Dalam perkembangan pengetahuan, fantasi seksual tidak lagi sebagai energi berahi semata-mata berhubungan dengan penampilan tubuh dan rinciannya yang menggoda.
Jadi, keterusterangan berbicara, sekalipun itu sangat aneh dan retorika yang ngelantur sama pentingnya keterusterangan untuk mengakui pernyataan politik. Wacana politik yang "panas" tidak bisa terlepas dari fantasi seksual yang menggoda dan mampu melunturkan daya nalar atau kesadaran diri.
Tidak heran pula, aliran fantasi dan hasrat para elite politik untuk menunda pemilu sama merangsang dan menantangnya "lekukan" dan "desahan" lawan jenis perseteruan kepentingan.
Dalam istilah Foucaldian, jagat mini politik-kuasa serupa dengan dunia fantasi atau hasrat untuk menyukai lawan jenis permainan kepentingan.Â
Rangsangan wacana membuat elite politik makin penasaran terhadap dunia luar.
Mustahil seseorang tertarik pada jenis wacana penundaan pemilu jika tidak ada kepentingan bercokol, yang terdorong oleh fantasi untuk menyukai sesuatu. Terbayanglah di fantasi para elite politik sesuatu yang merangsang libido demi kepentingan bercokol.
Sekali tersalurkan fantasi elite politik, maka di situlah mereka dimungkinkan untuk merebut puncak kesenangan dalam bentuk yang berbeda.
Mengapa bentuknya berbeda? Karena itu, tatkala fantasi politik yang "terseksualkan" tidak tersalurkan atau terlepaskan secara resmidab bertanggung jawab, maka ia akan menimbulkan semacam penyimpangan yang berbahaya. Apalagi perbedaan pendapat dan ide terjamin oleh konstitusi.
Paling menantang adalah suatu pembalikan yang aneh, saat fantasi kosong menyelimuti elite politik yang menyuarakan penundaan pemilu dipermasalahkan karena nyata-nyata pelanggaran konstitusi. Ditambah pula dengan hasil survei berupa penolakan mayoritas atas ide atau wacana tersebut.
**
Tercatat hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menandakan mayoritas responden menolak wacana penundaan Pemilu 2024 menurut tiga alasan atau tolok ukur.