Kalo saya mau GAJI semata2, kenapa saya nggak pindah ke Brunei, atau Arab Saudi, atau minimal ke universitas2 yang bertebaran di jepang, jerman, ataupun australie? Kenapa saya malah masuk ke UNITEN/TNB Research yang gajinya lumayan? Sebabnya karena saya memerlukan tempat yang kondusif untuk melakukan riset, dan riset yang saya buat dapat dipakai dan bermanfaat bukan hanya untuk Malaysia dan TNB (PLN nya Malaysia) tapi juga untuk negara2 diluar Malaysia. Dan kalau sudah bicara soal riset, biasanya soal GAJI jadi nomer sekian.
Berbeda dengan ilmuwan dari jalur non-riset. Mereka bisa pergi kemana saja tanpa membutuhkan fasilitas riset. Mereka bisa mengajar di 3-4 tempat sehari, ngamen sana-sini, tanpa perlu masuk lab.
Saya nggak bisa ngamen, Mbak. Kalo saya kebanyakan ngamen, nanti penelitian saya terlantar. Akhirnya nanti saya malah kebanyakan ngeblog ketimbang nulis paper, hehehe. Dan memang betul, banyak PhD kita setelah kembali ke Indonesia malah tidak produktif menulis paper ilmiah (tapi artikelnya di koran berlimpah ruah).
2. Kestabilan politik.
Lagi-lagi bukan soal GAJI. Kami (saintis) tidak bisa mengadakan aktivitas penelitian di tempat yang orangnya lebih sibuk berpolitik ketimbang menggelar konferensi dan seminar. Kalau politik tidak stabil, obrolan di kampus biasanya cuma soal politik melulu. Hal ini sempat saya alami di masa-masa awal reformasi 1998. Kalo semua asyik berpolitik, kapan ngomongin sains-nya?
Sekali-sekali ngomongin politik is OK. Tapi kalau kebablasan sampe aktivitas risetnya hilang, itu keterlaluan namanya.
3. Keluarga.
Bagi yang sudah beristri dan ada anak, tentu keputusan harus diambil berdasarkan kesepakatan bersama. Tidak bisa gara2 nasionalisme lantas istri dicerai, hehehe.
4. Gaji.
Gaji bukan nomer satu, tapi nomer 4, hehe. Saya kira memikirkan gaji adalah hal yang manusiawi. Bagi saya, kalau bisa gaji yang diperoleh bisa mencukupi hanya dari satu tempat kerja. Maksudnya supaya bisa fokus ke pekerjaan tanpa harus ngamen sana-sini.
Di Indonesia kita ada masalah besar. Gaji dosen tidak sepadan dengan tugas dan kualifikasi. Alhasil mereka harus kerja ngamen di 3-4 universitas untuk mendapat gaji yang layak. Hal ini tentu membuat mereka tidak fokus dengan pekerjaan dan penelitian. Implikasinya, kualitas penelitian di Indonesia jauh tertinggal dengan negara jiran.
Ada seorang kolega saya yang hebat di FMIPA-UI, Dr. Terry Mart. Setahu saya dia salah seorang dosen yang “kuat iman” dengan tidak terlalu sering ngamen sana-sini. Alhasil pendapatannya sering tidak cukup. Sampai istrinya kepingin blender baru menjelang Lebaran, beliau tidak sanggup membelikan. Sedih kan? Beliau doktor lho.
Lain ceritanya kalau anda dosen Fakultas Kedokteran. Apalagi yang spesialis. Bisa praktek pagi-siang, siang di kampus sampe sore, malem praktek lagi. Gaji Rp 150 juta sebulan, dan masih ada waktu kongkow dengan mahasiswa untuk membahas penelitian.
Saya cuma doktor, bukan dokter. Doktor sih udah nggak bisa ngobatin orang, miskin pula, hahaha.