Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel [20] Goodbye Nightmare! | Jati Diri Lionel

29 Desember 2019   05:50 Diperbarui: 29 Desember 2019   05:44 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:istockphoto.com

 

Bag-20

Jati Diri Lionel

------

Di rerimbunan hutan pinus.

Siapa sebenarnya Lionel? Mengapa ia tahu banyak tentang Laquita? Mengapa pula pemuda itu antusias membantunya lolos dari kepungan anak buah Nemo?

Jeremy mendesah. Beberapa teka-teki telah terpecahkan. Kecuali jati diri pemuda bernama Lionel itu.

Angin di sekitar lembah bertiup kencang. Sejenak Jeremy menepis rasa penasaran terhadap sosok bernama Lionel itu. Ia kembali fokus menatap gadis yang terkulai di pangkuannya. Gadis yang kini tidak lagi mengenakan topeng.

Topengnya terjatuh entah di mana saat ia menggendongnya tadi.

Jeremy mengamati wajah cantik di hadapannya itu. Sejenak ia terpana. Ia seperti benar-benar melihat wujud Dewi Hera. Wajah yang pulas itu memancarkan cahaya seperti rembulan.

Jeremy ingin sekali mencium wajah itu dan membenamkannya ke dalam dadanya yang bidang. 

Tapi ia tidak berani melakukannya.

Ia tahu. Akibat apa yang bakal diterimanya jika ia tidak bisa mengendalikan diri.

Maka dibiarkan wajah cantik itu tetap tidur dengan tenang.

***

Hari sebentar lagi pagi. Jeremy melihat perubahan pada warna kulit tubuhnya mulai muncul. Bentol-bentol berwarnah merah kebiruan.

Ya. Perubahan itu merupakan salah satu efek akibat ia melanggar kesepakatannya sendiri dengan leluhurnya.

"Titisan Hera memang akan menyempurnakanmu. Tapi kau harus menghindari segala hal yang biasa kaum kita lakukan. Jika kau melanggar pantangannya, maka semua akan kembali ke titik nol," pesan kakek leluhurnya terngiang kembali.

Demi kesempurnaan. Jeremy rela menjalani semua syarat-syarat yang mesti dijalaninya dan menghindari semua pantangan. Berabad-abad lamanya.

Tapi kali ini---apa yang sudah dilakukannya? Ia telah melanggar ketentuan leluhurnya. Dan itu akan membuatnya kembali ke titik nadir. Titik nol. 

Suara rintihan membuatnya tersadar dari lamunan. Laquita menggeliat. Gadis itu membuka matanya perlahan.

Tapi kemudian mata bagus itu harus kembali terpejam.

Jeremy terpaksa membuatnya tertidur lebih lama lagi.

***

Di ruang pemujaan.

Ritual persembahan mengalami kegagalan. Lionel berhasil kabur. Pemuda itu melarikan diri melewati lorong panjang dan keluar melalui pintu yang sama--- seperti yang pernah dilewati oleh Jeremy.

Lolos dari kepungan anak buah Big Boss bukan berarti membuat Lionel merasa benar-benar merasa aman. Ia masih harus melewati jalan berliku lagi. Jalan yang membingungkan semacam labirin.

Lama Lionel terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi kemudian ia mengambil keputusan untuk segera melanjutkan langkah. Ia tidak ingin tertangkap lagi oleh anak buah Nemo yang bisa saja sewaktu-waktu muncul.

Untunglah tak lama kemudian ia melihat semacam jejak sepatu. Ia mengikuti jejak tertinggal itu hingga menemukan jalan setapak yang menuju ke arah lembah.

Malam gelap membuat kakinya kian terseok. Beberapa kali ia terperosok ke dalam parit atau lubang, yang entah siapa telah menggalinya.

Sesekali Lionel menengok ke belakang. Memastikan bahwa langkahnya sudah cukup jauh meninggalkan gedung tua yang dipenuhi oleh orang-orang aneh itu. Orang-orang yang berwajah mengerikan.

Jika mengingat wajah-wajah itu Lionel merasakan bulu kuduknya berdiri.

Kini langkah kakinya tidak lagi tergesa. Ia sudah memasuki belantara pohon pinus. Ia mesti menajamkan pandangannya yang kian mengabur terhalangi oleh kabut pekat yang mulai turun.

Baru saja hendak berbelok arah ke arah jalan yang sedikit lapang, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sosok berpakaian hitam yang berdiri tidak jauh darinya.

Lionel tertegun.

Siapa dia? Mengapa malam-malam berada di lereng lembah seperti ini?

Benak Lionel seketika dipenuhi tanda tanya.

Rasa penasaran membuatnya berjalan agak cepat. Mengikuti sosok yang berjalan lurus di hadapannya.

Pada kisaran jarak tiga meter barulah ia bisa mengenali sosok itu.

Yup. Lionel pernah melihatnya. Di sekitar Wooden House.

