Puisi-puisi itu adalah jeritan hati, keluh kesahnya. Ketika tidak tahu
harus ke mana lagi mengadu, ia pun memilih menulis.
“Menjadi kritis adalah hal yang tabu bagi seorang guru honorer murni.
Kalau sudah tidak disukai karena banyak ngomong, ya bahaya.
Pemberhentian sepihak, tanpa ada surat peringatan, jadi hal biasa,” ucap
guru Akuntansi di Jakarta ini.
Guru honorer di sekolah swasta seperti dirinya menempati strata terendah
dalam struktur tenaga kependidikan saat ini. Mereka bekerja dengan
hitungan per jam, layaknya buruh kasar. Tidak ada jaminan hari tua dan
jaminan kesehatan.
Dalam seminggu ia mengajar 63 jam di tiga sekolah berbeda, melampaui
batas yang diatur undang-undang, 24 jam per minggu. Honornya? Total Rp
900.000 per bulan dari tiga SMK kelas bawah.
Sebelum umur 40, guru yang tinggal di Cipondoh, Tangerang, ini mengajar
hingga 80 jam per minggu. Ia pun sanggup mengajar hingga malam hari.
“Sekarang sudah dikurangi. Tidak dibolehkan sama anak-anak,” ucap guru
yang biasa disapa Atri ini.
Ia hidup sehemat mungkin. Pernah suatu ketika, karena nekat berangkat
mengajar meskipun sedang sakit, ia jatuh terpeleset di jalan dan
pelipisnya luka. Karena tidak punya uang, ia terpaksa menutup lukanya
dengan oli yang diberikan sopir bus untuk menghentikan pendarahan.
Kini, lebih dari 23 tahun mengajar, -20 tahun merantau di Jakarta,
-tidak ada perubahan nasib yang dialaminya. Anak tertuanya sudah dua
tahun menganggur seusai lulus SMA. Sengaja tidak ikut ujian seleksi
nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
“Takut sakit hati. Kalau diterima, tetapi tidak bisa bayar kuliah,”
ucapnya mengutip pernyataan putranya, Yoka Perdana Putra.