"Ah, tapi aku tak percaya. Barangkali mereka yang pernah meminta kepadamu saja yang to lol. Mana ada harta, tahta, dan wanita bisa menjadi musibah. Sedangkan seluruh manusia hampir menggilainya dan mengejar-ngejarnya," lanjut Bardi lagi.
"Ih, Bos Bandel, ih. Gemesin. Pengen cubit ginjalnya. Ga percayaan amat. Meski akyu jin. Tapi akyu lebih jujur dari pejabat-pejabat di duniamu ituh."
"Diam! Jangan alay gitu napa! Jijik aku lihatnya!" Bardi lama-lama risih juga melihat tingkah Jinlay.
"Elah. Udah tahu nama eke jinlay. Jin alay. Masih dipertanyakan juga. Ini, nih, pasti setipe dengan orang yang baca lowongan pekerjaan, udah ditulis dengan gamblang, tapi masih saja tanya apa syaratnya. Sebel, ih ...." Jinlay mencebik kesal. Ia duduk jongkok lalu memukul-mukul tanah.
"Peduli setan! Pokoknya saya minta harta, tahta, dan wanita. Inget aku bosmu sekarang. Ngerti!" Bardi memasang wajah bengis.
"Apes, deh, ketemu Bos seperti ini terus. Hmmm, apa boleh buat. Karena dia udah jadi bos, baiklah akan aku penuhi permintaannya itu.
"Baiklah, Bos. Tapi inget pergunakan apa yang sudah eke kasih dengan bijak, ya. Sekarang merem. Tahan napas. Semua yang menjadi keinginan Bos akan terwujudkan. Bos punya tiga permintaan. Dan ini permintaan pertama."
Bardi tersenyum. Dalam benaknya berpikir, bahwa dendamnya kepada orang tua Marni dan orang-orang yang selama ini meremehkannya akan segera terlampiaskan.
Bardi terpejam. Tahan napas. Dan ... wusss ... keajaiban pun terjadi.
Tiba-tiba ia sudah berada di sebuah ruangan mewah sekali. Duduk di singgasana bak raja. Dengan wanita-wanita jelita di samping kiri-kanannya.
Di sekitaran ruangan dipenuhi peti-peti emas yang terbuka lebar. Penuh dengan intan berlian dan perhiasan yang berkilauan.