Ibu beranjak dari tempat ku menumpahkan Bakso ia langsung pergi beres-beres tanpa memperdulikan aku lagi. Melihat ibu yang acuh,ku banting semua barang-barang disekelilingku, semua barang ku hamburkan sambil berteriak. Bantal lapuk ayah, gelas, sapu, apapun yang dapat dijangkau ku lempar.Â
Walaupun begitu ibu tetap tidak peduli. Kulihat ayah juga sama seperti ibu, acuh  terhadapku ia tetap asik cuci piring didapur.  Dari bawah tangga kuperhatikan ayah yang sedang mengangkat tempat sisa-sisa kuah Bakso dari kompor, dibuangnya sisa-sisa tersebut  diguyurnya tempat itu dengan air sabun.
Kekesalanku memuncak entah iblis mana yang merasuki ku waktu itu,  kompor tempat kuah Bakso masih menyala, apinya besar dan hijau. Dibawah kompor ada  minyak  kompor  kira-kira dua liter. Tanpa pikir panjang aku berdiri dari tempat tidur ayah yang sudah berantakan ku buka tutup botol minyak dan langsung menuangkannya ke kompor.Â
Yang ku ingat setelah itu api berkobar didepan mataku menyambar ke  piring --pring  plastik di rak .Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, aku terbangun sudah dirumah sakit. Nenek dan adik-adik ku sudah disampingku mereka menangis katanya ayah ibu tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan kebakaran itu.
Aku hanya diam,  aku diam tidak berbicara selama satu tahun semenjak kejadian itu. Banyak orang bersimpati kepada ku,mereka bilang aku harus sabar, semua ini terjadi karena kehendak tuhan. Kehendak tuhan? Mereka tidak tahu bahwa akulah yang menghendaki kebakaran itu,sama sekali bukan  kehendak tuhan.!!
23 Juni 1990
Satu tahun setelah kejadian kebakaran itu aku mendadak membisu, ada rasa sedih yang tak mampu ku ekspresikan.  Hari-hari kuhabiskan  hanya untuk melihat makam ayah dan ibu. Pagi-pagi buta aku pergi kemakam duduk disana seharian,  beranjak pulang setelah dijemput nenek.
Waktu itu ada sahabat-sahabat ku Utari, Nani, Susi, Pika, Nina yang selalu datang ke kemakam .Mereka bermain kejar-kejaran, main congklak batu, main petak umpet ditempat tidak lazim,ditempat pemakaman umum hanya untuk menemani kegilaanku.
Sahabat-sahabat ku tetap seperti biasa bertengkar, menangis, dan tertawa,sedangkan aku tidak menyadari keberadaan mereka.Sampai suatu ketika mungkin sahabat-sahabatku sudah bosan selalu main di pemakaman tapi tidak dengan Utari ia tetap datang.
Utari datang setelah ia habis mengaji di tempat mualim kong Ali.Utari yang juga anak yatim piatu mengerti betul apa yang sedang aku rasakan, hingga anak sekecil dia sudah mampu mengeluarkan kata-kata "La, kayaknya kamu rugi kalau kayak gini deh,kasihan nenek kamu, kasihan Tomi, kasihan Tiara dan Rara .Hidup harus tetap berlanjut bukan?? aku yakin ibu dan ayahmu juga sedih melihatmu seperti ini.Kalau kamu rindu,ingin bercerita dengan ayah dan ibumu kamu tinggal beroa La, doakan mereka supaya masuk surga hehehhehe itu kata kong Ali tadi sih".
Setelah mendengar ucapan Utari aku tetap memandang dua unggukan tanah didepan,tapi aneh air mataku jatuh.