Kongres Papua II telah selesai tetapi banyak pihak masih meragukan, apakah PDP akan memperjuangkan kemerdekaan atau tidak, karena Tentara Pembebasan Nasional (TPN) tidak dimasukan dalam struktur organisasi. Selain itu, sasaran-sasaran kongres sendiri tidak dijelaskan secara memadai dan terbuka, indivisu-individu yang duduk dalam struktur presidium pun banyak diragukan karena sejarah masa lalu, seperti dijelaskan di atas.
Pada tanggal 30 Desember 2000, Panglima Tertinggi TPN/OPM Jenderal Matias Wenda menyatakan sikap tegas kepada Presidium Dewan Papua. Jenderal Matias Wenda mengeluarkan keputusan untuk mengutuk pihak yang disebut penghianat, menghimbau agar tidak bekerja sama dengan kolonial Indonesia dan Presidium Dewan Papua harus dibubarkan setelah 1 Desember 2000.
Hal itu kemudian terbukti para pemimpin dan anggota Presidium tidak mampu memperjuangkan kemerdekaan dan menjadi penghianat untuk mendukung Indonesia. Legitimasi rakyat dan mandat dari OPM-TPN disalah gunakan untuk mendorong Otonomi Khusus Papua.
Strategi dihancurkan Presidium Dewan Papua
Di mana Mubes dan Kongres ini merupakan hasil renungan dari pesan presiden J.B. Habibie, pulang dan renungkan. Tetapi hasil renungan itu kemudian menjadi ancaman serius eksistensi kolonialisme Indonesia di Papua. Karena itu, Indonesia mulai membangun berbagai strategi untuk menghancurkan lembaga politik bangsa Papua itu. Secara garis besar ada dua strategi yang dibangun pemerintah Indonesia.Â
Strategi pertama, Tindakan represif dan infitrasi. Dengan strategi ini secara efektif dapat dihancurkan Presidium secara total. Dalam strategi ini diterapkan dengan lima cara, yaitu:
- Para pemimpin dan anggota presidium dan panel ditangkap, dihukum dan dipenjarahkan.Â
- Ketua presidium dan sebagian anggota diculik dan dibunuh dengan berbagai cara.Â
- Wakil ketua Presidium dan anggota lain diberikan jabatan dan pekerjaan.Â
- Beberapa anggota Presidium di luar negeri direkrut menjadi tokoh pro merah putih.Â
- Beberapa pemimpin dan anggota presidium di Papua dan Jakarta direkrut sebagai agen pembusukan dalam struktur presidium. Di mana mereka membangun wacana di media masa tentang perdamaian dan dialog, tetapi di sisi lain mereka dekat dengan para pejabat militer dan pemerintah kekuasaan.
Selain itu, ada dua kelemahan Presidium Dewan Papua dalam struktur sebagai organisasi bergerakan, di mana presidium Dewan Papua tidak mampu melakukan mobilisasi masa di dalam negeri dan dukungan internasional.
(1). Presidium sendiri tidak membangun organ-organ taktis di dalam negeri untuk mobilisasi masa secara terstruktur, terorganisir dan terpimpin secara masif. Presidium Dewan Papua telah memutuskan hubungan dengan mahasiswa, para aktivis muda yang terdidik, perempuan, lembaga agama dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN).
(2) Presidium Dewan Papua sendiri tidak membangun diplomasi internasional yang kuat dan masif. Presidium tidak membangun jaringan internasional yang baik dengan berbagai pihak dan tidak mempersiapkan diplomat-diplomat yang mampu menggalang dukungan internasional. Tetapi, para diplomat ditunjuk berdasarkan hubungan genealogis dan etniksitas, egoistis dan ambisi kekuasaan.
Dengan itu, di mana presidium Dewan Papua jalan sendiri dan melepaskan diri dari basis masa rakyat dan pertahanan keamanan sebagai tulang pungkung perjuangan ini. Meskipun demikian Presidium telah meletakan dasar mengenai orientasi perjuangan masa depan, di mana perjuangan sporatis dan gerilya di hutan menjadikan perjuangan di dalam kota secara damai dan bermartabat.
Strategi kedua, Politik Otonomi Khusus Papua. Politik Otonomi Khusus Papua ini diperjuangkan oleh pemerintah Provinsi Papua melalui gubernur J.B. Solosa dan Rektor Universitas Cenderawaih Ir. Frans Wospakrik yang didukung oleh para politisi Papua dan pihak akademisi dari Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua di Manokwari (Fakultas Pertanian saat itu). Dalam pandangan mereka Otonomi Khusus Papua adalah win-win solution antara Indonesia dan Papua.
Para tokoh yang terlibat dalam agenda otonomi khusus adalah Barnabas Suebu, Fredy Numberi, Michael Manufandu dan teman-temannya. Sedang tim asistensi dari Universitas Cenderawasih yang memainkan peran penting saat itu adalah Drs. Mosaad, Dr. Lapona, Drs. Willy Mandowen, Dr. Agus Sumule dan banyak teman lain.