“Lulu, bagaimana ?” Tanya papa.
Aku serasa kembali ke zaman Siti Nurbaya yang semua serba dikekang dan dikendalikan oleh orang tua. Tidak ada kebebasan mengekspresikan perasaan. Tapi kalau dipikir-pikir posisi aku ini jauh berbeda dengan Siti Nurbaya. Karena laki-laki yang disodorkan oleh papa pasti bukan laki-laki biasa.
Alhamdulillah aku belum menambatkan cintaku ke hati siapa pun. Dari awal aku sudah bertekad, cinta ini akan kulabuhkan pada hati yang sudah betul-betul sah untuk aku nikmati belai dan kasih sayangnya. Jadi di satu sisi aku tidak merasa terpaksa tapi di sisi lain pikirku melayang pada sosok laki-laki yang tidak mengenalku tapi aku mengenalnya dengan beberapa prestasi dan kemuliaan akhlaknya.
Dia apa kabar ya? Apakah jodohnya adalah kak Sarah? Mereka memang pasangan yang serasi. Dia laki-lakinya sholeh dan kak Sarah perempuan lembut penuh kasih sayang, aku bisa merasakannya saat dia bersamaku ketika ikut perkemahan. Ya sudahlah, bukan urusanku. Aku harus fokus pada laki-laki yang CV nya sudah di tanganku ini.
Vans Prasetya. Kamu siapa ? Meski kamu sekarang kuliah di Cairo, Mesir, apakah kamu benar-benar beramal dengan ilmu yang kamu miliki? Fakta-fakta memilukan dari beberapa mahasiswa Al Azhar yang kukenal membuatku sedikit ragu untuk menerimamu. Apalagi aku hanya mengenalmu sebatas anak teman papaku
“Lulu istikharah lagi dulu ya pa, kan masih dua hari lagi” jawabku menenangkan papa yang terus bertanya semenjak CV itu di tanganku.
Setelah itu aku putuskan untuk menghubungi Siska teman baikku, semenjak lulus D2 di Mahad Az Zubair Padang, kita sudah ga pernah ketemuan lagi. Kita selalu menjaga hubungan baik kita dengan chat maupun telfonan.
“Siska, ada yang datang nih. Aku galau”
“hahahaha” balas Siska. Dia memang paling tahu bagaimana aku. Penampilan luar yang tomboy, atau lebih tepatnya aku adalah tipe orang yang tidak terlalu peduli dengan penampilan. Tapi kalau soal perasaan aku lebih sensitive dibandingkan para wanita yang feminim. Dan Siska sangat hafal itu.
“Aku jadi ingat waktu kita ngobrol-ngobrol tentang kriteria suami idaman. Hahaha. Ngomong-ngomong dia sesuai ekspektasi kamu ga ?” tambahnya.
“Hmm, kalau lihat CV nya sih lumayan menarik. Tapi. Ga tahu, pikiranku kemana-mana” balasku.
“Ya udah. Kamu istikharah aja lagi. Sampai hati kamu benar-benar yakin dan tenang.”
Selang beberapa menit dia kembali mengirim pesan “Sebenarnya aku juga lagi galau tahu” dia mengirim emot sedih. “Abang kesayanganku mau nikah. Belum fix sih, tapi kayaknya lagi ta’aruf gitu. Aku ga berani nanya perempuan itu siapa, karena abangku orangnya pendiam. Aku takut dia malah jadi illfeel sama aku.”
Aku yakin yang dimaksud Siska adalah abangnya yang kuliah di LIPIA. “Terus kenapa harus sedih Siska ? hahaha. Harusnya kamu ikut bahagia. Bantu dengan doa, semoga dia dapat yang terbaik.”
Keesokan harinya, aku mendapat pesan untuk acara reuni organisasi keagamaan yang dulu aku ikuti sebelum masuk diploma. Aku berusaha mencari kontak teman dekatku di organisasi supaya bisa pergi bersama.
“Assalamu’alaikum kak Lulu. Apa kabar ? Mau pergi reunian kah ? Bareng yuk. Sekalian temu kangen karena sudah 2 tahun tidak berjumpa” pesan dari Yunita. Pas banget. Aku langsung menyetujui ajakannya, dan kita pun janjian di suatu tempat.
Melihat Yunita, pikiranku kembali melayang ke sosok laki-laki itu. Namanya Abduh. Dulunya dia juga salah seorang anggota dari organisasi ini. Anak didik kesayangan ustadz Dimas, pembimbing organisasi ini. Itu semua karena kecerdasan dan keaktifannya. Pernah beberapa kali aku melihat wajahnya, karena tidak sengaja lewat ataupun karena dia tampil di depan umum untuk menyampaikan sesuatu.
Aku teringat saat Yunita berbisik di telingaku ketika kak Abduh menyampaikan sesuatu di hadapan semua anggota “Setahu aku, kak Abduh sama kak Sarah itu saling suka, tapi karena mereka tahu bahwa di islam itu tidak ada yang namanya pacaran, akhirnya mereka hanya berteman saja. Tapi jelas banget sih dari perhatian kak Abduh ke kak Sarah” Seketika itu juga aku kembali flashback ke kejadian waktu di perkemahan.
Ya, selama acara perkemahan berlangsung, maupun setelah penutupan, kak Abduh sempat beberapa kali menghampiri kak Sarah. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi di sana sangat jelas, kak Abduh berusaha untuk menjaga muamalahnya. Dia terlihat sedikit tergesa-gesa, seperti tidak mau berlama-lama berada di dekat perempuan yang bukan mahramnya. Aku yakin , pembicaraan itu sangat penting, oleh karena itu dia memaksankan diri untuk menghampiri kak Sarah.
Sejujurnya aku tidak begitu peduli dengan hubungan mereka. Tapi tidak bisa kupungkiri, bahwa akhlaknya membuatku terpukau. Aku hanya bias mendoakan yang terbaik untuk nya. Semoga Allah memberikannya jodoh yang bisa menolongnya untuk semakin dekat dengan Allah. Begitu juga untuk kak Sarah.
“Kak Lulu” Yunita menepuk bahuku. “Aku baca salam dari tadi lo”
Aku tidak sadar bahwa lamunanku begitu panjang. “Astaghfirullah, afwan Nita. Aku ga sadar beneran. Hehe. Pas lihat kamu aku teringat masa-masa kita camping 3 tahun yang lalu”
“Ooo, yang ketika kak Abduh jadi ketuanya itu kan ? Iya, seru banget. O iya, kak Lulu tahu ga ? Kak Sarah udah nikah lo” Ucap Yunita sembari menaruh helmnya.
Jantungku berdetak keras. “Iya kah ? Masya Allah. Kapan ?” Aku tidak mengerti, kenapa aku begitu kaget.
“Tahun kemarin, kak.” dia diam sejenak sambil berkaca di depan spion motor dan merapihkan kerudungnya. Kemudian menatapku yang masih kaget tidak bergeming. “Kakak tahu ga sama siapa ?” sekarang senyumannya penuh misteri. Aku hanya diam. “hmmm, sama kak….”
“Sama ustadz Dimas” dia langsung menyambar sebelum aku selesai menebak dan tertawa lepas. “Masya Allah, kan ? Ustadz Dimas emang cerdas banget. Habis kak Sarah lulus sekolah keperawatan, beliau langsung mendatangi kak Sarah dan melamarnya.” dan dia masih tertawa.
Rasa ingin tahuku belum terpenuhi. “Terus kak Abduh ? bukannya mereka sempat dekat ?” Aku kembali bertanya sembari berjalan menuju aula tempat reuni.
“Hmmm, ga tahu juga. Tapi kalau dipikir-pikir ada pelajaran besar di sana kak. Alhamdulillah dulu mereka ga pacaran. Lihat aja sekarang, ternyata mereka bukan jodoh. Dari dulu pun mereka udah saling menjaga. Alhamdulillah, Allah tuntun mereka dalam menyikapi rasa cinta yang hadir.” dia diam sejenak dan kembali menatapku.
“Kok kita sotoy banget ya? Hahaha. Siapa juga yang tahu kalau dulunya mereka saling suka. Kak Abduh kan memang baik sama semua orang. Ga cuma sama kak Sarah aja. Dasar kita” Yunita geleng-geleng kepala dan masih tertawa.
Aku tertegun. Aku merasa ada angin lembut membelai hatiku. Masya Allah. Ajaran islam memang luar biasa. Ga terbayang jika mereka sudah bercinta dari awal, tapi kemudian takdir berkata lain. Bagaimana sakitnya. Tapi Allah Maha Tahu yang terbaik untuk hambaNya. Allah syariatkan ajaran yang akan mendatangkan kebaikan yang banyak untuk hamba-Nya.
Ya Allah bukakanlah untukku pintu rahmat Mu dan berikan untukku jodoh yang baik yang terus membantuku untuk semakin dekat dengan Mu. Dan saksikanlah, bahwa aku menyimpan rasa cintaku untuk kak Abduh untuk cinta yang Engkau halalkan. Gantikanlah dengan yang terbaik Ya Rabb.
Acara reunian berlangsung dengan khidmat, dan tentunya tanpa kehadiran kak Abduh. Ada sitar tinggi yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Di sudut ruangan tampak kak Sarah menggedong bayi dan ustadz Dimas berada di sampingnya. Subhanallah. Ayat-ayat Allah begitu nyata. Aku bergumam di dalam hati.
*****
Hari ketiga. Fikiranku kemabali terbang ke CV Vans Prasetya. Apa jawaban yang akan kuberikan ? Jujur perasaanku biasa saja. Tidak condong ke sisi manapun. Ya Allah. Aku harus memutuskannya dengan segera.
Aku berusaha berdiskusi dengan hati dan fikiranku.
“Lulu, bagaimana agamanya ?” baik.
“Apakah dia sholat lima waktu di masjid?” iya, bahkan dia adalah seorang khatib.
“Apa dia seorang penjahat ?” tidak.
“Apa dia layak untuk menjadi seorang imam ?” insya Allah.
“Apa orang tuamu ridho dengannya ?” banget.
“Apakah hatimu gelisah?” tidak, biasa saja.
“Bagaimana hubungannya dengan orang tuanya ?” baik sekali.
“Baik, berarti kamu tidak memliki alasan untuk menolaknya”
Sekarang hati dan akalku sudah sependapat. Hufft. Aku menarik nafas panjang.
“Lulu” Papa memanggilku dari lantai satu. Jantungku berdetak kencang. Apakah keputusan yang kuambil sudah benar ? Aku turun menemui papa, pura-pura tidak tahu, kenapa dia memanggilku. Aku duduk di meja makan berharap bahwa dia memanggilku hanya untuk sarapan.
“Masya Allah, enak ya pa.” Aku berusaha membuatnya lupa dengan janjiku tentang CV Vans.
Papa hanya mengangguk dan terus menyantap sarapan. Beberapa menit kemudian “Lulu, bagaimana nak ?” suara lembut mama sontak membuat jantungku kembali berdetak tak karuan. Aku berusaha menenangkan diri dengan meneguk sedikit air.
“Hmm,. Iya Lulu sudah putuskan.” Mereka memandangku penuh harap. “Insya Allah Lulu sudah tenang untuk lanjut ke proses berikutnya”
“Alhamdulillaaah” Semuanya tampak begitu bahagia. Entah kenapa, sekarang hatiku betul-betul tenang, tidak seperti biasanya. Senyuman keduanya betul-betul membahgiakan. Tidak ada yang lebih aku harapkan daripada ridho keduanya. Apa Allah benar-benar akan mendatangkan untukku laki-laki yang lebih baik dari kak Abduh. Ya Rabb. Engkau tak akan pernah megecewakan hamba yang bersandar kepadaMu.
“Papa, sudah kasih tahu om Rizal tentang jawaban kamu, dan beliau bilang bahwa anaknya ingin nadhzor siang ini. Mumpung belum balik ke Mesir” Aku terkejut mendengar perkataan papa, prosesnya begitu cepat, seolah tak memberiku celah untuk bernafas. Ya Allah, kuserahkan semua urusanku kepada Mu. Aku hanya ingin bisa semakin dekat dengan Mu. Berikan untukku salah seorang hamba Mu yang terbaik ya Rabb.
Aku tak bisa sembunyikan keputusan besar yang kuambil ini dari sahabat baikku, Siska. Aku balik ke kamar, kukirim pesan singkat untuknya. “Siska aku sudah ambil keputusan. Insya Allah aku akan lanjut ke proses berikutnya”
“Lutfiyah, kamu beneran udah yakin ?” balasan siska selang beberapa menit. Nama lengkapku Lutfiyah Latifah. Tidak ada yang tahu bahwa aku punya nama kecil Lulu, kecuali teman-temanku sebelum masuk diploma. Dan aku selalu memperkenalkan diri kepada siapapun bahwa namaku Lulu. Aku ganti nama panggilan sejak masuk diploma.
“Iya Siska. Aku ga punya alasan untuk menolak. Mohon doanya ya. Jika ini yang terbaik, insya Allah akan dimudahkan prosesnya hingga akhir. Tinggal satu langkah lagi. Nadhzor. Jujur aku deg degan.” Balasku
“Amin. O iya, ngomong-ngomong aku udah dapat bocoran dari ummi tentang perempuan yang lagi ta’aruf sama abangku. Namanya bukan nama isalmi. Tapi kata ummi dia perempuan sholihah. Ummi sama Abi temenan baik sama orang tuanya. Ya Allah, semoga Allah berikan untuk abangku perempuan yang bisa membuatnya bahagia dan semakin dekat dengan Allah” doa Siska, dan aku ikut mengaminkannya.
Kita sering bertukar pikiran dan pendapat. Siska adalah teman yang baik dan sangat menjaga perilakunya. Dia tidak pernah cerita tentang abangnya kepadaku, baik itu namanya ataupun bagaimana dia. Dia hanya bercerita bahwa dia sangat mencintai abangnya. Itu semua karena dia ingin menjaga hatiku.
Akupun demikian, setiap kali bercerita, aku berusaha sedemikian rupa untuk menyembunyikan nama agar semuanya tetap berada dan koridor umum. Aku benar-benar mencintai Siska karena Allah.
Tidak ada sesuatu apapun yang aku persiapkan untuk nadhzor siang ini selain istighfar yang terus kuucapakan berulang-ulang. Dari lantai dua aku mendengar suara klakson mobil, dan suara pintu yang dibuka setelahnya. Aku mengambil nafas panjang dan kembali memperbanyak istighfar dan doa agar menjadi lebih tenang.
Aku tidak mengenal Vans, dan belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Dia lebih besar dariku 2 tahun. Setidaknya aku bisa berprasangka baik kepada Allah bahwa dia akan jadi lebih dewasa daripada aku.
“Lulu” Mama memanggilku dari lantai satu, Aku tidak akan menemui mereka. Kecuali hanya untuk nadzhar. Aku tidak akan kuat berkumpul dengan mereka. Aku hanya diam dan tidak tidak menjawab panggilan mama. Mama tidak memanggilku kembali. Aku yakin dia sangat paham bagaimana posisiku saat ini.
Satu jam berikutnya, mama menghampiriku ke kamar. “Ayo nak. Vans dan ibunya menunggu kamu di ruang makan.” Aku hanya menatap mama dengan pipi memerah dan tetap duduk di atas kursi belajarku. “Tenang, Abinya Vans bersama papa di ruang tamu. Hanya kita berempat di ruang makan. Ayo nak. Jika ada yang ingin kamu tanyakan, kamu bisa bertanya nantinya”
Aku berdiri perlahan. Aku tarik nafas dalam untuk menguatkan langkah. Aku betul-betul berpasrah diri kepada Allah. Sebelum beranjak. Aku berdoa untuk kak Abduh. “Ya Allah berikanlah jodoh yang terbaik untukku dan untuk kak Abduh” Ini adalah hal yang selalu aku lakukan jika pikiranku melayang kepadanya. Aku tahu betul, malaikat akan mengaminkan doa sesorang muslim terhadap muslim lainnya secara ghaib dan akan berdoa “dan untukmu semisalnya”.
Bismilllah. Aku melangkah turun menuju ruang makan, dengan kepala yang terus menunduk. Mulai kulihat jubbah putih duduk di ruang makan. Aku tak berani mengangkat kepala untuk melihat wajahnya. Aku begitu malu. Ummi Vans juga tidak berusaha untuk memintaku agar melihat anaknya. Dia tahu betul bagaimana perasaanku saat ini, karena dia juga perempuan.
Aku duduk di kursi yang disediakan mama dan duduk di sampingnya. Aku sedikit mengangkat pandanganku, dan kulihat tangan laki-laki asing di atas meja. Ya Allah. Siapakah hamba Mu yang ada di hadapanku ini ? Apakan dia benar-benar jodohku ?
“Alhamdulillah, kita sudah sampai pada tahap ini. Nah, Ananda Vans, ini anak tante. Lulu.” Aku tak mendengar suara apapun sebagai jawaban dari Vans. Aku rasa dia hanya mengangguk. Kemudian mama memegang bahuku “Lulu, ini Vans, anak tante Sulis dan Om Rizal. Ayo nak. Angkat pandangan kamu” Aku tidak berani mengikuti permintaan mama. Aku hanya menunduk dan mengangguk.
“Ya sudah, tanpa lama-lama meunggu. Sekarang Lulu, silahkan turunkan cadar kamu nak. Vans berhak untuk melihat kamu. Setelah itu kamu boleh bertanya apa saja yang dirasa perlu untuk ditanyakan” ucap mama. Aku pun menurunkan cadarku perlahan, dan tetap menunduk.
“Masya Allah. Lulu. Kamu cantik sekali nak.” sahut tante Sulis. “Vans, ayo lihat” sambungnya. Dari situ aku tahu, ternyata dia juga menundukkan pandangannya. “Lulu, kamu belum pernah ketemu Vans kan ? Ayo, angkat dagumu, dan lihat siapa yang ada di hadapanmu” tante Sulis berbicara padaku.
“Ga apa-apa tante. Insya Allah nanti aja” ucapku lembut. Aku bersykur , karena tidak ada yang memaksaku. Sejurus kemujian mama kembali memandu pertemuan ini “Vans, jika ada yang ingin kamu tanyakan, kamu bisa bertanya sekarang”.
“Insya Allah tante” Aku mendengar suaranya. Jantung berhenti berdetak. Aku serasa mengenal suara ini. “Lulu” dia memanggilku. Sekarang detak jantungku jadi tidak karuan. Kenapa suara ini sangat tidak asing bagiku. Dan kenapa jantungku jadi bertingkah tidak karuan seperti ini.
“Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusan kamu ?” dia melanjutkan pembicaraannya. Aku tak berkutik. Hati dan kepalaku masih bertanya-tanya. Menyesuaian nama-nama yang ada di memori otakku dengan suara yang kudengar ini. “Karena aku yakin , sedikit banyaknya kamu sudah mengetahui tentang aku.” dia pun selesai dari pembicaraannya.
Secara spontan, aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. “Kak Abduh ?!” ucapku. Mama dan tante Sulis kaget dengan responku. “Iya aku Abduh” jawabnya. Aku memang tidak pernah menyangka bahwa Abduh bukan nama aslinya, melainkan nama hijrahnya.
“Lo, ternyata kalian sudah saling kenal ?” ucap tante Sulis. “iya Lulu, Vans memang punya nama hijrah, Abduh. Tapi tante selalu memperkenalkan dia ke teman-teman tante dengan nama aslinya Vans.”
Ada sekelompok perasaan dalam hatiku yang berteriak bahagia. Tapi sebagian besarnya tertegun, seolah tak percaya. Apa semua ini benar ? Ya Allah. Mimpi apa aku siang bolong begini ?
“Jadi bagaimana, Lulu?” kak Abduh kembali bertanya.
Aku hanya diam. Kembali tertunduk malu. Rona merah di pipiku yang kuning langsat semakin jelas. Beberapa saat kemudian dia kembali berkata“Jazakillahukhoiron” . Adalah suatu hal yang ma’ruf bahwa diamnya seorang gadis menandakan keridhoannya. Seketika tante Sulis menambahkan “Alhamdulillah, semoga Allah mudahkan semua prosesnya sampai akhir. Amin.”
Tak lama setelah itu, terdengar bunyi seseorang datang dari ruang tamu. Aku kembali shock melihat sahabatku berada di hadapanku. Kenapa dia bisa ada di sini. “Siska ?!” aku memanggilnya.
Dia juga tak kalah kagetnya saat melihatku tidak menggunakan cadar di hadapan laki-laki asing. “Lutfiyah. Ini rumah kamu ?” Dia hampir menjatuhkan kotak cincin yang ada di tangannya. “Ummi, kata ummi calon istrinya kak Vans namanya Lulu” katanya kepada tante Sulis.
Aku betul-betul tidak percaya bahwa ternyata tante Sulis adalah ibunya, dan ternyata Vans ini adalah abang kesayangannya. Dia menghampiriku dan memelukku dengan kencang. “Lutfiyah. Habibati. Aku senang sekali. Meskipun aku kaget luar biasa, tapi aku sangat bahagia bahwa abangku memilihmu. Dan itu artinya kita akan semakin dekat. Ya Allah. Terima kasih banyak ya Allah” Aku pun membalas pelukannya dengan hangat.
“Tapi bukannya kamu pernah bilang bahwa abang kamu sekolah di LIPIA ?” tanyaku heran
“Iya, tapi Cuma 1 tahun, setelah itu beliau lanjut ke Mesir” jawabnya.
Masya Allah, takdir Allah memang begitu indah. Aku tak pernah membayangkan bahwa cinta yang selama ini kupendam menjadi kenyataan. Allah selalu memiliki cara tak terduga untuk memberikan kejutan special untuk hamba Nya.
Allah tidak akan pernah sia-siakan hamba Nya yang menjaga hatinya untuk yang halal. Allah tidak pernah lalai terhadap hamba Nya yang rela mengubur cintanya yang belum halal demi mendapatkan ridho Penciptanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI