Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Cinta Tak Menemukan Muara

30 Desember 2013   12:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:21 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku seneng karo gaya cemburumu," tulismu di pesan pendek yang kau kirimkan padaku. Benarkah aku cemburu? Rasa tak rela yang memenuhi hatiku tiap kali kau berdinas ke luar kota ..... Benarkah ini bisa dikatakan rasa cemburu?

**************

Adalah Pritt, lelaki usia 30an yang telah menjerat hatiku beberapa tahun terakhir ini. Perjumpaan yang tanpa sengaja, saat terburu-buru memencet tombol pintu lift gedung megah di seberang kantorku.

Ya, siang itu aku tengah mengantarkan proposal penawaran kerjasama untuk bossku. Pak Hardono memang agak pelupa, berkas itu ditinggalkannya di meja kerjaku saat beliau sibuk menerima telepon.

"Iya Pak. Saya tinggal menyeberang, tidak usah dijemput segala," jawabnya terburu-buru.

Pak Hardono begitu saja melangkah, tangan kirinya mengempit beberapa berkas sementara tangan kanannya sibuk menjawab handphonenya yang tak berhenti berdering.

"Pak..... Ini......"

Aku mengangkat bahuku putus asa. Tak mungkin mengejar langkah-langkah Pak Boss yang telah menghilang di sebalik pintu lift.

Hadeeuuuhh.... Kutepuk jidatku sendiri. Ini berarti, aku harus mengantarkan berkas ini ke tempat meeting Pak Hardono.

Kupandangi pekerjaanku yang menumpuk di meja. Baru beberapa lembar surat penawaran yang sudah kuselesaikan, sementara yang belum tersentuh? Masih setinggi dua jengkal tangan, menunggu giliran.

"Ya Pak. Segera saya susulkan. Pak Adnan sedang tidak ada di tempat. Beliau harus menghadiri peresmian kantor cabang di Surabaya," jawabku di telepon. Suara boss yang panik membuatku ikut-ikutan senewen. Siapa suruh jadi orang pelupa?

*****************

Aku berusaha melangkah panjang-panjang saat menyeberang, ingin segera menyerahkan proposal itu ke Pak Hardono dan balik lagi ke kantor secepat aku bisa. Bayangan harus kerja lembur menyelesaikan semua pekerjaan yang bertumpuk membuatku abai pada keadaan sekeliling.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiitttt...... aku melompat kaget ke trotoar. Terlambat sedetik saja, tubuhku akan terbanting jatuh di panasnya aspal jalanan. Sepeda motor CC besar itu hampir saja menyenggolku. Kudengar pengemudinya menyumpah-nyumpah di belakangku.

Masih dengan jantung berdebaran, aku menuju ke lift untuk naik ke lantai 7. Saat itulah jari telunjukku dan jemari pria itu saling bersentuhan di tombol segitiga di sisi pintu lift.

"Oh, maaf ... maaf," pria itu menarik tangannya buru-buru. Wajahnya bersemu merah, menyadari kesalahannya.

Ia sedikit membungkuk, mempersilahkanku untuk masuk ke lift terlebih dahulu. Sikapnya yang simpatik dan gentle sangat menarik perhatianku.

"Mau ke lantai berapa, Mbak?" tanyanya sopan. Ujung jarinya terulur, tetapi belum ada panel angka yang disentuhnya.

"Saya, ...ooh, lantai 7," jawabku tersipu. Hampir saja aku ketahuan sedang mengamati wajahnya dari samping.

"Sama. Saya juga," katanya sambil menoleh.

Sepasang mata coklat bersorot lembut menatapku. Hidungnya yang bangir, alis mata lebat membingkai cekung bola mata, tulang pipi yang tirus, semakin menampilkan kelelakiannya.

"Terima kasih," sahutku lega. Pria itu tak menyadari kegugupanku.

Suasana senyap melingkupi lift, mungkin degup jantungku pun bisa terdengar. Aku berdiri gelisah. Kurasakan lift ini bergerak selambat siput.

"Oh yaa, kenalkan. Saya Priambodo, biasa disapa Pritt," tangan kekar itu tiba-tiba saja terulur mengajak berkenalan.

"Oh, ...eeh ....saya.....," aku tergagap-gagap. Kaget.

Pritt tersenyum, sorot matanya teduh.

"Namanya siapa?," tanyanya lembut.

"Pritta," sahutku, debar di dadaku belum hilang.

"Nama kita sama.....," gelaknya. Mau tak mau aku tersenyum mendengarnya.

Hingga pintu lift membuka di lantai 7, kami masih asyik berbincang. Sebelum berpisah, Pritt mengulurkan kartu namanya sambil meminta nomor ponselku.

Priambada Kama,SH ...... kueja nama itu lambat-lambat. Nama yang asing, sepertinya bukan nama kebanyakan yang mudah ditemui di keseharian.

Kuselipkan kartu nama itu di kantung tas kerjaku. Segera saja aku melupakannya, tenggelam dalam pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.

****************

Peristiwa itu meninggalkan bekas mendalam di hati Pritt.

"Hallooo.... Pritta punya waktu siang ini? Kita makan siang yuukk?" suara di seberang telepon itu mengejutkanku.

"Ini siapa ya?"

"Nama kita sama.....," jawabnya, lalu tergelak. Aku teringat kembali peristiwa di depan lift itu, senyumku mengembang.

"Baiklah. Sepuluh menit lagi aku turun. Tunggu di depan ya?"

"Oke."

"Mau makan di mana kita?" tanyanya setelah mobil melaju. Tangannya cekatan mengemudi, sementara bibirnya bersenandung mengikuti instrumentalia yang mengalun lirih dari audio mobilnya.

Makan siang pertama itu  menjadi awal dari makan siang berikutnya, pertemuan selanjutnya daaannn......

****************

Dua tahun berlalu, hubunganku dengan Pritt berlangsung mulus tanpa hambatan.

"Pritta.....," lelaki bermata coklat itu menatapku lekat-lekat. Ada yang ingin dikatakannya padaku rupanya.

"Katakan saja, jangan membuatku bingung."

Pritt masih diam mematung. Sejurus kemudian ia bangkit dari duduknya, mondar mandir, lalu duduk kembali.

"Aku dipindahkan ke kantor cabang, di Batam," katanya pelan.

"Lalu?"

"Apa aku sanggup LDR denganmu?" keluhnya. Tangannya meremas rambutnya yang mulai panjang.

Aku terdiam. Jujur, aku bangga Pritt mendapatkan peningkatan karier. Tetapi di sisi lain, aku sedih. Tak bisa kubayangkan hari-hariku tanpa Pritt di sisiku.

Pada akhirnya Pritt memang harus memilih. Ia memilih kariernya menanjak dan meninggalkanku di sini. Sebuah perpisahan membentangkan jarak di antara aku dan Pritt. Apa boleh buat.

Masih kuingat betul pesan pendeknya yang dikirimkannya saat aku merajuk.

"Aku seneng karo gaya cemburumu,"  singkat, padat, namun jelas menunjukkan perasaannya.

Benarkah aku cemburu? Rasa tak rela yang memenuhi hatiku tiap kali kau berdinas ke luar kota ..... Benarkah ini bisa dikatakan rasa cemburu?

Hari berlalu begitu cepat. Kesibukanku telah menenggelamkan aku dalam rutinitas yang menyita sebagian besar waktuku. Begitu juga dengan Pritt. Dua atau tiga hari sekali dia meneleponku, menanyakan keadaanku. Sedikit demi sedikit perasaan kehilangan itu bisa terobati.

Hingga suatu ketika ........

"Pritta. Bisa jemput aku di bandara jam 12.00? Aku ingin mengajakmu makan siang," sebuah pesan pendek mampir di hapeku. Tumben. Ada apa ini? Tak biasanya Pritt berrahasia kepadaku seperti ini? batinku.

Tanpa pikir panjang, aku meluncur ke tempat yang disebutkan Pritt. Pak Handoyo memberiku ijin sampai jam 4 sore nanti.

"Ada apa? Kenapa mendadak pulang? Kau ditugaskan di sini lagi?" berondongku tak sabar. Pritt tertawa lebar menyambutku. Pertanyaanku yang beruntun dibiarkannya menguap di udara.

"Sabaaaarrrr," katanya lucu. Jemarinya memencet hidungku dengan gemas.

"Pritt .......," sergahku.

"Kita makan dulu, baru aku akan jelaskan semuanya," jawabnya tegas. Mau tidak mau, aku menurut saja. Diambilnya kunci mobil dari tanganku, lalu dibukakannya pintu sebelah kiri.

"Silahkan Tuan Puteri," candanya. Tubuhnya sedikit membungkuk mempersilahkanku masuk. Aku tertawa. Sempat kulihat sorot kecemasan di mata Pritt.

Kami meluncur membelah kota. Mendung yang menaungi kota di sana sini menimbulkan hawa panas yang luar biasa siang ini. Meskipun AC sudah distel pada kondisi paling dingin, tetapi udara panas di luar masih saja membuat keringat berlelehan di keningku.

Pritt meraih tissue, lalu menyeka dahi dan pipiku dengan lembut.

*******************

Blaaarrrrrr................. rasanya seperti seribu petir menyambar di telingaku. Apa aku tidak salah dengar? Benarkah ini? Seribu satu pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku. Kupandangi wajah Pritt, mencoba menemukan jawaban di raut wajahnya yang tenang. Tak ada. Tak kutemukan satu pun.

"Kasihan Bapak. Semenjak ditinggal ibu, beliau kesepian. Tak ada yang bersedia menemani. Aku jauh di seberang, kakak lelakiku masih terikat kontrak dengan pekerjaannya di Belanda. Sementara adik perempuanku satu-satunya harus mengikuti suaminya pindah ke Manado," urainya panjang lebar.

"Lalu?" tanyaku tak sabar.

"Aku harus pulang menemani Bapak. Hanya aku satu-satunya yang masih lajang," kata Pritt lemah. Geletar suaranya tak bisa menutupi keresahannya.

Aku masih bertahan di sini. Kurelakan Pritt menemani orang tua satu-satunya. Entah, jangan tanyakan bagaimana perasaanku.

"Seperti 'doktrin' yang sejak kecil sering kudengar dan tertanam kuat di pikiranku, orang tua adalah segala-galanya. Harta, kekuasaan, jabatan, pasangan tercinta tak ada se ujung kuku bila dibandingkan dengan orang tua.

Mereka, yang menghabiskan sebagian besar waktunya memikirkan kita, bagaimana agar tak kelaparan, dapat tidur nyenyak di kasur yang nyaman, bisa sekolah dengan tenang.....dan seabrek lainnya. Hanya kita, anak-anaknya yang selalu ada dalam pikirannya. Lalu, tegakah kita merampas kebahagiaannya dengan mengabaikannya di usia senja?"

Itu yang dikatakan Pritt panjang lebar kepadaku. Aku mengerti. Aku paham bagaimana perasaannya. Aku pun akan melakukan hal yang sama seandainya ada di posisinya. Lalu dimana letak salahnya?

Pesan pendek dan telepon menjadi satu-satunya komunikasi antara aku dan Pritt.

**********

Pritta....sebelumnya maafkan aku. Pada akhirnya aku harus menyudahi hubungan kita sampai disini. Kau tahu, aku tak mungkin meninggalkan ayahku sendirian di rumah tua. Sementara itu aku juga tahu kalau kau tak mungkin meninggalkan pekerjaanmu hanya demi menikah denganku. Maafkan aku sayangku, aku tak bisa mewujudkan cita-cita kita berdua, membangun keluarga seperti angan-angan kita dahulu

Alangkah kejamnya aku bila memboyong ayah untuk tinggal dan menetap di kota bersama kita. Itu akan amat sangat menyiksanya, dipisahkan dari rumah tempatnya tinggal selama ini. Ada banyak kenangan yang telah diukir oleh ayah bersama mendiang ibu disana. Tegakah aku bila memisahkannya dengan paksa?

Aku mencintaimu, sangat. Tetapi aku pun tak sanggup melihat sorot mata ayah yang terluka. Kehilangan ibu merupakan beban yang teramat berat buat beliau, apalagi bila ditambah dengan rasa kehilangan dengan rumah kenangannya.

Maafkan aku Pritta....maafkan semua kekerdilan jiwaku. Bagiku, nyawaku pun tak cukup untuk menggantikan kasih sayang orang tuaku.

Yang selalu mencintaimu

Priambodo

************

Surat yang dikirim Pritt dari kampung halamannya masih tergeletak di atas tempat tidur. Entah sudah berapa lembar tissue kuhabiskan untuk menyusut air mataku yang tak henti mengalir.

Sejatinya, cinta kita tak menemukan muaranya untuk berlabuh.

=====%%%%%%%=====

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun