"Tentu saja," Dinda menyetujui, ekspresinya tegas saat dia memimpin jalan menuju kantor pusatnya.
Aditya memperhatikan mereka pergi, sensasi tidak enak menyelimuti perutnya. Sambil berbalik mengikuti, mau tak mau ia bertanya-tanya apakah keutuhan ikatan mereka akan tahan terhadap pengaruh pria seperti Rizky Maulana.
Aditya berdiam diri di dekat gapura, telinganya mendengarkan dengungan percakapan yang tercium dari rumah dinas tempat Dinda dan Rizky Maulana berteduh. Udara diwarnai dengan kayanya aroma biji kopi yang baru digiling---aroma yang biasanya menyejukkan jiwa Aditya namun kini seakan bercampur dengan sedikit kegelisahan.
"Adikmu sepertinya pemimpi," suara lembut Rizky membelah keheningan, "selalu mengejar gumpalan makna fana di setiap cangkir yang diseduhnya."
Tawa Dinda yang jernih dan percaya diri pun menyusul. "Adit punya passionnya sendiri. Kita mungkin tidak sepakat dalam segala hal, tapi saya mengagumi dedikasinya."
"Tentu saja menawan---sampai batas tertentu," kata Rizky, perubahan halus dalam nada bicaranya bagaikan rasa pahit yang melunak di dasar cangkir kopi. "Tetapi bukankah menurut Anda... idealisme bisa jadi tidak praktis? Terutama ketika kenyataan menuntut hasil yang nyata?"
Tangan Aditya mencengkeram cangkir keramik yang dipegangnya, kehangatan mengalir ke telapak tangannya. Ia memperhatikan Dinda yang duduk bersandar di kursinya, siluetnya terbingkai oleh cahaya lembut lampu mejanya.
"Adit tahu apa yang dia lakukan," dia membela diri, meskipun ada kerutan di antara alisnya---sebuah celah dalam topeng kepastiannya yang biasa.
"Ah, tapi benarkah?" desak Rizky, kata-katanya manis namun menyelidik. "Di dunia yang menghargai kesuksesan nyata, dapatkah seseorang hidup hanya dengan introspeksi dan kegembiraan abstrak dari momen-momen hidup yang singkat?"
Dinda terdiam, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu mahoni. Aditya hampir bisa mendengar roda berputar di kepalanya---pengaruh Rizky merembes masuk, setetes demi setetes.
"Mungkin kamu ada benarnya, Rizky," dia mengakui setelah beberapa saat, dan pengakuan itu mengejutkan Aditya seperti butiran tajam biji kopi yang diremukkan di bawah kaki.