Saat Mama bilang Slamet akan datang berkunjung ke rumah kami, aku tertawa geli. Bukan apa-apa, sepupuku itu pemuda udik. Ia tinggal di lereng pegunungan. Bisa dibayangkan, bagaimana penampilannya nanti. Pasti sangat ndesosekali.Â
"Dia di sini cuma sebentar, kan, Ma?" tanyaku menyelidik.
"Tergantung situasi. Yang pasti, Mama sangat senang ia mau datang mengunjungi kita," Mama menjawab dengan wajah berbinar.Â
"Kita jemput ke stasiun, ya," Mama menggamit lenganku. Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi Mama sudah menyerahkan kunci mobil ke arahku.
"Intan yang menyetir," Mama berjalan mendahului. Dengan malas aku mengikuti langkah Mama menuju garasi, mengeluarkan mobil, menghidupkan mesinnya lalu mengantar Mama menuju stasiun.
Kereta api ternyata terlambat datang. Aku enggan turun, memilih duduk di dalam mobil, menyibukkan diri membalas BBM dari Kevin. Sementara Mama berdiri di dekat pintu keluar menunggu kedatangan Slamet.
"Kenapa harus repot-repot menjemput dia?" aku menggerutu kesal. Setengah jam kemudian, kulihat Mama berjalan berdampingan dengan pemuda udik itu. Sungguh, penampilannya sangat menggelikan. Ia memakai kaca mata hitam. Kepalanya plontos, mengenakan kemeja warna ungu tua dan celana jeans warna biru, sangat kontras dengan kulitnya yang coklat kehitam-hitaman. Jauh sekali dari kata modis. Benar-benar amat ndeso.
"Apa kabar Dik Intan?" Slamet mengulurkan tangannya, menyalamiku. Ragu aku menyambut. Duh, telapak tangannya terasa begitu kasar. Buru-buru aku menarik tanganku kembali. Takut lecet dan tergores .
"Dik Intan ternyata sudah besar dan semakin cantik saja," ia tersenyum seraya membukakan pintu mobil untuk Mama.
"Kita langsung pulang, ya, Ma. Kevin sudah menunggu, nih," aku melirik Mama melalui kaca spion. Mama hanya mengangguk.
"Kevin itu pacarnya Dik Intan, ya?" Slamet memasukkan wajahnya melalui jendela depan, menatapku tak berkedip. Aku hanya mengangkat bahu. Kupikir tak ada gunanya menanggapi pertanyaannya.
"Oke, biar aku yang  mengemudi mobilnya, ya," Slamet siap membuka pintu.
"Tidak! Jangan! Nanti malah nabrak!" tolakku ketus. Aku tidak yakin cowok macam dia bisa menyetir mobil. Sangat meragukan.Â
Slamet berjalan memutar, membuka pintu mobil bagian tengah dan duduk di samping Mama.
Sebentar kemudian mobil yang kukemudikan melaju di jalan raya menuju pulang.Â
"Intan, jangan ngebut dong!" tegur Mama. Aku terpaksa mengurangi kecepatan. Dari balik spion kulihat Slamet tersenyum-senyum simpul.
Kevin sudah menungguku di teras depan rumah. Aku bergegas turun menemuinya. Saat melihat kami, ia mengangguk hormat dan tersenyum ramah ke arah Mama. Itulah yang menarik pada diri Kevin. Ia sangat sopan dan gentle.
"Sorry, aku harus mengantar Mamaku dulu," ujarku seraya mengajaknya masuk ke ruang tamu. Â
"No problem. Eh, siapa dia?" Kevin menunjuk ke arah Slamet yang berjalan santai masuk ke ruang tengah.
"Oh, dia---sepupuku. Sudah ah, jangan membahas dia. Oh, iya, apa rencana liburan besok?" aku mengalihkan pembicaraan.
"Rencananya mau ke puncak. Intan ikut, ya?" Kevin menatapku, penuh harap.
"Iya, dong. Rame-rame bersama teman-teman kan?"
Kevin mengangguk.
"Kita bisa menginap di Villa milik Papaku."
"Menginap? Pasti tidak akan mendapat izin dari Mama," aku cemberut.
"Kalau begitu kita berangkat pagi, sore pulang," Kevin tersenyum. Seketika mataku berbinar. Duh, Kevin memang cowok yang penuh pengertian.
Begitu Kevin pulang, aku menyampaikan rencana kami kepada Mama. Kelihatannya Mama kurang setuju.
 "Mama sudah berjanji. Selama Slamet berada di sini, kita yang akan mengantarnya jalan-jalan."
"Kok Mama perhatian banget sama dia, sih? Dia kan bisa jalan-jalan sendiri," protesku kesal. Beberapa saat Mama terdiam. Lalu dengan berat hati mengangguk. "Baiklah, Intan boleh pergi, tapi jangan pulang terlalu malam."
 "Thanks, Ma," aku menarik napas lega.
***
Seharian itu kami menikmati suasana liburan di puncak, bersantai ria di dalam Villa milik Papa Kevin. Kevin dan kedua orang temannya asyik bermain billiard di ruang atas. Sementara aku dan kedua temanku, Safa dan Fina hanya duduk-duduk menikmati tayangan televisi.
"Kalian nggak pingin renang?" Kevin muncul menuruni anak tangga.
"Pingin dong! Yuk, Intan," Safa menggamit lenganku.
"Kalian saja ya. Aku nggak bisa berenang," aku menyahut malu-malu.
"Kan ada Kevin. Dia pasti akan mengajarimu," Fina menggodaku. Wajahku bersemu merah. Tapi aku tetap menolak pergi.
"Baiklah, kami renang dulu ya, bye," Safa dan Fina melambaikan tangan meninggalkanku.
***
"Kita main catur saja, yuk," Kevin mengeluarkan papan catur dari dalam laci. Aku mengangguk. Kevin menggelar papan catur di tangannya dan menata rapi pion-pion di atasnya. Diam-diam aku menatapnya dengan penuh rasa kagum.
"Kenapa melihatku seperti itu?" mendadak Kevin mendekatkan wajahnya, aku terkejut.
"Ti-dak, anu, yang kalah dibedakin, ya!" aku berusaha menyembunyikan kegugupanku. Kevin setuju.
Sejak permainan catur dimulai, aku selalu berhasil memenangkan pertandingan. Aku tahu Kevin sengaja mengalah. Wajahnya yang tampan belepotan bedak, seperti badut. Kami tertawa berderai tiada henti. Sampai akhirnya kami kelelahan.
"Aku ambil air minum dulu, ya." Kevin beranjak.
"Tunggu, biar kubersihkan wajahmu," aku meraih tisu. Kevin mendekatkan wajahnya. Teramat sangat dekat.
"Intan cantik," ia berbisik seraya menatap mataku, membuat jantungku berdegup kacau."Oh, iya. Intan mau minum apa?"
"Apa saja deh..." aku menjawab gugup. Kevin berdiri, masuk ke dalam ruangan dan muncul kembali dengan membawa dua gelas cappuccino.
"Habiskan, ya, say. Kamu kelihatannya haus sekali," Kevin menyodorkan satu gelas untukku. Aku mengangguk. Sejak tadi memang tenggorokanku terasa kering.
Kuteguk sampai tandas cappuccino buatan Kevin. Sampai kemudian---mataku berkunang-kunang. Kepalaku mendadak pusing. Aku melihat Kevin tidak hanya satu. Kevin berubah menjadi begitu banyak.
Sebelum ambruk aku sempat merasakan tangan kekar Kevin memelukku.
Lalu semuanya berubah menjadi gelap.
***
"Intan, sayang, bangun..." suara Mama. Perlahan aku membuka mata. Masih terasa berat.
"Dia baik-baik saja. Setelah pengaruh obat bius itu lenyap, dia akan pulih," seseorang bicara dengan Mama.
"Ma, apa yang terjadi? Di mana aku?" Aku berusaha membuka mata lagi. Mama mendekatkan wajahnya dan membisikiku. "Kamu pingsan. Slamet yang membawamu ke rumah sakit ini."
"Slamet? Kenapa harus dia? Mana Kevin?" aku memprotes.
"Slamet sudah menyelamatkanmu."
"Menyelamatkanku? Memangnya apa yang terjadi? Please,Ma, katakan...."
"Kevin telah membiusmu. Dia---akan melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadapmu. Untunglah Slamet datang tepat waktu."
Kevin? Ah, aku nyaris tidak percaya.
"Kevin sudah diringkus oleh polisi," Mama melanjutkan.
"Polisi?"
Mama merapikan letak selimutku.
"Slamet adalah seorang Intel. Dia sedang menyamar."
"Menyamar?"
Mama mengangguk.Â
"Belakangan ini marak sindikat obat-obatan terlarang. Sasaran operasi mereka kali ini adalah kota kita ini. Slamet mendapat tugas mengintai mereka. Dan, salah satu anggota sindikat itu adalah---Kevin."
Penjelasan Mama mengagetkanku. Aku sangat terpukul. Dadaku terasa sesak. Kevin, oh, benarkah?
Mataku sibuk mencari-cari, menyapu seluruh ruangan. Kulihat sosok itu. Slamet, ia berdiri di dekat jendela mengenakan seragam polisi lengkap dengan atributnya.
"Hei, wong ndeso, mendekatlah!" seruku lantang. Slamet menoleh, ia masuk ke dalam ruanganku dengan langkah gagah.
"Dik Intan pasti marah karena aku telah mengikutimu," ujarnya seraya mengulum senyum.
"Iya, aku marah sekali... karena kamu tidak mengatakan siapa dirimu sesungguhnya."
"Habis Dik Intan sewot melulu sih. Tidak memberi kesempatan wong ndeso ini bicara." Ia tertawa. Renyah.
 "Sepupuku yang cantik, mulai sekarang wajib dan kudu menurut nasehat Mama," Slamet menoleh ke arah Mama, memeluk erat pundak wanita terkasihku itu.
"Intan, ada yang harus kamu tahu. Mas Agung dan Mbak Hesti, kedua orang tua Slamet, mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa dalam kehidupan Mama. Mereka yang membiayai kuliah Mama sampai selesai. Juga banyak membantu kita sejak Papamu meninggal. Aku sangat berhutang budi kepada mereka," Mama berkata terbata-bata. Matanya berkaca-kaca.Â
"Bulik jangan bersedih hati begitu. Selama kami mampu, kami akan selalu siap membantu."
Slamet mendekati ranjangku.
"Jaga dirimu dan Mamamu baik-baik, ya, Dik," ia menatapku sejenak. Aku tidak berani membalas tatapannya. Aku terlanjur malu. Malu pada kesombonganku. Aku telah keliru menilai Slamet. Ternyata sepupuku itu tidak se-udik dan se-ndesosebagaimana yang kupikirkan.
***
Malang, 11 September 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H