Wacana yang jumlahnya masih terbatas akan berlipat ganda. Berbagai kuasa dan permainan kepentingan bertautan dengan kenikmatan. Fantasi kosongkah semua itu? Apakah elite politik ada kesan mengada-mengada?
Fantasi seksual bagi elite politik bukanlah seperti cara merangsang di permukaan tubuh agar mereka berbicara.
Mereka berbicara karena fantasi seksual “tersembunyi” di balik tubuh politik. Ia bersifat abstrak dengan melipatgandakan wacana, yang telah menjadikan posisi lawan jenis kepentingan sebagai berahi politik sebagai objek.
Sejalan dengan wacana tentang penundaan pemilu, yang memungkinkan terdapat titik celah bisa dimainkan menjadi wacana yang diterima dan wacana yang ditolak. Wacana sejauh hal itu tidak ditabukan sebagaimana fantasi seksual secara alamiah dimiliki siapa saja orangnya termasuk elite politik di negeri ini.
Lalu, pertanyaannya, apakah elite politik mendominasi wacana tentang penundaan pemilu?
Tidak keliru jawabannya tersedia melalui keputusan elite politik. Sebab, konstitusi bukan lagi sebagai taraf wacana yang mengatur pelaksanaan pemilu dan masa jabatan presiden, melainkan bagaimana mewujudkan praktik wacana yang berubah menjadi wacana lain dalam bentuk amandemen konstitusi.
Di situlah letak daya pikatnya, sesuatu yang seksual. Wacana berfungsi untuk mengatasi kebungkaman-kebungkaman atau ketabuan. Baik rezim wacana maupun konstitusi sebagai “lekukan” yang merangsang fantasi.
Yang nyata dan imajiner datang darinya. Semuanya mungkin bisa tersentuh atau tergelitik dari bagian mana lekukannya.
Untuk menghindari masa depan bangsa yang suram, marilah kita bersyukur pada fantasi seksual dengan mengelolanya secara terhormat. Karena keduanyalah para elite politik bisa bermain untuk keluar dari fantasi kosong dan rasa cepat puas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H