Sekali tersalurkan fantasi elite politik, maka di situlah mereka dimungkinkan untuk merebut puncak kesenangan dalam bentuk yang berbeda.
Mengapa bentuknya berbeda? Karena itu, tatkala fantasi politik yang "terseksualkan" tidak tersalurkan atau terlepaskan secara resmidab bertanggung jawab, maka ia akan menimbulkan semacam penyimpangan yang berbahaya. Apalagi perbedaan pendapat dan ide terjamin oleh konstitusi.
Paling menantang adalah suatu pembalikan yang aneh, saat fantasi kosong menyelimuti elite politik yang menyuarakan penundaan pemilu dipermasalahkan karena nyata-nyata pelanggaran konstitusi. Ditambah pula dengan hasil survei berupa penolakan mayoritas atas ide atau wacana tersebut.
Tercatat hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menandakan mayoritas responden menolak wacana penundaan Pemilu 2024 menurut tiga alasan atau tolok ukur.
Pertama, alasan pandemi. Suara menolak 70,7 persen. Kedua, alasan pemulihan ekonomi. Sebanyak 68,1 persen responden yang menolak penundaan pemilu dengan alas an tersebut. Ketiga, alasan pembangunan IKN. Sebanyak 69,6 persen responden menolak penundaan pemilu dengan alasan tersebut. (detik.com, 03/03/2022)
Relasi antara fantasi seksual dan kuasa pengetahuan tertandai dengan kehadiran informasi sebagai cara pengetahuan muncul melalui survei.
Tetapi, survei yang dimaksudkan bukan survei pesanan sponsor atau survei bayaran.
Satu sisi, kelompok masyarakat yang terepresentasikan oleh responden akan membuat diri menggeliat dan mendesah dalam bentuk ekspresi atau aksi unjuk rasa.
Di sisi lain, makin tertarik dengan informasi, maka makin tinggi pengetahuan seseorang atau kelompok masyarakat untuk menolak wacana tentang penundaan pemilu.
Mempermasalahkan wacana tentang penundaan pemilu tidak lebih daripada fantasi kosong. Karena melibatkan jalinan antara pemerintah yang menegaskan tidak pernah membahas rencana penundaan pemilu dan suara rakyat sebagai pihak yang menyoroti “kegenitan” elite politik tidak terelakkan.
Selain melanggar konstitusi hingga alasan kemerosotan demokrasi karena akan membuka jalan bagi rezim otoritarian, tidak lebih juga sebagai fantasi kosong dari elite politik di negeri ini.