Penjelasan Mama mengagetkanku. Aku sangat terpukul. Dadaku terasa sesak. Kevin, oh, benarkah?
Mataku sibuk mencari-cari, menyapu seluruh ruangan. Kulihat sosok itu. Slamet, ia berdiri di dekat jendela mengenakan seragam polisi lengkap dengan atributnya.
"Hei, wong ndeso, mendekatlah!" seruku lantang. Slamet menoleh, ia masuk ke dalam ruanganku dengan langkah gagah.
"Dik Intan pasti marah karena aku telah mengikutimu," ujarnya seraya mengulum senyum.
"Iya, aku marah sekali... karena kamu tidak mengatakan siapa dirimu sesungguhnya."
"Habis Dik Intan sewot melulu sih. Tidak memberi kesempatan wong ndeso ini bicara." Ia tertawa. Renyah.
 "Sepupuku yang cantik, mulai sekarang wajib dan kudu menurut nasehat Mama," Slamet menoleh ke arah Mama, memeluk erat pundak wanita terkasihku itu.
"Intan, ada yang harus kamu tahu. Mas Agung dan Mbak Hesti, kedua orang tua Slamet, mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa dalam kehidupan Mama. Mereka yang membiayai kuliah Mama sampai selesai. Juga banyak membantu kita sejak Papamu meninggal. Aku sangat berhutang budi kepada mereka," Mama berkata terbata-bata. Matanya berkaca-kaca.Â
"Bulik jangan bersedih hati begitu. Selama kami mampu, kami akan selalu siap membantu."
Slamet mendekati ranjangku.
"Jaga dirimu dan Mamamu baik-baik, ya, Dik," ia menatapku sejenak. Aku tidak berani membalas tatapannya. Aku terlanjur malu. Malu pada kesombonganku. Aku telah keliru menilai Slamet. Ternyata sepupuku itu tidak se-udik dan se-ndesosebagaimana yang kupikirkan.