"Coba dipikir-pikir Dinda," lanjut Rizky, gambaran empati dan nalar. "Ambisi membutuhkan dasar yang kokoh untuk berdiri. Anda membangun kesuksesan berdasarkan prinsip itu."
"Benar," gumam Dinda, suaranya nyaris berbisik. Pandangannya tertuju pada potret keluarga yang tergantung di dinding---sebuah momen kesetiaan dan mimpi bersama yang terekam.
Aditya menelan gumpalan yang terbentuk di tenggorokannya. Ia melihat keraguan membayangi raut wajah Dinda dan hatinya tercekat. Setiap kata-kata persuasif dari Rizky, fondasi yang mereka bangun bersama seolah bergetar.
"Keunggulan diraih oleh mereka yang berani melompat," suara Rizky terdengar penuh belaian, seperti sarung tangan beludru di atas tangan besi. "Tetapi juga mengetahui kapan harus menambatkan diri ke tanah."
"Mungkin... mungkin kamu benar," Dinda akhirnya mengakui, perlawanan di matanya berganti dengan kontemplasi. "Saya akan berpikir tentang hal ini."
Aditya mundur diam-diam, beban kata-kata mereka menempel di pundaknya seperti kain kafan yang berat. Ingin rasanya ia berteriak, berdebat, mempertahankan esensi perjalanannya---namun jarak antara dirinya dan Dinda tak pernah terasa semakin luas. Cengkeramannya pada cangkir mengendur, dan dia membisikkan janji dalam hati untuk tidak membiarkan manipulasi Rizky mengaburkan kemurnian pencariannya akan makna.
Aditya duduk sendirian di meja mahoni, jari-jarinya tanpa sadar menelusuri tepi cangkir kopi yang setengah kosong---isinya sudah lama menjadi dingin. Uapnya pun lenyap ke udara, seperti kehangatan yang pernah terpancar antara dirinya dan Dinda. Ritual pagi mereka berbagi cerita sambil minum kopi yang baru diseduh kini tergantikan dengan keheningan.
"Adit," suara Dinda membelah ruangan yang sunyi, nadanya membawa getaran yang tidak ia kenal. Dia bersandar di ambang pintu, rambut keriting pendeknya membingkai wajahnya dalam lingkaran kegelisahan.
"Iya, Kak?" Dia mendongak, mencoba menutupi kebingungan yang terukir di alisnya. Kakak perempuannya, yang merupakan lambang kepercayaan diri, tampak ragu-ragu, kehadirannya yang berwibawa bergetar.
"Kita perlu bicara." Kata-katanya hanya berupa bisikan, namun bergema seperti awal badai yang tidak menyenangkan. Aditya mengatupkan rahangnya, merasakan jurang di antara mereka melebar seiring dengan setiap suku kata.
"Tentang apa?" Suaranya terdengar lebih mantap dari yang dia rasakan, tapi gemetar di tangannya mengkhianatinya saat dia meletakkan cangkir di atas meja.