"Katakan saja, jangan membuatku bingung."
Pritt masih diam mematung. Sejurus kemudian ia bangkit dari duduknya, mondar mandir, lalu duduk kembali.
"Aku dipindahkan ke kantor cabang, di Batam," katanya pelan.
"Lalu?"
"Apa aku sanggup LDR denganmu?" keluhnya. Tangannya meremas rambutnya yang mulai panjang.
Aku terdiam. Jujur, aku bangga Pritt mendapatkan peningkatan karier. Tetapi di sisi lain, aku sedih. Tak bisa kubayangkan hari-hariku tanpa Pritt di sisiku.
Pada akhirnya Pritt memang harus memilih. Ia memilih kariernya menanjak dan meninggalkanku di sini. Sebuah perpisahan membentangkan jarak di antara aku dan Pritt. Apa boleh buat.
Masih kuingat betul pesan pendeknya yang dikirimkannya saat aku merajuk.
"Aku seneng karo gaya cemburumu,"Â singkat, padat, namun jelas menunjukkan perasaannya.
Benarkah aku cemburu? Rasa tak rela yang memenuhi hatiku tiap kali kau berdinas ke luar kota ..... Benarkah ini bisa dikatakan rasa cemburu?
Hari berlalu begitu cepat. Kesibukanku telah menenggelamkan aku dalam rutinitas yang menyita sebagian besar waktuku. Begitu juga dengan Pritt. Dua atau tiga hari sekali dia meneleponku, menanyakan keadaanku. Sedikit demi sedikit perasaan kehilangan itu bisa terobati.