Mohon tunggu...
Erfah nanda
Erfah nanda Mohon Tunggu... -

Penulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mrs. Gamers

29 Mei 2016   19:44 Diperbarui: 29 Mei 2016   19:50 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Satu; Tatapanmu.

“Bila cinta bisa jatuh tanpa disengaja. Maka aku berhasil sempurna melakukan itu.”

***

Ku tarik semua ucapanku tentang cinta. Tapi pada dasarnya cinta memiliki satu kesamaan, kehilangan. Dengan cara apapun tentu cinta pasti akan merasa kehilangan. Dan aku merasakan hal itu untuk yang kedua kalinya dengan satu alasan yang sama. Belum selesai dengan masa lalunya.

Kufikir tidaklah semua laki-laki itu sama. Dan aku tidak dipungkiri juga kalau aku sempat berfikir kalau laki-laki adalah sama. Namun, apalah aku. Tidak sebanding dengan wanita kuat dipenjuru dunia. Aku masih akan terus berjuang. Tapi untuk siapa? Dan ini jawabannya...

***

“Jiffy” Suara keras dari luar kelas terdengar sampai seluruh teman sekelasku menoleh kearahku. Tapi aku balas dengan tatapan senyum seraya memohon maaf atas kelakuan sahabatku ini.

Jiffy adalah namaku. Hari itu aku duduk dibangku 12 Sma dengan jurusan IPS. Dan Venna juga sama denganku hanya saja aku kelas 12 IPS 2 dia 12 ips 3. Aku bertemu dengannya dikelas 11, menyesal aku bertemu dengannya. Kenapa tidak dari kelas 10 aja? Hehe.

Aku bergegas keluar kelas dan memberhentikan langkah kaki Venna yang ingin masuk kedalam kelas ku. Aku langsung menariknya. “Norak lu teriak-teriak” Ucapku sinis. Tapi untuknya sinis ku adalah hal yang biasa.

“Gue udah dapet daftar cewek yang suka sama Gibran”

Mendengar itu mataku langsung terbuka lebar, aku langsung mengambil kertas yang dipegang Venna. Belum sempat aku membukanya Venna sudah mengambilnya lebih dulu.

“Ets!!! Jajanin bakso dulu” Ucapnya sambil menadahkan tangannya mencolek tanganku. Seperti memalak halus.

“Yaudah sekarang aja mumpung gak ada guru”

Venna diam. Menengok kearah kelasnya yang sangat ramai, tidak ada guru juga dikelasnya.

“Ntar kalo ketauan guru gimana?” Ucapnya polos.

“Ketauan tinggal ketauan, udah kelas 12 masa ga berani” Ucapku menyenggol bahunya. Walau saat itu aku tak berani melangkahkan kakiku untuk meninggalkan kelasku. Hanya saja aku sangat penasaran dengan kertas yang dipegang Venna itu.

Setiba dikantin. Aku berusaha mengatur wajahku agar tidak terlihat panik. Sementara Venna masih melirik kebelakang, ia takut ada guru yang tiba-tiba datang.

“Bu bakso dua.” Ucapku memesan makanan. Dengan nada sedikit keras, ya dengan tujuan mengagetkan Venna yang panik itu.

Ia langsung menoleh kearahku. Kepanikannya hilang saat mendengar ucapanku tadi. “Satu enggak pake seledri ya bu” Lanjutnya.

“Mana sini liat” Ucapku mengambil kertas itu didalam saku kemeja Venna. Kali ini, Venna tak sempat mengambilnya.

Mataku berbelak-belak tertulis ada 15 orang dan aku tak menyadari itu selama tiga tahun ini.

“Kaget lu?” Ucap Venna mendorong bahuku, membangunkanku dari kebingunganku.

“Ah enggak biasa aja” Ucapku merubah ekspresi wajahku. – “Eh itu baksonya dateng...Asiikkk” Lanjutku, setidaknya berusaha agar Venna tidak membahas itu lagi.

“Makasih ya ibu” Ucap Venna pada penjual bakso. Lalu menyantapnya tak lupa dengan menambahkan lima sendok sambal.

Tapi aku berusaha membaca daftar murid yang menyukai Gibran.

“1. Michelle 12 IPA 1 2. Diah 12 IPA 4 3. Dwi 12 IPA 3 4. Yuspita 12 IPS 1 5. Tri 11 IPA 3 6. Tian 11 IPA 3 7. Juli 11 IPA 4 8. Tiara 11 IPA 4 9. Nada 11 IPS 2 10. Futri 11 IPS 3 11. Franda 11 IPS 3 12. Bunga 10 IPA 1 13. Azizah 10 IPA 2 14. Dinda 10 IPA 2 15. Widy 10 IPS 3.” Ucapku dalam hati. Wih kenapa banyak ya sainganku? Terus bertanya.

“Ada temen sekelas lu tuh si Yuspita”

Aku diam. Menaruh kertas itu kedalam saku rokku. Dan mulai memakan baksoku. Sementara bakso Venna sudah hampir setengah.

“Lo lagi sih dari kelas satu bukannya deketin malah pacaran sama orang lain” Lanjutnya.

“Ven gimana deketinnya susah tau gak? Dia itu cuek banget sama cewek. Dingin kaya es batu balok”

“Ya udah tau dingin masih aja mau suka”

“Ya gimana orang udah suka dari kelas satu. Trus juga di...” Ucapku terpotong oleh ucapan Venna yang sengaja memotong pembicaraanku.

“Trus juga dia dapet jam loh, kayanya sih dari antara 15 orang tadi”

Aku diam. Bahkan hal seperti ini aku tak tahu. Sepertinya aku tidak sebenarnya suka dengannya lalu kalau begitu kenapa aku selalu ingin melihat kearahnya dan mencarinya?

Tak lama aku tidak menjawab ucapan Venna. Ia mencolek tanganku berkali-kali tapi aku trus sibuk memotong baksoku hingga kecil-kecil tapi ia trus berusaha mencolekku. “Kenapa sih?”

“Ada Gibran” Ucapnya berbisik.

Aku langsung menoleh wajahku kearahnya. Dan kembali membalikkan wajahku darinya. Aku menarik dasi Venna dengan kencang, gregetan sekali seperti jantung trus berdebar. Aku yakin aku benar menyukainya.

“Bu bakso dua” Ucap laki-laki menghampiri ibu-ibu penjual bakso tepat dimana didepan aku duduk bersama dengan Venna. Orangnya sungguh asing bagiku. Aku terus menatap kearahnya yang juga bila aku memandang lurus aku pasti memandangnya. Tidak dengan Venna yang harus menoleh kebelakang terlebih dahulu.

Aku diam lagi. Hingga laki-laki itu pergi membawa dua bakso ditangannya. “Dia siapa Ven?”

Venna menaikkan kepalanya. “Yang mana?”

“Yang tadi beli bakso itu”

“Lah elu yang ngeliat...”

“Gue kan gak kenal Ven, coba ih liat dulu siapa itu yang lagi megang botol saus” Ucapku menolehkan kepala Venna agar melihat kearahnya. Dia yang tadi membeli dua bakso.

“Oh dia namanya Dias”

“Siapa dia? Kok gue baru denger?”

“Gengnya Gibran. Lo sih gak gaul...jadi dia itu anak taekwondo, mantan anak osis juga. Katanya sih sahabatnya Gibran dari SMP, mantannya Riri yang pernah ditikung sama Iqbal temen sekelasnya. Pernah menang dapet mendali emas lomba taekwondo juga, nama lengkapnya Dias Erlangga. Itu cowok yang ditaksir sama Sisi 12 IPS 1” Ucap Venna menjelaskan secara detail tentangnya.

“Kok lu tau banget sih? Fans nya ya?” Ucapku meledeknya.

“Apansi lo! Dia itu pernah booming dieksul mading katanya ganteng” Ucapnya seraya sombong bahwa ia adalah bagian dari anggota eksul mading.

“Apansi biasa aja gantengan juga Gibran” Ucapku sinis kembali menyantap baksoku.

***

Keesokan harinya. Dengan masih tujuan yang sama mencuri hati Gibran. Aku terus memandang kearah kelasnya disebrang kelasku terhalang dua lapangan basket. Tapi aku masih mampu menatap kearahnya.

“Tommi” Ucapku memanggil Tommi yang sedang berjalan melewatiku.

“Apa?” Ucap Tommi berhenti melangkah dan menghampiriku lebih cepat.

“Gimana ya caranya bisa deket sama Gibran? Bantuin dong lo kan anak taekwondo juga Tom” Ucapku sedikit memohon.

Dia hanya membalasnya dengan tertawa. Seperti meledek. Ewh.

“Sadar diri lo Fy. Yang suka sama dia banyak, yang lebih cantik dari lu banyak, bahkan lo gak ada apa-apanya. Maaf gue nggak bisa bantu”

“Ngeselin banget si lo” Ucapku memukul tangannya.

“Ish sakit” Ucapnya mengelus-ngelus tangannya. Kurasa ia benar-benar kesakitan.

“Males gue sama lu. Ngimpinya ketinggian ntar ketabrak pesawat loh” Ucapnya meninggalkanku.

Aku diam saja lagi. Lalu aku memanggil namanya lagi dan menghampirinya sebelum ia masuk kedalam kelasnya.

“Kalo sama Dias kenal gak?”

“Kenal”

“Sisi suka ya sama dia?”

“Lah mana gue tau”

“Ih Sisi, lo dan Dias kan anak taekwondo juga, masa gak tau”

“Kenapa lo suka sama Dias juga?” Ucapnya melontarkan pertanyaan yang menjebak.

Aku tersadar. Lah kenapa aku menanyakan Dias?

“Nggak ada rotan akar pun jadi. Nggak dapet Gibran, Diaspun jadi. Gila nih cewek usahanya manteb banget” Ucapnya memegang kedua bahuku lalu menggoyang-goyangkan bahuku. Seperti memberi suatu ucapan selamat atau bangga kepadaku.

“Ih siapa yang suka sama dia sih, kenal juga enggak” Ucapku menyingkirkan kedua tangan Tommi dari bahuku.

“Iya berarti kalo kenal suka kan” Ucapnya menaikkan alisnya. Lalu tertawa kecil dan meninggalkan ku.

Aku kembali diam. Dan berfikir. Sadarkan diriku dari lamunan ini, kenapa aku menanyakan tentang Dias? Aku ini sukanya sama siapa sih...

***

Pagi hari yang buta. Embun pagi terus berjatuhan ditadang oleh daun-daun yang bertugas menyimpan embun untuk mentari pagi. Lalu memberi sinyal untuk manusia agar mencium tubuhnya dengan penuh dengan embun. Manis dan aku menyukai embun.

“Ayo cepet! Lari! Udah telat bukannya lari!” Ucap Satpam sekolahku. Ternyata aku terlambat lima menit. Sementara upacara hari senin sudah dimulai.

Alhasil aku menunggu hingga gerbang dibuka. Aku menunggu dengan beberapa siswa lainnya yang cukup banyak sekitar dua puluh orang. Aku mendekati daun yang basah, aku tau ini akibat embun yang menimpanya.

“Dias! Telat mulu lu” Ucap laki-laki dibelakangku memanggil nama ‘Dias’ nama yang baru-baru ini aku dengar.

“Macet banget dipertigaan Sansai”

“Gue tau lu pasti bangunnya ngepas banget kan”

“Gue semalem tamatin game gue dulu baru tidur. Lo udah tamat game Naruto yang versi baru belum?”

“Belum, susah banget”

“Lumayan sih, gue ampe tidur jam tiga pagi ya” Ucap Dias seperti bangga menyelesaikan gamenya lalu tidur pagi.

Aku diam. Dias seorang gamers? Dan dia rela membiarkan waktunya untuk menyelesaikan gamenya? Aku kembali mendengar pembicaraan mereka.

“Besok malem ngedota yuk? Tapi jam 8 aja Yas”

“Yaudah lo ntar kabarin gue aja kalo udah mau mulai”

“Kalo nggak dota, PB aja Yas”

“Iya santai”

Tak tahu kenapa, aku malah menoleh kearah mereka sehingga membuat mereka berhenti mengobrol dan menoleh kearahku tapi sedetik lagu aku kembali ketatapanku semula dan tidak menatapnya.

“Kelas 11 ya?” Ucap Dias berbisik kepada temannya itu tak lain Dio, anak 12 IPA 1. Aku mengenalnya, karena pernah menjadi satu tim panitia bersamanya.

“12 IPS”

“Ohh”

Lalu tiba-tiba Dio mencolek pundakku. Aku menoleh kearahnya. “Kok tumben Fy telat?”

“Iya kesiangan.”

“Pasti abis ngeblog ya?”

“Enggak Yo, abis ngerjain PPT sejarah”

“Ohh”

Tapi, pada saat berlangsung Dio mengajakku mengobrol aku sama sekali tidak membalikkan badanku.

***

Beberapa hari kemudian.

“Jiffy!!!” Ucap Yuspita menghampiriku yang sedang mendengarkan lagu.

“Apa?” Ucapku menghentikan lagu diplaylist handphoneku.

“Gue tadi ketemu calon suami gue dikantin.”

“Siapa?” Ucapku bingung.

“Gibran lah”Ucapnya duduk dan menyeder kebahuku.

Aku langsung berdiri. Yuspita hampir jatuh saat itu tapi ia langsung menseimbangkan tubuhnya lalu ikut berdiri juga. Aku menarik tangan Yuspita.

“Ih mau kemana sih” Ucap Yuspita dengan tangan masih didalam gandenganku.

“Liat calon suami gueeee” Ucapku berarah kekantin sekolah.

Setelah aku dan Yuspita sampai dikantin. Yang terlihat hanya beberapa anak saja, sepertinya Gibran sudah meninggalkan kantin beberapa saat yang lalu.

Aku duduk tepat didepan penjual soto. Tapi masih ada beberapa anak yang memesan makanan termasuk soto. Sementara Yuspita malah meninggalkanku dan ikut bergabung dengan gengnya, iya didalam sana ada Sisi pula.

Aku menompangkan kepalaku dengan tanganku. Pandanganku kosong. Lalu tatapan ku kembali menatap seseorang. Laki-laki itu membalikkan tubuhnya dan membawa semangkuk soto ditangannya. Ia pun menatap kearahku. Dengan spontan aku juga menatapnya, langkah kakinya berhenti seketika tahu kalau aku menatapnya.

Lalu selang beberapa detik aku membalikkan tatapanku dan Dias berjalan meninggalkan kantin. Aku tak tahu kemana ia akan pergi, bahkan aku masih memperhatikannya dari belakang.

Hatiku lebih gemetar, mataku seperti sangat bahagia. Hingga ingin menitihkan air mata. Apakah aku menyukainya?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun