Tapi di Indonesia jangankan warga asing, warga pribumi saja susah untuk mendapatkan beasiswa untuk studi Master dan PhD /Doctoral di dalam negeri apalagi ke luar negeri apalagi warga asing. Yang ada malah warga asing dimintai duit atau student Indonesia dimintai Fiskal saat pertama kali berangkat keluar negeri dari Airport, dan sekarang jumlah Fiskal tak tanggung-tanggung Rp.5 juta/orang termasuk bagi student Indonesia yg tak bekerja dan tak memiliki NPWP. Sementara uang APBN dibelanjakan untuk membeli mobil mewah bagi para menteri.
8. Gaji PNS Professor kita sama dengan gaji PRT (Pembantu Rumah Tangga) TKI kita di Malaysia yang dinaikkan menjadi RM800, apalagi yang cuma dosen biasa, gaji PNS nya sama dg PRT yang gajinya RM400 - RM500. (kurs RM1=Rp.3000)
Sementara gaji Professor standard di Malaysia adalah RM20 ribu = Rp.60 juta/bulan, gaji dosen lulusan PhD standard di Malaysia adalah RM6000 = Rp 18 juta/bulan, gaji dosen lulusan master adalah RM4000 = Rp 12 juta/bulan, sementara gaji dosen honorer/ asistance lecturer=RM2000.
Ini bukan gajinya yang tinggi di Malaysia tapi justru inilah yang seharusnya dan sewajarnya pendapatan bagi seorang guru maupun dosen sebagai penghargaan atas keilmuannya. Dan itu bukan gaji yang besar tapi gaji yang wajar. Gaji itu akan dikatakan besar jika yang mendapatkannya adalah seorang DPR/MPR. Indonesia saja yang tak manusiawi dalam menggaji Gurunya ataupun Dosennya.
Prioritas. Sekali lagi, prioritas. Di mana pun, dari level keluarga sampai level negara, cara membelanjakan uang harus didasarkan pada prioritas.
Dan prioritas selalu didasarkan pada filosofi. Katakanlah ada dua keluarga sama-sama bergaji Rp 5 juta sebulan. Keluarga pertama menganut filosofi penghematan, maka uang itu setengahnya akan ditabung. Keluarga kedua menganut filosofi hura-hura, maka uang itu akan habis tak bersisa menjelang tanggal tua.
Perbedaan filosofi. Inilah sebab kenapa Indonesia dan Singapura, yang pada tahun 1950-an mempunyai pendapatan perkapita setara, kini ibarat tuan dan babu.
Bagi saintis seperti saya, masalahnya bukan pulang atau tidak pulang. Bagi kami nasionalisme bukan urusan pulang atau tidak.
Ketika kami (saintis) memutuskan untuk pergi ke suatu negara, baik itu negara sendiri atau bukan, ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan:
1. Apakah ada sarana riset yang memadai.
Sengaja saya tidak tulis soal “GAJI” untuk point nomer satu karena urusan fulus memang bukan nomer satu. Kami saintis dididik untuk membuat riset. Kalau kami pindah ke negara yang tidak punya komitmen untuk mendukung riset, ilmu kami mau diapakan?
Ilmu itu ibarat pisau. Jika tidak diasah (dipergunakan) nanti lama-lama jadi tumpul. Jangan sampai gara2 semangat nasionalisme berkobar-kobar, memutuskan pulang, tapi sama kantor cuma diberi meja-kursi dan komputer untuk main tetris. Capek-capek kuliah sampai PhD, ujung-ujungnya cuma bikin kerjaan administrasi. Sama aja boong, iya kan?