Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #10

15 Januari 2024   14:46 Diperbarui: 15 Januari 2024   15:04 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/dok pribadi

Ruangan itu menjadi sunyi sekali lagi, satu-satunya suara yang terdengar adalah detak lembut jam di dinding, menghitung mundur saat-saat ketidakpastian yang mereka alami bersama. Ekspresi Dinda bimbang, dan sesaat ia merasa melihat secercah penyesalan di mata Dinda.

Namun kerusakan telah terjadi. Benih-benih itu telah berakar, dan tidak ada alasan yang bisa menghilangkan jarak yang semakin jauh di antara mereka. Itu adalah jurang yang dipenuhi ampas kopi dan membisikkan keraguan---sebuah penghalang yang Aditya yakin tidak akan bisa dijembatani lagi.

Jari-jari Aditya mencengkeram cangkir keramik itu, kehangatannya sangat kontras dengan dinginnya ketidakpercayaan yang mengalir di nadinya. Kata-kata Dinda, yang lebih tajam dari sebelumnya, menggantung di udara seperti pecahan kaca, siap jatuh dan menghancurkan keseimbangan rapuh hubungan mereka.

"Menurut Rizky, idemu... paling aneh, Adit," katanya, suaranya mantap namun bukannya tanpa sedikit pun kekhawatiran. "Dan aku mulai mengerti maksudnya."

"Pemurah?" Aditya mengulangi, suaranya meninggi meski dia berusaha menjaganya tetap seimbang. Aroma kaya kopi bubuk yang biasanya menenangkannya kini terasa menyesakkan. "Menurutmu pencarianku akan makna hanyalah pencarian khayalan?"

"Iya kan? Kamu mengejar cita-cita yang tidak memberi harapan, Adit." Dinda berdiri, bayangannya jatuh menimpanya. "Kita hidup di dunia pragmatisme, bukan lamunan."

Aditya mendorong dirinya menjauh dari meja dapur, kaki bangkunya berdecit di lantai keramik. "Jadi, apa? Aku harus menyerah saja? Meninggalkan keyakinanku karena itu tidak nyaman?"

"Keyakinan tidak akan menjamin masa depanmu!" Tangan Dinda kini mengepal di sisi tubuhnya, naluri protektifnya berbenturan dengan rasa frustrasinya.

"Tidak akan terjual habis!" dia membalas. Jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya, metronom yang panik mengimbangi kejengkelannya yang semakin meningkat.

Mata Dinda menyipit, "Menginginkan stabilitas tidaklah laku, Adit. Rizky sudah melihat banyak hal di dunia, dan dia tahu---"

"Cukup tentang Rizky!" Teriakannya bergema di dinding, dan dia langsung menyadari cangkir kopi bergetar di genggamannya. "Ini tentang kamu dan aku, Din. Kenapa kamu tidak percaya kalau aku tahu apa yang aku lakukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun