Mohon tunggu...
Em Fardhan
Em Fardhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I'm not a good person, but I'll try.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Itidraj

17 Desember 2022   14:32 Diperbarui: 17 Desember 2022   14:37 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Klontang!

Kaleng bekas minuman itu ditendangnya dengan sekuat tenaga.

"Kehidupan macam apa, ini? Bede bah! Selalu saja orang miskin dipandang sebelah mata. Apakah kalau kaya berarti punya hak untuk semena-mena!" Sehabis menendang apapun yang ada di depannya,  pemuda itu lantas mengumpat-umpat sekena hati.

Namanya Bardi, Pemuda kampung yang kini tengah frustasi sebab ditolak lamarannya oleh orang tua kekasihnya. Perkataan mereka yang menyebut Bardi orang kere, gelandangan, dan tak punya masa depan, jelas sangat menyakiti hatinya. Ia sudah begitu lelah selalu dihina orang-orang selama ini.

"Awas saja kalau aku jadi orang kaya nanti, orang-orang yang menyepelekan akan aku balas. Kalau perlu, mulut mereka yang suka menghina itu aku beli." Bardi semakin meracau tak karuan.

Lalu kembali ia melanjutkan menyepak apapun yang ia jumpai di sepanjang jalan.

Sakit hati itu masih sangat terasa di dadanya. Seakan menancap begitu kuat dan mencabik-cabik jiwanya sehingga berantakan. Bagaimanapun, ia punya harga diri sebagai manusia.

Begitulah keadaan Bardi saat ini. Pulang dari rumah kekasihnya, di sepanjang jalan ia mengumpat-umpat tidak jelas. Setiap berpapasan dengan orang-orang, ia pelototi seakan-akan ingin menantang berkelahi.

"Sabar saja, Bardi," ucap Kang Sarjo, salah seorang tetangganya, ketika melihat Bardi bersikap seperti orang gila di jalanan.

"Sabar? Sabar itu tahi kucing, Kang!" jawabnya sinis.

"Barangkali kamu miskin, itu yang terbaik buat kamu, meski kamu tidak suka," hibur Kang Sarjo.

Mata Bardi mendelik.

"Baik kata sampeyan? Aku karena miskin begini selalu di hina-hina orang, Kang. Sampai-sampai lamaranku ditolak orang tua Marni gara-gara, ya, aku kere begini. Baik dari mana? Sudah jangan berkhotbah di depanku, Kang. Sana, lanjut cari rumput saja!" 

Kang Sarjo hanya mengelus dada saja melihat kelakuan Bardi. Ia pun berlalu tak mau berurusan dengannya lagi

"Sabar... Sabar. Tahi kebo!" umpat Bardi sembari terus berjalan.

Klontang!

Ditendangnya lagi sesuatu di depan kakinya.

Whusss .... seketika keluar asap putih. Asap itu kemudian perlahan membentuk sebuah sosok tinggi dengan penampilan yang sangat unik mirip pemain sirkus.

Bardi kaget bukan kepalang. Ia beringsut beberapa langkah ke belakang.

Sosok itu mulai bersuara, " Hik-hik-hik, akhirnya aku bisa bebas setelah sekian puluh tahun terperangkap di botol sialan itu, hik-hik-hik ...."

"Si-siapa, Kamu?" Bardi membuka suara dengan gemetar karena ketakutan.

"Akyu? Kasih tau nggak, ya, hik-hik-hik ...." Makhluk itu terus tertawa sembari berputar-putar bak penari balet.

Makhluk itu berkata lagi, "Lha situ sendiri siapa? Kok jelek gitu? Udah rambutnya gondrong, badan tatoan, kaya wong edan, hik-hik-hik ...." 

Bardi yang semula ketakutan, setelah melihat tingkah konyol sosok di depannya, kini menjadi berani. Sepertinya dia bukan makhluk yang berbahaya, gumamnya.

"Saya Bardi, kamu siapa wahai makhluk aneh?"

Bukannya menjawab, makhluk itu malah terus tertawa sambil memegangi perutnya yang buncit. Aneh memang. Badannya kurus tinggi, tetapi perutnya buncit.

"Aku ini jin sakti loh, Gaes. Btw, terima kasih sudah membebaskan akyu dari botol bedefah itu, lho. Hik-hik-hik ...." 

Bardi seketika ingat cerita-cerita Aladin dan iklan sebuah rokok. Ada jin yang keluar dari botol dan bisa memenuhi segala permintaan. Bardi lantas tersenyum penuh arti.

"Jadi kamu, Jin? Baiklah. Namamu siapa?" Kini Bardi sudah tidak takut lagi. Masa jin lucu begitu bisa mencelakai, pikirnya.

"Ok. Karena situ sudah membebaskanku dari botol, otomatis sekarang jadi boskuh. Ehem, kenalin, nih, nama saya Jinlay  singkatan dari jin alay, Gaes ... hik-hik-hik ...." katanya sambil mengibaskan kuncirnya.

Bardi menyeringai jijik.

"Bodo amat dengan namamu, ya! Sekarang langsung saja. Katanya tadi kamu sakti mandraguna, bisa menuruti permintaanku tidak? Seperti jinnya Aladin atau iklan rokok itu?" tukas Bardi.

"Oh, Aladin, kek pernah denger, deh! Sepertinya itu tuannya kakeknya kakekku. Hmmm, sudahlah! Ya, benar. Akyu sakti mandraguna, loh. Nggak percayaan amat, cih?"

Bardi tidak memperdulikan tingkahnya yang konyol. Misinya kali ini mesti bisa memanfaatkan jin itu dengan baik.

"Aku minta harta, tahta, dan wanita, bisa?" Bardi tak mau bertele-tele lagi.

"Oh, tentu, Boskuh. Sik sik, sebentar, tapi jangan, deh, saranku. Jangan minta itu." Jawab Jin.

"Kenapa?" kejar Bardi.

"Jangan pokoknya, Bos, ngeyel amat, sih, elah."

"Kenapa! Kalau nggak ngomong tampol bolak-balik, nih!" bentak Bardi sembari bersiap mengeluarkan ajian tapak saktinya.

"Eh, iya, iya, ih, ga sabaran, ih. Sebel. Dasar cowok, suka maksa."

"Cepat katakan!" 

"Sabar, Mase! Jadi gini ...."

Jinlay menceritakan bahwa sebelumnya ia pernah bertemu dengan orang-orang semacam Bardi. Yakni selalu minta kepadanya harta. Atau kalau nggak tahta dan wanita. Dan semuanya justru membawa musibah pada akhirnya. Saat permintaan yang dikabulkan jin itu gagal membuat pemintanya bahagia, otomatis ia akan kembali terperangkap ke dalam botol. Untuk itulah Jinlay mewanti-wanti agar ia tidak minta itu. Selain untuk kepentingan dirinya agar ia tak masuk ke botol lagi, juga agar manusia tidak menderita akibat apa yang ia beri.

"Hmmm, jadi begitu?" tukas Bardi sembari bersungut-sungut. Mencoba mencerna cerita Jinlay.

"Ah, tapi aku tak percaya. Barangkali mereka yang pernah meminta kepadamu saja yang to lol. Mana ada harta, tahta, dan wanita bisa menjadi musibah. Sedangkan seluruh manusia hampir menggilainya dan mengejar-ngejarnya," lanjut Bardi lagi.

"Ih, Bos Bandel, ih. Gemesin. Pengen cubit ginjalnya. Ga percayaan amat. Meski akyu jin. Tapi akyu lebih jujur dari pejabat-pejabat di duniamu ituh."

"Diam! Jangan alay gitu napa! Jijik aku lihatnya!" Bardi lama-lama risih juga melihat tingkah Jinlay.

"Elah. Udah tahu nama eke jinlay. Jin alay. Masih dipertanyakan juga. Ini, nih, pasti setipe dengan orang yang baca lowongan pekerjaan, udah ditulis dengan gamblang, tapi masih saja tanya apa syaratnya. Sebel, ih ...." Jinlay mencebik kesal. Ia duduk jongkok lalu memukul-mukul tanah.

"Peduli setan! Pokoknya saya minta harta, tahta, dan wanita. Inget aku bosmu sekarang. Ngerti!" Bardi memasang wajah bengis.

"Apes, deh, ketemu Bos seperti ini terus. Hmmm, apa boleh buat. Karena dia udah jadi bos, baiklah akan aku penuhi permintaannya itu.

"Baiklah, Bos. Tapi inget pergunakan apa yang sudah eke kasih dengan bijak, ya. Sekarang merem. Tahan napas. Semua yang menjadi keinginan Bos akan terwujudkan. Bos punya tiga permintaan. Dan ini permintaan pertama."

Bardi tersenyum. Dalam benaknya berpikir, bahwa dendamnya kepada orang tua Marni dan orang-orang yang selama ini meremehkannya akan segera terlampiaskan.

Bardi terpejam. Tahan napas. Dan ... wusss ... keajaiban pun terjadi.

Tiba-tiba ia sudah berada di sebuah ruangan mewah sekali. Duduk di singgasana bak raja. Dengan wanita-wanita jelita di samping kiri-kanannya.

Di sekitaran ruangan dipenuhi peti-peti emas yang terbuka lebar. Penuh dengan intan berlian dan perhiasan yang berkilauan.

Rasanya seperti mimpi. Berkali-kali Bardi mengucek mata. Mencoba memastikan. Ternyata benar-benar terjadi.

Saat itulah Bardi menjadi girang luar biasa. Dendam-dendam masa-masa miskin ia tumpahkan. Mulai dari makan enak, pergi ke tempat-tempat mahal, menikmati wanita-wanita cantik semaunya, juga menyuruh-nyuruh anak buahnya semaunya. Singkat kata apa yang pernah ia pikirkan selama masa-masa miskin ia tuntaskan sepuasnya.

Namun, tampaknya itu tak membuat Bardi merasa cukup. Kesenangan yang kini direngkuhnya, yang dulu diimpi-impikannya lambat lain menjadi biasa saja. Menjadi hambar. Ia masih merasa haus. Seakan dahaga belum terlampiaskan semuanya.

Membuat malu keluarga Marni sudah ia lakukan. Menghukum orang -orang yang selama ini menghinanya pun sudah ia kerjakan. Namun, ia masih merasa ada yang kurang.

'Barangkali jika aku tambah 10 kali lipat kesenangan ini pasti aku akan puas,' batinnya.

Ia pun meminta Jinlay mengabulkan permintaannya lagi. Karena ia masih punya dua permintaan. Bardi meminta bahwa kesenangan saat ini ia dapat menjadi 10 kali lipat. Tak hanya itu. Ia pun berkata bahwa semuanya harus mengejar-ngejarnya. Ia ingin balas dendam dengan paripurna. Tak hanya kepada orang-orang. Tetapi keadaan apa yang selama ini ia impikan ikut tunduk kepadanya. Termasuk harta dan tahta.

Jinlay agak terkejut mendengar permintaan ekstrim Bardi. Tapi untuk berdebat dengannya ia merasa enggan. Akhirnya dengan berat hati ia kabulkan.

Cling!

Keajaiban pun terjadi.

Semua kesenangan Bardi bertambah 10 kali lipat. Harta, tahta, maupun wanita-wanita tumpah ruah dalam hidupnya.

Ia girang bukan main. Tampaknya ia sudah cukup puas.

Namun, takdir berkata lain. Kesenangan yang ekstrim itu nyatanya tak bertahan lama.

Suatu malam dengan tubuh yang kering, layu, dan pucat. Ia memanggil Jinlay lagi. Ada apa gerangan?

Begitu Jinlay muncul. Bardi segera menjatuhkan diri di depannya.

"Aku masih punya satu permintaan lagi, kan, jin? Aku ingin minta satu itu untuk saat ini?"

Jinlay awalnya kaget. Kenapa bosnya menjadi begitu rupa keadaannya.

"Yaelah, Bos. Kenapa you jadi macam mayat hidup. Jadi gak like lagi deh akyu. Ga gemoy, ih. Jelek. Kek se tong. Bentar lagi me tong."

"Sudah, Jin. Saya gak mau banyak basa-basi. Saya sadar. Saya cuman minta satu permintaan lagi. Kembalikan keadaan saya seperti dulu. Pliss."

Jinlay agak terkejut. Apa bosnya sudah gila?

"Eh, nape lu, Bos. Aneh. Kok malah minta dikembalikan. Kenapa, Bos?" Diam-diam penasaran juga Jinlay.

"Tahu, nggak? Kamu masih ingat, kan, terakhir aku minta apa? Nah, sekarang aku dikejar-kejar wanita. Bayangkan. Setiap saat aku mesti melayani mereka. Lalu harta-harta setiap saat bermunculan. Aku tak tahu lagi buat apa itu harta. Juga tahtaku. Aku dituntut makin besar ini dan itu. Bikin pusing kepalaku. Mau pecah rasanya. Plis, Jin. Jadikan aku seperti semula. Aku tidak tahan," ucap Bardi gemetaran. Matanya celingukan seperti takut akan sesuatu.

"Cepat, sebelum wanita-wanita dan anak-anak buahku mengejarku. Plis, " ibanya lagi.

Belum sempat Jin menjawab Bardi, terdengar sangat riuh orang-orang mengejar Bardi. Bardi semakin ketakutan.

Orang-orang itu adalah wanita-wanita cantik yang menjadi begitu liar dan sangat bernapsu melihat Bardi. Juga anak-anak buah Bardi yang menuntut tugas macam-macam dan menyerahkan tambahan-tambahan harta yang seperti tak kunjung mereda.

"Plis, Jin. Jadikan aku seperti semula ...!" Bardi berteriak sembari lari terbirit-birit menjauhi orang-orang yang mengejarnya.

Jinlay bukannya segera memenuhi permintaan Bardi. Malah ia terpingkal-pingkal melihat Bardi. Sampai perut buncitnya berguncang-guncang.

"Biarin, deh, aku biarkan begitu dulu sampai besok. Ki-ki-ki-ki-ki. Habis, sudah diingetin ngeyel. Ki-ki-ki-ki ...!"

Jinlay terus tertawa. Sedangkan Bardi tengah lintang pukang menghindari kejaran orang-orang.

.

End.

***

"Bila air yang sedikit dapat menyelamatkanmu (dari rasa haus), tak perlu meminta air lebih banyak yang barangkali dapat membuatmu tenggelam.

Maka selalulah belajar cukup dengan apa yang kamu miliki."

-Cak Nun-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun