaklidbutai “model pemikiran” lain atau saya bukanlah siapa-siapa. Saya mencoba untuk melampauinya (beyond of beyond)," pungkasku.

Jihad sekedar semangat. Maksud saya, buktinya apa. Analisis dan kritik ideologi terhadap kolonialisme atau imperialisme asing tidak datang dari kitab-kitab gundul apalagi wejangan para Kiyai pada zaman itu.

Cobalah kita baca ulang buku-buku, seperti Sosialisme Islam HOS Cokroaminoto, Menuju Republik Indonesia Tan Malaka, Di Bawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat Soekarno, Demokrasi Kita Mohammad Hatta, termasuk sosok Haji Misbach (oknum Muhammadiyah yang “nyeberang” ke gerakan “Kiri”).

Semuanya menggunakan analisis atau kritik ideologi sosialisme atau Marxisme untuk melawan ideologi kapitalisme atau kolonialisme. Kata lain, karya buku atau teori sosialisme atau ideologi Islam atas penjajahan belum ada pada waktu itu.

Intinya, alat analisis dan kritik untuk melawan bangsa kolonial atau kaum kapitalis yang menyengsarakan rakyat pada waktu itu tidak ditemukan dalam kitab dan karya lain dari para pejuang atau tokoh Islam. Dalam pembacaan atas analisis teks Karl Marx dan kaum Marxis lain, ternyata dari tokoh yang disebutkan di atas telah menemukan konsep pergerakan tentang taktik, strategi, dan seterusnya dalam melawan bangsa penjajah.

***

Singkat kata, saya mencoba untuk merangkum (meskipun saya bukan ahlinya) permasalahan tentang mengapa Muhammadiyah mandek dalam pembaharuan pemikiran Islam (tajdid al-fikr ad-Dini, ciee istilah Arab nih!) sejak lebih 100 tahun usianya. Katanya, Muhammadiyah sebagai gerakan modernis, gerakan reformasi, dan segudang istilah lain.

Pertama, melimpahnya pertumbuhan dan perluasan akses amal usaha Muhammadiyah, terutama bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lain. Kader mungkin merasa “puas” atas apa yang dimiliki persyarikatan.

Apa kata orang? Muhammadiyah lebih cenderung menjadi gerakan amal. Muhammadiyah “bangga” pada ratusan hingga ribuan amal usaha, yang tersebar di seluruh tanah air. Kekayaan melimpah, baik fisik maupun keuangan.

Doktrin tentang ilmu tidak cukup, maka amal yang mewujudkan segala impian, memihak pada Muhammadiyah. Buat apa melakukan pembaharuan pemikiran Islam, kalau hanya sebatas diskursus alias wacana semua orang juga bisa lakukan.

Sangat lumayan, jika semua amal usaha Muhammadiyah bertujuan untuk mengatasi “omong doang” dari orang-orang yang hanya ‘merenung’ dan ‘berpikir’ belaka. 

Kenyataannya, banyak fasilitas, dari terasi ke bagasi pesawat terbang, dari bumbu penyedap rasa hingga rasa dunia tidak selebar daun kelor lewat hape, medsos, dan teknologi canggih lainnya, yang kita nikmati hari ini merupakan “hasil kerja” pemikiran atau teori dari para pemikir.

Kedua, keengganan menerima tuduhan kafir, murtad, sekuler, dan julukan peyoratif lainnya. Muhammadiyah dengan kader-kadernya nampak terjebak oleh doktrin sendiri. Arruju ilal Quran wa Sunnah, misalnya, sebagian warga Muhammadiyah hanya memahami tek-teksnya (ahl-naql) tanpa memikirkan atau menafsirkan apa yang dibalik teks berupa konteksnya (ahl-aql). Jadinya, sebagian besar juga ikut-ikutan melihat permasalahan dan keadaan tertentu dengan “kaca mata kuda” hingga cap “hitam putih” atas sesuatu.

Saya sering mendengar dan sekelumit membaca istilah Islam dan pemikiran Islam. Katanya, Islam sebagai agama final atau permanen berbeda dengan pemikiran Islam, tidak mengenal kata final, tanpa henti.

Saya juga melihat, redupnya pembaharuan pemikiran Islam di Muhammadiyah akibat istilah tradisi Islam dibenturkan modernis Islam.

Lucunya, banyak warga Muhammadiyah masih “ alergi” dengan tradisi pemikiran filsafat, dimana filsafat Barat tidak mendapat perhatian begitu luas melalui pengulasan, penafsiran, dan penulisan dari kaum intelektual atau filsuf dari kawasan lain, seperti dunia Timur. 

Apa buktinya? Sampai saat ini, jangankan mendirikan sekolah tinggi filsafat, membentuk dan membuka jurusan filsafat di perguruan tinggi Muhammadiyah, jika bukan angan-angan, masih kosong melompong.

Kita tahu, zaman keemasan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, dekade 70-an dan 80-an. Bagaimana, jika semangat pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia ditarik ke forum Muktamar Muhammadiyah ke-48 di E.G.M (Era Google, Medsos)? Itupun jika dianggap sebagai permasalahan, lantas E.G.P (Emang Gue Pikirin).

Jika saja teman-teman di Muhammadiyah mengobrol tentang perlunya tradisi keilmuan dan pemikiran Islam sebisa mungkin diperdebatkan, dikritik (criticable), serta bisa ditafsirkan ulang (re-interpretable)

Saya kira, soal ‘kemajemukan makna’ dalam teks al-Quran tidak terelakkan. Bayangkan, seratus ahli berbicara dengan satu landasan ayat yang sama, maka yang muncul seratus hingga lebih penafsiran atau pemahaman agama dan sekitarnya.

Adanya diskursus filosofis dan diskursus ilmiah (mestinya dimulai dari diskusi atau kajian) terlepas apakah melampaui ambang batasnya masing-masing atau tidak, Muhammadiyah tetap memerhatikan pendekatan-pendekatan lain.

Pendekatan analitik terhadap sejarah pemikiran, misalnya, juga tetap digunakan. Dalam hal ini, semua sains merupakan tahapan hasil dari pemikiran. Tidak hanya di wilayah filsafat, fisika, matematika, astronomi, ilmu kedokteran, dan sebagainya, tetapi juga termasuk ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu kalam, ilmu fikih, dan sebagainya. Semuanya mesti melalui tahapan kritik, verifikasi, dan falsifikasi (ala Muhammadiyah) dengan meletakkan kaidah atau prosedur ilmiah, yang berbeda dari pemikiran sebelumnya. Sekian dulu ya! Selamat dan sukses Muktamar Muhammadiyah ke-48!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun