Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menculik Ibu

16 Februari 2017   18:45 Diperbarui: 16 Februari 2017   18:56 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkali kukatakan kepada Ayah, jika sudah besar nanti, aku ingin menculik Ibu. 

Mendengar itu Ayah tertawa. 

"Kau mesti menyiapkan mental dulu jika ingin menjadi seorang penculik. Terutama menculik Ibumu sendiri," begitu seloroh Ayah menanggapi kata-kataku. Kemudian tangan kekar itu merengkuhku. Mengacak-acak rambutku dan membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya.

Dalam peluk Ayah aku merasa sedih.

Ah, Ayah. Mengapa ia membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Ayah tidak mencegah Ibu pergi? Aku masih ingat, sore itu Ayah berdiri di ambang pintu seraya menggendongku. Ia tidak berkata apa-apa.

Aku benar-benar kecewa, sangat kecewa. Kukira Ayah akan melakukan sesuatu. Menarik tangan Ibu misalnya. Tapi ternyata tidak. Ayah hanya berdiri memandang punggung Ibu yang semakin jauh dan menghilang di ujung jalan.

Sungguh, sikap Ayah yang pengecut itu membuatku kehilangan rasa bangga terhadapnya.

"Ayah, sudah saatnya aku menculik Ibu," ujarku beberapa tahun kemudian, sepulang dari sekolah.

Ayah tidak menyahut. Ada gurat sedih terbaca di sorot matanya.

"Kau sudah besar, Gordy. Sudah lima belas tahun. Ayah tidak bisa mencegah keinginanmu," Ayah berkata lirih. Dan seperti biasa, diraihnya kepalaku untuk kemudian dibenamkan dalam-dalam, ke dalam pelukannya yang sama sekali belum berubah.

***

Ini tahun ke delapan semenjak kepergian Ibu. Aku ingin membawa Ibu pulang, lalu mempertemukannya dengan Ayah. Kukira cukup sudah Ayah memendam perasaannya. Berkali aku memergoki Ayah duduk menyendiri di ruang baca. Menatap potret Ibu berlama-lama. Itulah yang mendorongku untuk segera melaksanakan niatku. Aku akan menculik Ibu untuk Ayah!

Aku bersyukur, Tante Rosi,  teman lama Ibu berbaik hati memberiku nomor ponsel yang bisa dihubungi. Dari Tante Rosi pula aku tahu keberadaan Ibu dan bagaimana keadaannya.

Tanpa menunda-nunda, hari itu juga, sepulang sekolah aku menghubungi Ibu.

"Hallo...dengan siapa ini?" terdengar suara seorang perempuan. Aku nyaris terpekik karena girang.

"Ini Gordy! Gordy...Ibu..." suaraku bergetar menahan perasaan yang membuncah.

"Gor-dy? Siapa, ya?"

"Oh, maaf, ini bukan Ibu Milenia?"

"Bukan, ini sekretarisnya. Ada pesan?"

"Iya, tolong sambungkan dengan Ibu Milenia! Ini dari Gordy, anaknya!"

Pembicaraan terputus. Tapi tidak lama.

"Gordy? Ibu Milenia sedang sibuk. Beliau berjanji nanti sore akan menelponmu." 

"Oh, baiklah. Aku akan menunggu! Terima kasih."

Pembicaraan terputus lagi.

"Bagaimana? Masih berniat menculik Ibumu?" Ayah tersenyum ke arahku. Aku mengangguk. Wajahku berseri-seri.

"Nanti sore Ibu akan menelponku, Ayah."

Ayah tidak menyahut. Ia berjalan menuju jendela. Disibaknya tirai perlahan.

Di luar, gerimis baru saja luruh.

***

Siang itu aku tidak ke mana-mana. Hanya duduk manis menunggu telpon dari Ibu.

"Gordy, kamu belum makan," tangan kekar Ayah menyentuh pundakku. Aku mengangkat dagu sedikit, melirik ponsel yang tergeletak di sudut meja.

"Ponselmu sama sekali tidak berdering, kan, Gordy," ujar Ayah seolah tahu apa yang tengah kupikirkan. Agak malas aku mengikuti Ayah menuju ruang makan. Dan aku makan hanya sedikit tanpa berkata-kata.

Baru beberapa suap, ponselku bergetar. Itu pasti dari Ibu! 

"Ya, hallo, Ibu?" Aku nyaris  tersedak.

"Bukan, ini sekretarisnya. Kami akan segera menjemputmu."

"Sekarang? Oh, baiklah! Terima kasih. Saya akan bersiap-siap!"

Aku menghabiskan sisa makananku dengan tergesa. Lalu beranjak menuju kamar.

Kukeluarkan beberapa pakaian dari dalam almari. Kupilih yang terbaik. Aku ingin tampil sempurna saat bertemu Ibu nanti. Aku tidak ingin mengecewakannya.

"Sudah siap menculik Ibumu?" tahu-tahu Ayah sudah berdiri di belakangku. 

Aku tertawa. 

Tawa bocah yang sedang bahagia.

***

Deru mobil meraung memasuki halaman. Aku terlonjak. Itu pasti mobil Ibu. 

Usai mencium pipi Ayah, aku bergegas menghambur ke luar rumah. 

Gerimis masih lincah menari-nari.

"Naiklah, Gordy," seseorang membukakan pintu mobil. Aku mengenali suaranya.

"Mana--- Ibu?" tanyaku terbata. Mataku mengedar pandang. Hanya ada dua orang di dalam mobil. Sopir dan perempuan yang mengaku sebagai sekretaris Ibu.

"Ibu Milenia masih di kantor," Sekretaris itu tersenyum. Ia beringsut dan memintaku agar segera duduk di sampingnya.

Perlahan mobil mulai melaju meninggalkan halaman. Aku melambaikan tangan ke arah Ayah yang berdiri di teras rumah melepas kepergianku. 

Sepanjang perjalanan perasaanku membuncah. Akhirnya, setelah bertahun berpisah kami akan bertemu lagi. Bagaimana rupa Ibu sekarang? Masih cantikkah ia? Oh, Ibu, aku sangat merindukanmu. Apakah dirimu juga merindukan aku? 

Beberapa saat pikiranku melayang membayangkan sosok Ibu. 

Dering ponsel milik perempuan di sampingku menghentikan lamunanku.

"Ya, Ibu Milenia? Gordy sudah bersama kami," sekretaris itu menyentuh pundakku. Mataku berbinar. "Baiklah. Kami akan membawa anak ini ke hotel sesuai perintah Anda."

Ke hotel? Mengapa Ibu tidak membawaku ke rumahnya? 

Aku menoleh. Menatap sekretaris di sebelahku.

"Kenapa kita mesti ke hotel?" tanyaku dengan dada bergemuruh.

"Ini perintah. Sepertinya Ibu Milenia tidak ingin suaminya mengetahui kalau ia pernah menikah dan mempunyai anak...Ups, maaf, aku harus mengatakan hal tidak menyenangkan ini."

Aku terdiam. Tiba-tiba saja rindu yang selama ini terpendam menguar. Menghapus rasa bahagia yang beberapa waktu lalu sempat kurasakan.

"Pak Sopir, turunkan saya di sini!" aku menyentuh pundak laki-laki yang duduk di belakang kemudi. Mobil perlahan menepi, lalu berhenti.

"Hei, Nak, apa yang kau lakukan?" sekretaris Ibu menatapku heran. Tangannya terulur berusaha mencegahku.

"Maafkan saya. Saya tidak berminat lagi bertemu dengan Bos Anda. Apalagi menculiknya..." ujarku sembari tersenyum. 

Aku turun dari mobil dengan langkah sigap.

Tiba-tiba saja aku teringat Ayah di rumah.

Kukira, aku harus segera menelponnya dan mengatakan ini, Dad, I proud of you....

***

Malang, 16 Februari 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun