Kebenaran sebagai diskursus yang dimaksud bukan datang dari pengetahuan yang di saat-saat tertentu akan terjatuh dalam kekeliruan.
Hilangnya penjagaan diri membuat seks rusak. Penjagaan diri justeru merupakan bagian dari kebenaran seks.
Pertanyaan yang dapat diajukan di sini. Bukankah penyelewengan seks bersifat manusiawi juga menjadi bagian dari kebenaran? Penyelewengan seks turut andil dalam dinamika kehidupan.
Selama seks dijajakan, bukan djaga dan diarahkan pada sesuatu yang luhur dan bermartabat, maka tidak ada prilaku seksual yang dikutuk. Peristiwa seks bukan berarti kegiatan seksual yang jauh dari penyimpangan dan terhindarkan dari celaan.
Seks tidak perlu diatur, karena pengaturan, hukum kesusilaan dan kesopanan selama berlebih-lebihan pun perlu diawasi dan dikelola secara proporsional dan terpadu, secara individual dan institusional.
Tidak mustahil, hal-hal dianggap wajar sesuai peraturan dan hukum yang berlaku justeru akan mendorong perilaku seksual yang menyimpang, memicu nafsu birahi melalui tubuh antar individu atau antar lain jenis.
Satu-satunya “pengendali” di luar pengawasan institusi kuasa negara adalah “pengendali” atau “mata-mata” atas dirinya sendiri.
Tetapi, sejauh manakah seseorang mampu mengawasi atau mengendalikan diri dari rayuan nafsu birahi bertubi-tubi yang datang dari dalam diri sendiri, dari arah depan, dari samping dan dari belakang? Berkuasakah seseorang atas dirinya dari muslihat nafsu birahi di balik kegiatan seks?
Semuanya itu masih tetap melibatkan prosedur (apabila ada prosedur) pengelolaan seks secara individual dan institusional.
Pengendali atau mata-mata atas dirinya sendiri secara individual dalam kegiatan seks yang menyimpang memiliki kelebihan, yaitu tidak menyerahkan begitu saja secara bulat-bulat pada institusi kuasa legal.
Karena alasan-alasan pelanggaran dan penyelewengan seks akan diadili dan dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh dirinya sendiri dan institusi keluarga.