Pernyataan secara resmi bukanlah proyeksi mutlak dari elite politik terhadap pemihakan tertentu, tetapi kepentingan terselubung.
Sekadar strategi penjinakan saja tidak mempan untuk menggoda orang-orang di ruang publik. Karena apa?
Tidak lain dari masyarakat berada di era media sosial, yang meledak keluar dan sulit untuk terinterupsi saat aliran bebas wacana seketika membludak.
Berkat ketransparanan media sosial, sehingga membuat sebagian besar masyarakat pun tidak meniru elite politik. Sebagian besar fenomena kekinian di ruang publik nampak tidak tergesa-gesa dan tidak larut untuk menyerukan wacana tentang penundaan Pemilu 2024. Masyarakat rupanya sudah mulai paham dengan keadaan di sekitarnya.
Berbagai alasan penundaan pemilu terutarakan dan aneka strategi pembujukan dari segelintir elite politik, yang ternilai telah terpisah dengan induk partai politik.
Para elite cenderung lebih dekat dengan lingkaran kuasa negara, yang memupuk manuver untuk meningkatkan rangsangan fantasi seksual berupa kepentingan di balik wacana.
Secara gamblang, dalam wacana tentang penundaan pemilulah kuasa terkejar dalam fantasi seksual. Suatu fantasi tanpa "organ," yang membuat orang bisa terobsesi, terbuai, dan melayang bebas.
Rangsangan wacana politik antara pengetahuan tentang sistem yuridis melalui konstitusi dan informasi melalui media sosial dan media lain yang tersaji di hadapan khalayak.
Suatu rezim wacana yang menggiring kepentingan bercokol di dalamnya makin cair dan berubah-ubah.
Dalam logika sensor, upaya pelarangan untuk menunda pemilu memiliki tiga penanda, yaitu “tunda” tidak boleh, menghalangi “di sini” untuk diperbincangkan, dan menyangkal atau menolak bahwa “di situ” pelanggaran.
Bentuk-bentuk itu nampaknya sulit untuk kita satukan. Tetapi, atas dorongan itu, elite politik tetap tertantang dan tergoda.