Ini tahun ke delapan semenjak kepergian Ibu. Aku ingin membawa Ibu pulang, lalu mempertemukannya dengan Ayah. Kukira cukup sudah Ayah memendam perasaannya. Berkali aku memergoki Ayah duduk menyendiri di ruang baca. Menatap potret Ibu berlama-lama. Itulah yang mendorongku untuk segera melaksanakan niatku. Aku akan menculik Ibu untuk Ayah!
Aku bersyukur, Tante Rosi, Â teman lama Ibu berbaik hati memberiku nomor ponsel yang bisa dihubungi. Dari Tante Rosi pula aku tahu keberadaan Ibu dan bagaimana keadaannya.
Tanpa menunda-nunda, hari itu juga, sepulang sekolah aku menghubungi Ibu.
"Hallo...dengan siapa ini?" terdengar suara seorang perempuan. Aku nyaris terpekik karena girang.
"Ini Gordy! Gordy...Ibu..." suaraku bergetar menahan perasaan yang membuncah.
"Gor-dy? Siapa, ya?"
"Oh, maaf, ini bukan Ibu Milenia?"
"Bukan, ini sekretarisnya. Ada pesan?"
"Iya, tolong sambungkan dengan Ibu Milenia! Ini dari Gordy, anaknya!"
Pembicaraan terputus. Tapi tidak lama.
"Gordy? Ibu Milenia sedang sibuk. Beliau berjanji nanti sore akan menelponmu."Â