Mengenai nasionalisme, rasanya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa nasionalisme tidak diukur dari dimana kita tinggal ataupun dimana kita bekerja mencari mata pencaharian. Seorang PNS tidak selamanya lebih berjiwa nasionalisme dibanding WNI yang bekerja di luar negeri. Lagi pula, kalaupun memang seseorang dikatakan tidak berjiwa nasionalisme karena bekerja di luar negeri, so what? Toh sesudah kita mati, yang diperhitungkan adalah amal kita, bukan nasionalisme kita.
Setiap orang tentu memiliki pilihan masing-masing. Ada yang kembali ke tanah air dengan segala resikonya, ada pula yang tetap di luar negeri dengan segala resikonya. Kedua pilihan sama sama baik dan perlu dihargai. Tidak perlu kita membandingkan kebaikan pilihan kita dengan keburukan pilihan orang lain. Pilihan yang benar tidak lagi memerlukan pembenaran sebagaimana seorang pengemis di bus ibukota merasa memerlukan pembenaran, bahwa mereka lebih baik mengemis daripada berbuat kriminal.
Pilihan dan prioritas adalah dua hal yang seharusnya tidak terpisahkan. Prioritas yang ada dalam pikiran seseorang akan diejawantahkan ke dalam pilihan yang dibuatnya. Sebagaimana pilihan, prioritas bagi setiap orang pun tidaklah harus sama. Sebagian mungkin menempatkan permintaan istrinya yang sedang hamil sebagai pilihan utama. Tidak heran bila ada seorang suami yang memilih untuk berkeliling kota mencari mangga muda pada jam 1 dini hari demi memenuhi permintaan sang istri. Bagi saya, tentu tidur nikmat lebih diprioritaskan. Saya akan memilih tidur pulas daripada harus keliling kota jam 1 dini hari, apalagi kalau kota tersebut bernama Bandung . Di Bandung, jam 1 dini hari adalah waktu “keluarnya para jin”. Saya khawatir, alih-alih dapat mangga muda, malah “daun muda” yang saya dapat.
Pengetahuan dan keimanan seseorang dapat mempengaruhi prioritas seseorang dalam membuat pilihan. Maka tidak heran bila seseorang memilih sesuatu yang menurut kita bukan prioritas, kadang kita menganggap orang tersebut “bodoh”, “tidak waras”, ataupun “punya niat lain”. Padahal, dengan asumsi keimanan kita sudah standar, bisa jadi pengetahuan kita yang terbatas sehingga tidak mengerti. Di sisi lain, orang yang “bodoh” atau “tidak waras” tidak akan menjadi “pintar” atau “waras” hanya dengan dikatakan “bodoh” atau “tidak waras”. Mereka akan menjadi “pintar” bila diberi pengetahuan. Alangkah indahnya bila orang-orang “pintar” memberikan pengetahuannya kepada orang-orang “bodoh” dan orang-orang “bodoh” tidak “sok pintar” sehingga mau menerima pengetahuan dari orang-orang “pintar”. Diskusi pun akan menghasilkan solusi, bukan lagi “obrolan warung kopi oleh tukang becak” (walaupun mungkin saja tukang becak pun menghasilkan solusi -red).
Kembali ke topik awal. Bagaimana kalau misalnya, kita asumsikan bahwa masalah negara ini hanya ada 7 masalah seperti yang di bawah. Dengan modal 7,7 trilyun, kira-kira masalah mana yang akan menjadi prioritas utama untuk diselesaikan dan berapa anggaran yang seharusnya dikeluarkan oleh NKRI tercinta untuk masing-masing masalah yang akan diselesaikan termasuk dalam seluruh sektor pendidikan? ada yang punya ide?
---------------------------------
Referensi 1:
Teladan Bangsa yang Terpinggirkan
KOMPAS Selasa, 23 Juni 2009 | 15:20 WIB
Di depan kelas kau berusaha tersenyum
manis/Namun, di dalam hati kau menangis Aku tak punya apa-apa
anakku/Selain buku dan sedikit ilmu Jika kalian libur dan datang ke
rumahku, jangan takut anakku. Genteng yang bocor itu/Gelas yang tak
berisi air itu/Piring yang tak berisi nasi Kalian akan bercerita tentang
aku/Tentang potret kehidupanku sebagai guru
Penggalan puisi ini adalah ungkapan hati Atrianil (46), salah seorang
guru honorer yang bertugas di tiga sekolah berbeda di Jakarta dan
Tangerang, Banten. Puisi ini pernah dibaca Ruminah (36), guru honorer
lainnya, dan membuat matanya sembab. Isi puisi ini mewakili perasaannya
pula.