Karena itu, jika wacana penundaan pemilu sebagai bagian dari kebebasan berbicara, maka sesuatu energi yang terungkapkan dari fantasi seksual tanpa "organ" (ala Deleuzean) diramu oleh elite politik.Â
Gambaran penundaan pemilu tidak bisa dipaksakan sebagai sekadar ruang proyeksi dari kepentingan tertentu dengan berbagai mekanisme kuasa.
Lebih jelasnya, wacana tentang penundaan pemilu yang menggiurkan terlokalisir dalam kuasa elite politik. Wacananya merupakan langkah taktis, di mana fungsinya tidak seragam dan stabil.
Membayangkan satu wacana tersebar di antara wacana tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang tertolak.
Para elite politik mungkin akan membayangkan kedua wacana itu tidak berhadapan dengan wacana hukum sebagai landasan untuk menolak wacana sesudahnya.Â
Sudah bukan rahasia lagi, konstitusi itulah yang membatasi dan menyirkulasi pemilu lima tahunan beserta masa jabatan presiden.
Anehnya, pihak yang menolak wacana terimbas dengan tantangan dan rangsangan "fantasi seksual" di bawah wacana kuasa elite politik. Yang menyeruak dari wacana tentang penundaan pemilu ke permukaan bukan wacana yang terdominasi.
Lebih penting bagaimana para elit politik membayangkan diri dalam fantasi seksual tanpa "organ" atau tubuh murni yang mengatasi nalar, sehingga mereka bisa bermain dalam ragam strategi.
Permasalahan bukan terletak di segelintir elite politik seakan-akan buta terhadap kenyataan dengan menjadikan alasan pandemi corona untuk menunda pemilu.Â
Wacana tentang penundaan pemilu bisa saja kehilangan lokalitas bagi elite politik. Tetapi, saat seseorang terbuai oleh fantasi seksual, maka "lekukan tanpa organ" membuat elite politik berbicara.
Kerlap-kerlip fantasi dari sesuatu yang kasat mata malah begitu menggairahkan bagi elite politik. Permainan politik bisa dirujuk menjadi satu wacana yang jumlahnya masih sebatas wacana tentang penundaan pemilu.