Sosok itu terus saja berjalan menuruni lembah bagian barat tanpa berhenti. Lionel masih menguntitnya dari belakang. Sampai tiba di sebuah padang rumput barulah sosok itu berhenti.

Lionel pun ikut berhenti.

Kabut tak lagi membayang. Sekeliling lembah mulai benderang.

Samar-samar Lionel mendengar sosok itu sedang berbicara dengan seseorang. Ia mundur beberapa langkah seraya menajamkan pendengarannya.

"Kita harus segera menyelesaikan semuanya. Sebab yang kuhadapi tidak sebodoh perkiraan kita. Semua berjalan di luar dugaan. Dan satu lagi---kerjasama dengan mahluk aneh itu ternyata malah menyulitkan posisi kita."

"Maksudmu?"

"Ia berbohong. Ia sendiri ternyata...Ah, sudahlah. Nanti kita akan bicara lagi. Kau kembali saja ke penginapan. Dan bersikaplah sewajar mungkin sampai semua bisa kita selesaikan dengan baik."

Lionel mendengar semuanya. Pemuda itu bersembunyi di balik pohon pinus yang hanya berjarak dua meter dari kedua orang yang tengah bercakap-cakap itu.

Sekitar lima menit sosok berjubah itu berbalik badan. Berjalan lagi. Kali ini gerakannya agak lebih cepat. Seperti tengah diburu sesuatu.

Sosok itu menghilang di kejauhan, menuju arah Wooden House.

Sementara sosok yang satunya masih berdiri. Mengawasi sekeliling. Lalu pandangannya terhenti pada tempat persembunyian Lionel.

Lionel tak sempat menghindar.

Ia tertangkap basah!

***

"Kau menguping pembicaraan kami, ya? Dasar penguntit!" Sosok itu tahu-tahu menodongkan senjata ke arah pinggang Lionel. Tepat di bawah ulu hatinya.

Lionel berusaha tenang meski hatinya merasa ketar-ketir. Ia bisa merasakan moncong senjata itu terasa dingin menyentuh kulit pinggangnya.

"Aku tidak tahu siapa kalian. Jadi abaikan saja bahwa aku pernah mendengar semua yang telah kalian bicarakan," Lionel berusaha berkilah.

"Oh, ya? Tidak semudah itu, kawan. Aku tahu kamu berbohong. Dan tentu saja aku tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkanmu lolos begitu saja," sosok itu siap menarik pelatuk senjata di tangannya.

Lionel memejam mata. Keringat dingin mulai membasahi kening.

Beberapa kali ia menghela napas panjang. Pasrah. Kiranya takdirnya harus segera berakhir hanya sampai di sini. Di hutan pinus ini.

Tapi tidak. 

Lionel tidak perlu berkecil hati. Sebab--- Jeremy datang tepat pada waktunya!

***

"Kau tidak membunuhnya bukan?" Lionel bertanya gemetar seraya melirik sosok yang baru saja terjungkal mencium tanah.

Jeremy menggeleng.

"Ia hanya pingsan. Oh, ya. Aku pernah berhutang budi padamu. Dan kukira hari ini aku sudah melunasinya," Jeremy tersenyum lebar ke arah Lionel.

"Di mana Laquita?" Lionel berbisik. Jeremy menunjuk ke satu arah.

Fajar hampir menyingsing. Ruam-ruam langit sudah mulai terlihat. Jeremy menggamit lengan Lionel.

"Aku ingin minta tolong padamu sekali lagi. Kau jagalah Laquita untuk sementara. Aku harus pergi. Malam nanti aku pasti akan menemui kalian."

"Tu-nggu! Bagaimana kalau Laquita siuman? Ia pasti sangat terkejut melihatku."

"Untuk seharian ini ia akan tertidur pulas."

"Oh, benarkah? Apakah itu tidak akan membahayakan dirinya?"

"Tidak. Sekarang kau kembali saja ke kamarmu. Ikuti jalan lurus ini. Ini akan tembus ke Wooden House. Sementara Laquita akan kuantar ke kamarmu."

"Ke-kamarku? Mengapa harus ke kamarku?" Lionel bertanya gugup.

"Nanti aku jelaskan. Lionel---siapapun kamu, izinkan aku mengucap terima kasih." Jeremy menepuk pundak Lionel. Lionel tidak bisa berkata-kata lagi. Sebab ia melihat Jeremy---pria bertopeng itu, sudah melesat. Melayang di udara membawa serta Laquita dalam gendongannya.

***

Terseok-seok kaki Lionel menaiki anak tangga Wooden House, menuju kamarnya di lantai 3.

"Selamat pagi, Ron!"

Lionel terkejut.

Deborah.

Tahu-tahu gadis itu sudah mencegatnya.

Bersambung...

***

Malang, 29 Desember 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Kisah sebelumnya : Novel 19

                           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun