Untuk biaya SPP putra keduanya, Rp 250.000 per bulan, ia sudah
kerepotan. Guna menutupi berbagai kebutuhan hidup, ia mengaku masih
mendapat kiriman uang bantuan dari keluarga.
*Garuda Pancasila
*Cerita-cerita ini dituangkannya dalam cerpen berjudul “Ketegaran yang
Dipaksakan”. Di matanya, profesi guru terkotak-kotak.
“Tidak seperti semboyan burung Garuda Pancasila. Satu profesi, tetapi
kami, kan, berbeda-beda nasib dan perjuangannya,” ujar guru yang tengah
mengikuti sertifikasi guru melalui portofolio ini sebagai upaya
perbaikan nasibnya.
Perasaan terdiskriminasi secara sistemik juga dirasakan Ali Imran (45),
guru bantu yang tinggal di Kalimalang, Jakarta Timur. Dia sangat
berharap bisa menjadi guru pegawai negeri sipil di DKI Jakarta yang
penghasilan sebulannya bisa di atas Rp 5 juta.
“Namun yang diprioritaskan guru PTT (pegawai tidak tetap). Mudah-mudahan
kami berikutnya,” ucapnya.
Gali lubang tutup lubang. Itulah semboyan hidupnya. Hampir setiap bulan
ia berutang. Honornya mengajar Rp710.000 per bulan. Ditambah tunjangan
jabatan sebagai wakil kepala sekolah, ia membawa pulang 1,3 juta rupiah.
Ia menanggung hidup lima orang di keluarganya.
*Tukang Ojek
*Nasib Guru Bantu Daerah Terpencil (GBDT) tidak jauh berbeda. Iwan
Nugraha (27), GBDT asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terpaksa
menyambi sebagai tukang ojek.
“Untuk menambah-nambah uang transpor. Sekalian berangkat mengajar, dapat
tumpangan,” ujar guru yang tiap hari bolak-balik Indramayu-Cirebon untuk