Berbagai alasan penundaan pemilu terutarakan dan aneka strategi pembujukan dari segelintir elite politik, yang ternilai telah terpisah dengan induk partai politik.
Para elite cenderung lebih dekat dengan lingkaran kuasa negara, yang memupuk manuver untuk meningkatkan rangsangan fantasi seksual berupa kepentingan di balik wacana.
Secara gamblang, dalam wacana tentang penundaan pemilulah kuasa terkejar dalam fantasi seksual. Suatu fantasi tanpa "organ," yang membuat orang bisa terobsesi, terbuai, dan melayang bebas.
Rangsangan wacana politik antara pengetahuan tentang sistem yuridis melalui konstitusi dan informasi melalui media sosial dan media lain yang tersaji di hadapan khalayak.
Suatu rezim wacana yang menggiring kepentingan bercokol di dalamnya makin cair dan berubah-ubah.
Dalam logika sensor, upaya pelarangan untuk menunda pemilu memiliki tiga penanda, yaitu “tunda” tidak boleh, menghalangi “di sini” untuk diperbincangkan, dan menyangkal atau menolak bahwa “di situ” pelanggaran.
Bentuk-bentuk itu nampaknya sulit untuk kita satukan. Tetapi, atas dorongan itu, elite politik tetap tertantang dan tergoda.
Karena itu, jika wacana penundaan pemilu sebagai bagian dari kebebasan berbicara, maka sesuatu energi yang terungkapkan dari fantasi seksual tanpa "organ" (ala Deleuzean) diramu oleh elite politik.
Gambaran penundaan pemilu tidak bisa dipaksakan sebagai sekadar ruang proyeksi dari kepentingan tertentu dengan berbagai mekanisme kuasa.
Lebih jelasnya, wacana tentang penundaan pemilu yang menggiurkan terlokalisir dalam kuasa elite politik. Wacananya merupakan langkah taktis, di mana fungsinya tidak seragam dan stabil.
Membayangkan satu wacana tersebar di antara wacana tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang tertolak.