Pundak Dinda merosot, kekalahan terpatri di garis keningnya. Kalau begitu, apa dampaknya bagi kita?
"Mudah-mudahan di jalan yang akan bersilangan lagi," ucapnya sambil menghela nafas panjang bersiap menjauh darinya, dari kehidupan yang coba dibentuk Rizky untuknya. "Dalam istilah yang nyata, bukan dibuat-buat karena rasa takut atau pengaruh."
"Adit..." bisiknya setelah dia, tapi dia sudah mundur ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya.
Di dalam, dikelilingi oleh aroma biji kopi panggang yang familiar dan dengungan pelan pikirannya, Aditya membiarkan dirinya berduka sejenak atas keretakan yang kini ada di antara mereka. Kemudian, dengan tekad yang menguatkan tulang punggungnya, dia duduk di mejanya dan mulai menulis. Setiap kata adalah langkah maju dalam perjalanannya, setiap kalimat merupakan penegasan kembali perjalanannya. Dia tidak akan terpengaruh. Dia akan menemukan kebenarannya, bahkan jika dia harus berjalan sendirian.
Malam semakin larut di luar, bintang-bintang berkelap-kelip seperti suar di kejauhan, membimbingnya maju.
Aditya berdiri sendirian di kamarnya, cahaya lembut bulan menebarkan bayangan memanjang di lantai. Ia masih bisa mendengar gema suara Dinda, bisikan menghantui yang seakan berlama-lama di udara bagai sisa rasa pahit kopi. Saat dia berjalan mondar-mandir, derit papan lantai kayu tua di bawah kaki merupakan tandingan ritmis dari pemikirannya yang berpacu.
"Adit," suara Dinda memecah kesunyian, ucapannya teredam oleh sekat pintu rumahnya yang tertutup. "Bisakah kita bicara? Tolong."
Dia ragu-ragu, tangannya melayang di atas kenop pintu sebelum menariknya kembali. "Apa lagi yang ingin disampaikan, Din?" Suaranya mantap, tapi di dalam hatinya, badai berkecamuk, badai emosi yang mengancam akan menguasai dirinya.
"Semuanya terasa salah tanpamu...di meja, mendiskusikan rencana kita, impian kita." Nada suaranya bergetar, menunjukkan kerentanan yang jarang terlihat.
Ingatan akan tawa bersama dan perdebatan sengit mengenai secangkir kopi panas muncul di benak Aditya. Untuk sesaat, dia mendambakan persahabatan itu, namun kepahitan pengkhianatan tetap ada, mengalahkan nostalgia itu.
"Kepercayaanmu pada visi Rizky---itu mengaburkan penilaianmu, Din. Aku tidak bisa ikut di dalamnya," ucapnya, ucapannya membawa beban yang terasa nyata, berat seperti kabut malam yang menempel di luar kota.