"Ayolah, jangan seperti itu." Nada suara Dinda terdengar mencela. "Rizky hanya memberikan dukungan. Dia melihat potensi yang bisa saya berikan."
"Mendukung, tentu," pikir Aditya, mengingat kilatan mata Rizky yang tidak berbicara tentang kepentingan profesional semata. Ada sesuatu pada pria itu yang meresahkannya, keanggunan predator yang mengingatkan Aditya pada seorang pemain catur yang memindahkan bidak-bidaknya ke seberang papan.
"Jangan biarkan Pak Maulana menunggu," kata Dinda sambil merapikan blazernya, rambut ikalnya memantul dengan gerakan cepat. Aditya mengikutinya hingga ke ruang tamu, di mana Rizky berdiri dengan percaya diri sebagai pemilik setiap ruang yang dimasukinya.
"Selamat pagi, Dinda. Raden Aditya," Rizky menyapa mereka, suaranya selembut baja. Dia mengulurkan tangannya, dan Aditya mengambilnya, merasakan keteguhan cengkeramannya---mengendalikan, penuh perhitungan.
"Rizky," jawab Aditya, suaranya netral.
"Rumahmu tetap ramah seperti biasanya," komentar Rizky, membiarkan matanya mengamati interior yang sederhana namun rapi. "Tidak diragukan lagi itu adalah cerminan dari penghuninya."
"Terima kasih," sela Dinda sebelum menoleh ke arah kakaknya dengan tatapan tajam. "Adit hanya menyatakan dukungannya yang biasa terhadap pekerjaanku. Bukankah begitu?"
"Selalu," Aditya membenarkan, meski pikirannya berputar-putar dengan pikiran yang tidak terucapkan. Ia tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ketertarikan Rizky Maulana terhadap karier Dinda lebih dalam daripada kekaguman profesional.
"Ah, saling mendukung. Landasan keluarga sukses mana pun," kata Rizky sambil menatap mata Aditya dengan intensitas yang nyaris invasif. "Dan mereka bilang darah lebih kental dari air."
"Memang benar," jawab Aditya sambil menahan tatapan Rizky, enggan menjadi orang pertama yang memalingkan muka.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai berbisnis?" usul Rizky, senyum penuh pengertian tersungging di bibirnya.