Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #10

15 Januari 2024   14:46 Diperbarui: 15 Januari 2024   15:04 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/dok pribadi

BAB 10 : PENGKHIANATAN

Aditya Wirawan menggendong cangkir keramik hangat di tangannya sambil mengamati uap yang mengepul seperti makhluk halus yang naik ke langit. Aroma kaya biji kopi yang baru digiling memenuhi dapur mungil itu, aroma yang menjadi latar perbincangan pagi yang tak terhitung jumlahnya bersama adiknya, Dinda Pramesti.

"Coba pikirkan, Adit," Dinda berbicara dengan penuh semangat, matanya memantulkan cahaya awal yang masuk melalui jendelanya, "Proyek baru ini dapat mendefinisikan kembali karirku."

Dia mendongak dari perenungannya pada permukaan kopi yang berputar-putar, menatap tatapannya. "Aku yakin kamu akan menaklukkan yang ini juga, Dind. Kamu selalu berhasil."

Sudut mulutnya terangkat membentuk senyuman yang tidak sampai ke matanya---tanda adanya badai di balik penampilan luarnya yang tenang. Dia mengulurkan tangan, menepuk pundaknya dengan sikap yang diam-diam mengakui ketangguhan mereka bersama.

"Keyakinanmu sangat berarti bagiku, Adit. Tapi terkadang, aku bertanya-tanya apakah aku mengejar hal yang benar." Kata-katanya terhenti, sedikit tanda kerentanan dalam suaranya yang biasanya tegas.

"Hei," katanya lembut, sambil meremas tangan wanita itu, "Kamu punya naluri dalam dunia bisnis yang bahkan aku sendiri tidak bisa memahaminya. Percayalah pada hal itu."

Percakapan mereka disela oleh bunyi bel pintu. Dinda melirik jam dinding, ekspresi mengenali melintas di wajahnya. "Itu Rizky Maulana. Dia mau membahas merger yang akan datang."

Aditya menegang saat menyebut nama itu, sebuah reaksi yang tidak disengaja. Rizky Maulana dikenal di kalangan kalangan atas karena kharismanya dan kelihaiannya dalam berbisnis. Kehadirannya tentu membawa perkembangan signifikan bagi karier Dinda.

"Bicaralah tentang iblis, dan dia akan muncul," gumam Aditya sambil meletakkan cangkirnya dengan bunyi denting di meja.

"Ayolah, jangan seperti itu." Nada suara Dinda terdengar mencela. "Rizky hanya memberikan dukungan. Dia melihat potensi yang bisa saya berikan."

"Mendukung, tentu," pikir Aditya, mengingat kilatan mata Rizky yang tidak berbicara tentang kepentingan profesional semata. Ada sesuatu pada pria itu yang meresahkannya, keanggunan predator yang mengingatkan Aditya pada seorang pemain catur yang memindahkan bidak-bidaknya ke seberang papan.

"Jangan biarkan Pak Maulana menunggu," kata Dinda sambil merapikan blazernya, rambut ikalnya memantul dengan gerakan cepat. Aditya mengikutinya hingga ke ruang tamu, di mana Rizky berdiri dengan percaya diri sebagai pemilik setiap ruang yang dimasukinya.

"Selamat pagi, Dinda. Raden Aditya," Rizky menyapa mereka, suaranya selembut baja. Dia mengulurkan tangannya, dan Aditya mengambilnya, merasakan keteguhan cengkeramannya---mengendalikan, penuh perhitungan.

"Rizky," jawab Aditya, suaranya netral.

"Rumahmu tetap ramah seperti biasanya," komentar Rizky, membiarkan matanya mengamati interior yang sederhana namun rapi. "Tidak diragukan lagi itu adalah cerminan dari penghuninya."

"Terima kasih," sela Dinda sebelum menoleh ke arah kakaknya dengan tatapan tajam. "Adit hanya menyatakan dukungannya yang biasa terhadap pekerjaanku. Bukankah begitu?"

"Selalu," Aditya membenarkan, meski pikirannya berputar-putar dengan pikiran yang tidak terucapkan. Ia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ketertarikan Rizky Maulana terhadap karier Dinda lebih dalam daripada kekaguman profesional.

"Ah, saling mendukung. Landasan keluarga sukses mana pun," kata Rizky sambil menatap mata Aditya dengan intensitas yang nyaris invasif. "Dan mereka bilang darah lebih kental dari air."

"Memang benar," jawab Aditya sambil menahan tatapan Rizky, enggan menjadi orang pertama yang memalingkan muka.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai berbisnis?" usul Rizky, senyum penuh pengertian tersungging di bibirnya.

"Tentu saja," Dinda menyetujui, ekspresinya tegas saat dia memimpin jalan menuju kantor pusatnya.

Aditya memperhatikan mereka pergi, sensasi tidak enak menyelimuti perutnya. Sambil berbalik mengikuti, mau tak mau ia bertanya-tanya apakah keutuhan ikatan mereka akan tahan terhadap pengaruh pria seperti Rizky Maulana.

Aditya berdiam diri di dekat gapura, telinganya mendengarkan dengungan percakapan yang tercium dari rumah dinas tempat Dinda dan Rizky Maulana berteduh. Udara diwarnai dengan kayanya aroma biji kopi yang baru digiling---aroma yang biasanya menyejukkan jiwa Aditya namun kini seakan bercampur dengan sedikit kegelisahan.

"Adikmu sepertinya pemimpi," suara lembut Rizky membelah keheningan, "selalu mengejar gumpalan makna fana di setiap cangkir yang diseduhnya."

Tawa Dinda yang jernih dan percaya diri pun menyusul. "Adit punya passionnya sendiri. Kita mungkin tidak sepakat dalam segala hal, tapi saya mengagumi dedikasinya."

"Tentu saja menawan---sampai batas tertentu," kata Rizky, perubahan halus dalam nada bicaranya bagaikan rasa pahit yang melunak di dasar cangkir kopi. "Tetapi bukankah menurut Anda... idealisme bisa jadi tidak praktis? Terutama ketika kenyataan menuntut hasil yang nyata?"

Tangan Aditya mencengkeram cangkir keramik yang dipegangnya, kehangatan mengalir ke telapak tangannya. Ia memperhatikan Dinda yang duduk bersandar di kursinya, siluetnya terbingkai oleh cahaya lembut lampu mejanya.

"Adit tahu apa yang dia lakukan," dia membela diri, meskipun ada kerutan di antara alisnya---sebuah celah dalam topeng kepastiannya yang biasa.

"Ah, tapi benarkah?" desak Rizky, kata-katanya manis namun menyelidik. "Di dunia yang menghargai kesuksesan nyata, dapatkah seseorang hidup hanya dengan introspeksi dan kegembiraan abstrak dari momen-momen hidup yang singkat?"

Dinda terdiam, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu mahoni. Aditya hampir bisa mendengar roda berputar di kepalanya---pengaruh Rizky merembes masuk, setetes demi setetes.

"Mungkin kamu ada benarnya, Rizky," dia mengakui setelah beberapa saat, dan pengakuan itu mengejutkan Aditya seperti butiran tajam biji kopi yang diremukkan di bawah kaki.

"Coba dipikir-pikir Dinda," lanjut Rizky, gambaran empati dan nalar. "Ambisi membutuhkan dasar yang kokoh untuk berdiri. Anda membangun kesuksesan berdasarkan prinsip itu."

"Benar," gumam Dinda, suaranya nyaris berbisik. Pandangannya tertuju pada potret keluarga yang tergantung di dinding---sebuah momen kesetiaan dan mimpi bersama yang terekam.

Aditya menelan gumpalan yang terbentuk di tenggorokannya. Ia melihat keraguan membayangi raut wajah Dinda dan hatinya tercekat. Setiap kata-kata persuasif dari Rizky, fondasi yang mereka bangun bersama seolah bergetar.

"Keunggulan diraih oleh mereka yang berani melompat," suara Rizky terdengar penuh belaian, seperti sarung tangan beludru di atas tangan besi. "Tetapi juga mengetahui kapan harus menambatkan diri ke tanah."

"Mungkin... mungkin kamu benar," Dinda akhirnya mengakui, perlawanan di matanya berganti dengan kontemplasi. "Saya akan berpikir tentang hal ini."

Aditya mundur diam-diam, beban kata-kata mereka menempel di pundaknya seperti kain kafan yang berat. Ingin rasanya ia berteriak, berdebat, mempertahankan esensi perjalanannya---namun jarak antara dirinya dan Dinda tak pernah terasa semakin luas. Cengkeramannya pada cangkir mengendur, dan dia membisikkan janji dalam hati untuk tidak membiarkan manipulasi Rizky mengaburkan kemurnian pencariannya akan makna.

Aditya duduk sendirian di meja mahoni, jari-jarinya tanpa sadar menelusuri tepi cangkir kopi yang setengah kosong---isinya sudah lama menjadi dingin. Uapnya pun lenyap ke udara, seperti kehangatan yang pernah terpancar antara dirinya dan Dinda. Ritual pagi mereka berbagi cerita sambil minum kopi yang baru diseduh kini tergantikan dengan keheningan.

"Adit," suara Dinda membelah ruangan yang sunyi, nadanya membawa getaran yang tidak ia kenal. Dia bersandar di ambang pintu, rambut keriting pendeknya membingkai wajahnya dalam lingkaran kegelisahan.

"Iya, Kak?" Dia mendongak, mencoba menutupi kebingungan yang terukir di alisnya. Kakak perempuannya, yang merupakan lambang kepercayaan diri, tampak ragu-ragu, kehadirannya yang berwibawa bergetar.

"Kita perlu bicara." Kata-katanya hanya berupa bisikan, namun bergema seperti awal badai yang tidak menyenangkan. Aditya mengatupkan rahangnya, merasakan jurang di antara mereka melebar seiring dengan setiap suku kata.

"Tentang apa?" Suaranya terdengar lebih mantap dari yang dia rasakan, tapi gemetar di tangannya mengkhianatinya saat dia meletakkan cangkir di atas meja.

"Tentang... perjalananmu, pilihanmu." Dinda menghela napas tajam, melintasi ruangan untuk duduk di hadapannya. "Aku sudah berpikir, mungkin Rizky ada benarnya."

"Rizky?" Jantung Aditya berdegup kencang, ia merasakan kepahitan membuncah dalam dirinya---bukan dari kopi dingin, melainkan dari benih keraguan yang Rizky tanam di benak Dinda. Sejak kapan kamu lebih menghargai pendapatnya daripada pendapatku?

"Dengar, aku tidak mengatakan dia benar dalam segala hal, tapi dia telah menyampaikan beberapa poin yang valid." Dia melipat tangannya, membela diri, matanya mencari pengertiannya.

Poin yang valid? Bahwa pencarianku akan makna hanya membuang-buang waktu? Aditya menyisir rambut hitam pendeknya dengan jari, rasa frustrasi membara di bawah permukaan. "Bahwa aku harus meninggalkan pencarianku karena itu tidak sesuai dengan pandangan sempitnya tentang kesuksesan?"

"Adit, bukan begitu. Hanya saja..." Dinda ragu, lalu menghela napas. "Rizky berpikir---dan aku mulai melihat---mungkin kamu kehilangan fokus. Pikiranmu melayang padahal seharusnya ada di sini, bersama kita."

"Kami? Atau kamu?" Aditya membalas, kata-katanya terasa sakit hati. Dia berdiri tiba-tiba, mendorong kursi ke belakang dengan suara gesekan yang bergema di dinding. "Kamu tahu betapa berartinya hal ini bagiku. Bagaimana kamu bisa membiarkan dia masuk ke dalam kepalamu?"

"Karena aku peduli padamu!" Suara Dinda pecah, campuran amarah dan kekhawatiran terpancar di matanya. "Dan saya tidak ingin melihat Anda membuang potensi Anda untuk mengejar sesuatu yang mungkin tidak akan pernah memberikan jawaban yang Anda cari."

Tatapan Aditya tertunduk ke lantai, ubin yang sejuk sangat kontras dengan gejolak yang berkecamuk di dalam dirinya. Dia bergulat dengan pengkhianatan, sengatan keraguan bercampur dengan kayanya aroma kopi yang terlupakan. Napasnya tersengal-sengal, mencerminkan ritme pikirannya yang tidak seimbang.

"Potensi," dia menggema dengan hampa. "Hanya itu yang kamu lihat saat melihatku? Hanya potensi yang belum tergali?"

"Tidak Adit. Aku melihat kakakku, seseorang yang ingin aku lindungi." Suaranya melembut. "Tetapi terkadang, melindungi berarti menjauhkan Anda dari jalan yang tidak membawa tujuan apa pun."

"Atau mungkin," balas Aditya, mengangkat kepalanya untuk menatap tatapannya dengan tekad yang mengeras karena cobaan dalam perjalanannya, "itu berarti memercayaiku untuk menemukan jalanku sendiri---bahkan jika itu jalan yang tidak bisa kamu ikuti."

Ruangan itu menjadi sunyi sekali lagi, satu-satunya suara yang terdengar adalah detak lembut jam di dinding, menghitung mundur saat-saat ketidakpastian yang mereka alami bersama. Ekspresi Dinda bimbang, dan sesaat ia merasa melihat secercah penyesalan di mata Dinda.

Namun kerusakan telah terjadi. Benih-benih itu telah berakar, dan tidak ada alasan yang bisa menghilangkan jarak yang semakin jauh di antara mereka. Itu adalah jurang yang dipenuhi ampas kopi dan membisikkan keraguan---sebuah penghalang yang Aditya yakin tidak akan bisa dijembatani lagi.

Jari-jari Aditya mencengkeram cangkir keramik itu, kehangatannya sangat kontras dengan dinginnya ketidakpercayaan yang mengalir di nadinya. Kata-kata Dinda, yang lebih tajam dari sebelumnya, menggantung di udara seperti pecahan kaca, siap jatuh dan menghancurkan keseimbangan rapuh hubungan mereka.

"Menurut Rizky, idemu... paling aneh, Adit," katanya, suaranya mantap namun bukannya tanpa sedikit pun kekhawatiran. "Dan aku mulai mengerti maksudnya."

"Pemurah?" Aditya mengulangi, suaranya meninggi meski dia berusaha menjaganya tetap seimbang. Aroma kaya kopi bubuk yang biasanya menenangkannya kini terasa menyesakkan. "Menurutmu pencarianku akan makna hanyalah pencarian khayalan?"

"Iya kan? Kamu mengejar cita-cita yang tidak memberi harapan, Adit." Dinda berdiri, bayangannya jatuh menimpanya. "Kita hidup di dunia pragmatisme, bukan lamunan."

Aditya mendorong dirinya menjauh dari meja dapur, kaki bangkunya berdecit di lantai keramik. "Jadi, apa? Aku harus menyerah saja? Meninggalkan keyakinanku karena itu tidak nyaman?"

"Keyakinan tidak akan menjamin masa depanmu!" Tangan Dinda kini mengepal di sisi tubuhnya, naluri protektifnya berbenturan dengan rasa frustrasinya.

"Tidak akan terjual habis!" dia membalas. Jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya, metronom yang panik mengimbangi kejengkelannya yang semakin meningkat.

Mata Dinda menyipit, "Menginginkan stabilitas tidaklah laku, Adit. Rizky sudah melihat banyak hal di dunia, dan dia tahu---"

"Cukup tentang Rizky!" Teriakannya bergema di dinding, dan dia langsung menyadari cangkir kopi bergetar di genggamannya. "Ini tentang kamu dan aku, Din. Kenapa kamu tidak percaya kalau aku tahu apa yang aku lakukan?"

"Karena kamu dibutakan oleh...pengejaran filosofis ini!" Dia memberi isyarat dengan liar, tangannya membelah udara di antara mereka. "Bagaimana jika kamu mencapai akhir dan menyadari semuanya sia-sia?"

"Kalau begitu setidaknya aku akan hidup jujur pada diriku sendiri! Bukankah itu sesuatu yang berharga?" Aditya merasa tenggorokannya tercekat saat ia bergulat dengan kenyataan bahwa Dinda, orang kepercayaannya sekaligus pemandu sorak, meragukan jati dirinya.

"Tapi, apakah pantas kehilangan segalanya? Iya kan, Adit?" Suaranya pecah, memperlihatkan fasad baja yang dipegangnya.

"Kadang-kadang..." Dia menelan ludah, kepahitan konfrontasi lebih tajam daripada daging panggang yang paling gelap. "...terkadang memang harus begitu."

Keheningan yang terjadi kemudian terasa berat, sarat dengan ketakutan yang tak terucapkan dan sisa percakapan sengit mereka. Dada Aditya naik dan turun setiap kali dia bernapas dengan susah payah, dan setelah kejadian itu, dia menyadari betapa banyak dirinya yang telah dia ungkapkan---dan betapa rentannya hal itu yang membuatnya merasa.

Aditya berpaling dari Dinda, pandangannya tertuju pada satu-satunya tanaman kopi yang tumbuh subur di balkon mereka. Daunnya yang mengkilap berkilauan di bawah sinar matahari buatan di kubah habitat, sangat kontras dengan kekacauan yang terjadi di dalam dirinya. Keheningan di ruangan itu terasa menyesakkan, bermuatan sisa-sisa bentrokan mereka. Dia mengulurkan tangan, ujung jarinya menyentuh dedaunan yang berlilin, menggambar paralel antara perjuangan tanaman untuk hidup dalam lingkungan yang terkendali dan perjuangannya sendiri untuk mendapatkan keaslian.

"Adit," suara Dinda kini lebih lembut, diwarnai kekhawatiran, namun tak mampu meredakan rasa perih pengkhianatan. "Lihat saya."

Dia ragu-ragu, merasakan beban tatapannya, berat seperti tarikan bintang yang sekarat. Ketika dia akhirnya menatap matanya, ada permohonan dalam diri mereka, seruan diam-diam untuk persatuan yang pernah mereka miliki. Namun jurang di antara mereka telah melebar terlalu lebar, dipenuhi puing-puing keraguan dan manipulasi.

"Rizky tidak memahamimu seperti aku," lanjutnya, melintasi ruangan untuk berdiri di sampingnya. Tangannya melayang di atas tangan pria itu, satu inci dari kontaknya, seolah-olah dia takut untuk menyentuhnya sekarang. "Dia tidak melihat visimu."

"Benarkah?" Suara Aditya merupakan campuran antara kepahitan dan kesedihan. "Atau apakah dia hanya melukiskan gambaran yang berbeda, yang lebih menarik rasa ambisimu?"

"Adit..." Dia menarik tangannya, rasa sakit melintas di wajahnya.

"Katakan padaku, Din," katanya sambil berbalik menghadap pemandangan kota di luar jendela, tempat lampu-lampu neon melawan kegelapan ruang angkasa. "Kapan pencarian saya akan makna menjadi kurang berharga dibandingkan pembangunan kerajaannya?"

"Pencarianmu bukan masalahnya, itu---" Dinda tergagap, kesulitan mengutarakan ketakutannya.

"Sumur itu sudah diracuni oleh Rizky, Din." Dia menyaksikan sebuah pesawat ulang-alik meluncur lewat, mesinnya menyenandungkan nada yang selaras dengan perselisihan di hatinya. "Dia membuatmu mempertanyakan hal-hal yang pernah kamu kagumi tentangku."

"Adit, tidak, aku---"

"Dengar, Dinda." Aditya memotongnya, tekadnya mengeraskan wajahnya. "Saya tidak akan membiarkan skeptisismenya atau orang lain menggagalkan saya. Bahkan skeptisisme Anda pun tidak."

"Bahkan jika itu berarti kehilanganku?" Kata-katanya berupa bisikan, nyaris tak terdengar di antara dengungan kota.

"Meski begitu," jawabnya, meski menyakitkan baginya untuk mengakuinya. Adiknya -- mentornya, sekutunya -- telah menyerah pada tipu muslihat Rizky, dan dia merasakan rasa sakit dari kehilangan itu lebih tajam dari ujung pisau.

"Tolong, jangan lakukan ini," dia mengulurkan tangan lagi, kali ini menggenggam lengan pria itu. "Hanya kita yang punya, Adit."

"Kalau begitu, percayalah padaku, seperti dulu," dia memohon, matanya mencari-cari tanda keberadaan saudari yang dia kenal.

"Adit," cengkramannya mengerat sebelum dilepaskan perlahan, pengakuan diam atas konflik internalnya. "Aku tidak bisa kehilanganmu karena... pengejaran idealis."

"Terkadang Din, kita harus merelakan untuk tetap berpegang pada apa yang benar," kata Aditya sambil menjauh dari sentuhannya. "Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa hidup dengan tidak autentik."

Pundak Dinda merosot, kekalahan terpatri di garis keningnya. Kalau begitu, apa dampaknya bagi kita?

"Mudah-mudahan di jalan yang akan bersilangan lagi," ucapnya sambil menghela nafas panjang bersiap menjauh darinya, dari kehidupan yang coba dibentuk Rizky untuknya. "Dalam istilah yang nyata, bukan dibuat-buat karena rasa takut atau pengaruh."

"Adit..." bisiknya setelah dia, tapi dia sudah mundur ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya.

Di dalam, dikelilingi oleh aroma biji kopi panggang yang familiar dan dengungan pelan pikirannya, Aditya membiarkan dirinya berduka sejenak atas keretakan yang kini ada di antara mereka. Kemudian, dengan tekad yang menguatkan tulang punggungnya, dia duduk di mejanya dan mulai menulis. Setiap kata adalah langkah maju dalam perjalanannya, setiap kalimat merupakan penegasan kembali perjalanannya. Dia tidak akan terpengaruh. Dia akan menemukan kebenarannya, bahkan jika dia harus berjalan sendirian.

Malam semakin larut di luar, bintang-bintang berkelap-kelip seperti suar di kejauhan, membimbingnya maju.

Aditya berdiri sendirian di kamarnya, cahaya lembut bulan menebarkan bayangan memanjang di lantai. Ia masih bisa mendengar gema suara Dinda, bisikan menghantui yang seakan berlama-lama di udara bagai sisa rasa pahit kopi. Saat dia berjalan mondar-mandir, derit papan lantai kayu tua di bawah kaki merupakan tandingan ritmis dari pemikirannya yang berpacu.

"Adit," suara Dinda memecah kesunyian, ucapannya teredam oleh sekat pintu rumahnya yang tertutup. "Bisakah kita bicara? Tolong."

Dia ragu-ragu, tangannya melayang di atas kenop pintu sebelum menariknya kembali. "Apa lagi yang ingin disampaikan, Din?" Suaranya mantap, tapi di dalam hatinya, badai berkecamuk, badai emosi yang mengancam akan menguasai dirinya.

"Semuanya terasa salah tanpamu...di meja, mendiskusikan rencana kita, impian kita." Nada suaranya bergetar, menunjukkan kerentanan yang jarang terlihat.

Ingatan akan tawa bersama dan perdebatan sengit mengenai secangkir kopi panas muncul di benak Aditya. Untuk sesaat, dia mendambakan persahabatan itu, namun kepahitan pengkhianatan tetap ada, mengalahkan nostalgia itu.

"Kepercayaanmu pada visi Rizky---itu mengaburkan penilaianmu, Din. Aku tidak bisa ikut di dalamnya," ucapnya, ucapannya membawa beban yang terasa nyata, berat seperti kabut malam yang menempel di luar kota.

Tidak ada jawaban, yang ada hanyalah isak tangis tertahan yang merambat di bawah pintu, menyelimuti jantungnya dengan sulur-sulur dingin. Rasa sakit yang diakibatkannya terasa lebih dalam daripada yang bisa dia akui, namun dia tahu bahwa menyerah berarti kehilangan dirinya sendiri.

Berbalik, Aditya berjalan ke jendela sambil menempelkan dahinya ke kaca yang dingin. Dia menyaksikan dunia di bawah terus berjalan, tidak menyadari keretakan di alam semestanya. Lampu jalan memancarkan kumpulan cahaya yang berkilauan di trotoar basah, sebuah metafora visual untuk pulau-pulau pemahaman yang terisolasi di lautan perselisihan.

Pandangannya tertuju pada bintang-bintang, para juru tulis surgawi yang mendokumentasikan perjuangan umat manusia dari tempat mereka bertengger. Apa artinya mencari makna dalam kehidupan di mana ikatan dapat dengan mudah direnggangkan, di mana manipulasi dapat menaburkan benih keraguan di antara hubungan yang paling teguh?

"Rizky, kamu sudah meracuni lebih dari sekedar ambisi," lirih Aditya di tengah malam, hembusan napasnya meninggalkan bekas sesaat di kaca jendela. "Anda telah menaburkan ketidakpercayaan pada tanah subur hubungan kekerabatan, dan untuk apa? Kontrol? Pengaruh?"

Tawa pahit keluar darinya, suara hampa di ruangan kosong. Rizky Maulana dengan jas lancip dan lidah yang lebih lancip memang meninggalkan bekas hingga membuat jarak antara Aditya dengan orang yang selalu menjadi jangkarnya.

"Namun, di sini aku berdiri, tegas," Aditya menegaskan, menjauh dari jendela dan bergerak menuju mejanya. Jari-jarinya menemukan keyboard yang familier, setiap ketukan menandakan pernyataan, komitmen terhadap jalan yang dipilihnya.

Saat dia mengetik, pandangannya kabur, bukan karena ketidakpastian tetapi karena keteguhan hati yang terkristalisasi oleh kesulitan. Dia menyusun kalimat-kalimat yang lebih dari sekadar kata-kata; semua itu adalah bukti perjalanannya---sebuah perjalanan menuju keaslian, tidak terpengaruh oleh intrik orang-orang yang tidak dapat memahami nilainya.

"Biarkan keretakan menjadi jurang jika harus," dia mengetik, irama klik-klak tombol menandai keheningan. "Karena di sisi lain, aku akan menemukan kebenaran yang tidak dinodai oleh kebohongan."

Aditya berhenti sejenak, membaca keyakinannya sendiri di layar, merasakan beratnya kehilangan namun didukung oleh kekuatan tujuannya. Dia menekan tombol simpan dan bersandar di kursinya, mata terpejam saat dia membiarkan hiruk-pikuk emosi berubah menjadi tekad yang tenang.

"Besok, aku melanjutkan pencarianku," tekadnya, membiarkan dirinya tertidur di tengah aroma biji kopi sangrai yang tersisa dan pelukan.

BERSAMBUNG ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun