Lilik Fatimah Azzahra, No.04
Siapa sebenarnya yang telah berdusta? Rheinara ataukah Nugie? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam otakku. Menari-nari, saling tindih, silih berganti. Kebingungan dan kebekuan sempat menjerat beberapa saat bagai benang kusut tak terurai.
Masih tergiang di telingaku kata-kata Nugie mengenai Rheinara.
"Dia bukan Rhein yang kita kenal."
Jika yang dikatakannya itu benar, lalu siapa dia? Siapa wanita yang kini tengah tertidur lelap di dalam kamar apartemen itu? Mengapa pula Nugie begitu yakin kalau dia bukan Rheinara?
Otakku terasa kian buntu.
***
Penelusuran benang merah!
Yup, aku ingat itu. Aku harus memulai semuanya dari awal. Merunut kejadian satu persatu yang akhirnya membawaku pada titik temu.
Oke, Ran, kau harus segera mulai!
Kuawali dari sosok Nugie. Ia pria tampan sekaligus mapan. Usianya terpaut sedikit denganku. Ia pemilik perusahaan besar di bidang IT.
Tiga bulan yang lalu ia menerimaku sebagai karyawannya. Menempatkanku pada bagian tenaga pemasaran. Awalnya ruanganku berada di lantai dasar. Tapi sebulan yang lalu, Mr.J, manager perusahaan memintaku untuk pindah ruangan.
"Besok kau pindah ruangan, Ran. Ke lantai 5."
"Siap, Pak!"
"Ingat, lantai 5. Satu ruangan dengan Rhein."
"Rhein?" aku gelagapan.
"Ya, Rheinara. Kenapa? Kaget ya?" Mr.J Â tertawa.
Rheinara. Wanita muda, cantik, dan modis. Ia tinggal di apartemen yang letaknya dekat dengan kantor. Ternyata ia kekasih Nugie. Meja kerjanya bersebelahan dengan meja kerjaku.
"Kau tak usah sungkan padaku. Panggil saja namaku, Rheinara," ujarnya saat pertama kali kami bertemu. Ia tersenyum manis. Sejujurnya aku merasa sangat gembira. Sebagai laki-laki normal, bekerja sama dengan wanita secantik Rheinara, sungguh merupakan suatu berkah.
Nina. Cewek manis yang masih lajang. Meja kerjanya paling ujung. Ia sangat lincah dan bicaranya ceplas-ceplos. Usianya masih belia. Baru lulus kuliah D3. Ia sangat akrab dengan Rheinara.
***
Benang merah perlahan terurai!
Beberapa minggu terakhir aku melihat ada yang berubah. Rheinara tak lagi ceria. Ia sering menyendiri. Jarang bicara. Meski aku berusaha mengajaknya ngobrol, ia hanya menjawab sekata dua kata.
Ketika aku menawarinya secangkir white frappe, ia menggeleng. Ketika kuputarkan musik saksofon Kenny.G, matanya berkaca-kaca. Ada apa ini?
Aku yakin telah terjadi sesuatu padanya. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Nugie, kekasihnya?
"Na, apakah kau tahu sesuatu?" tanyaku hati-hati pada Nina.
"Yup, dia..., ah, bagaimana ya aku mengatakannya. Nugie-pergi mening...," Nina tak melanjutkan kalimatnya. Ia terkejut melihat Rheinara sudah berada di dekatnya dengan wajah memerah dan tangan mengayun siap menampar.
"Sabar, Rheinara! Ini salahku, aku yang memaksa Nina untuk bercerita tentang dirimu," aku berusaha menenangkan Rheinara. Untunglah dia mau mendengarkanku.
Tak perlu kujelaskan lagi bagaimana akhirnya Rheinara menjadi dekat denganku.
Duhai...
Kemana arah angin berhembus
Mengapa yang tersisa hanya kenangan
membelenggu, bisu
Menurut kabar tersiar Nugie menghilang bagai di telan bumi. Benarkah?
Aku tak berani menanyakan masalah ini kepada Rheinara. Aku tak ingin terlalu jauh ikut campur urusan pribadinya. Tapi bagaimana perasaanku saat memergoki dia sering menangis diam-diam? Ia terlihat begitu rapuh. Kerapuhan yang mengingatkan pada sosok ibuku yang telah tiada. Ibuku terlalu banyak mengeluarkan air mata karena kepergian ayah. Dan tangis ibu telah mengubur jasadnya sendiri.
Tidak. Aku tak ingin melihat kisah pilu itu terulang lagi. Aku tak suka melihat wanita menangis. Aku akan menghibur Rheinara sebisaku. Aku akan selalu menemaninya semampuku. Aku berharap bisa mengisi kekosongan hatinya. Meski aku tahu ruang hatinya hanya untuk satu nama. Nugie.
Â
 ***
Benang merah semakin terurai....
"Please, Na, katakan padaku di mana Nugie," aku memaksa Nina bicara.
"Untuk apa?" gadis itu menatapku curiga.
"Untuk sebuah kebaikan." Aku menghela napas panjang.
"Kebaikan siapa? Rhein, Nugie, atau...." Nina mencibir.
"Aku tidak perlu menjelaskan padamu, kau sudah tahu jawabannya," ujarku tenang.
"Mengapa kau rela melakukan semua ini, Ran?" kembali Nina menghujam tanya padaku.
"Karena aku tidak suka melihat wanita menangis."
"Bukan. Karena kau telah jatuh cinta pada Rhein!" suara Nina melengking. Mengagetkanku. Untuk beberapa saat aku terdiam. Mencerna perlahan kata-kata Nina barusan. Nina benar. Hatiku tak mampu berkelit lagi. Aku memang telah jatuh cinta pada Rheinara.
"Berjanjilah kau akan mengembalikan Rhein pada Nugie, Ran. Berjanjilah!" Suara Nina terdengar serak menahan tangis. Aku menatapnya heran.
"Kau kenapa, Na?"
"Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya minta padamu, jangan ganggu Rhein. Sebagai imbalan, akan kukatakan di mana Nugie sialan itu bersembunyi." Ia melanjutkan.
Tak ada pilihan lain bagiku kecuali mengangguk. Aku terpaksa melakukannya. Karena saat ini yang kubutuhkan adalah informasi tentang keberadaan Nugie.
Nina meraih secarik kertas. Mencorat-coretnya sebentar. Lalu menyodorkan kertas itu ke arahku.
"Itu alamat persembunyian Nugie. Semoga kau berhasil menemukannya dan bisa membawanya kembali ke hadapan Rhein." Nina berdiri. Sebelum ia pergi, aku menepuk pundaknya perlahan. Sebagai ungkapan terima kasih.
Â
***
Dan benang merah pun semakin jelas....
Tak terlalu sulit bagiku untuk menemukan tempat persembunyian Nugie. Ia sendiri yang menyambut kedatanganku. Sekilas ada yang berubah pada penampilannya. Nugie sekarang tampak lebih gemuk dari sebelumnya.Â
"Hai, Ran! Ternyata aku tidak bisa bersembunyi darimu, ya," ia tersenyum kecut.
"Kau tahu, aku memiliki bakat menjadi detektif," selorohku.
"Oke, kita bicara di dalam." Nugie mengajakku masuk ke dalam ruangan berukuran luas. Ruangan itu dipenuhi oleh perabot-perabot antik dan terkesan mahal.
"Bagaimana perkembangan di kantor?" ia bertanya seraya menghempaskan tubuh di atas sofa.
"Mr.J mengendalikan semuanya dengan baik," jawabku. Aku duduk tidak jauh darinya.
"Kita bicara topik lain. Bagaimana dengan Rhein?" ia sengaja menekankan suaranya. Aku membetulkan posisi dudukku.
"Ia membutuhkanmu, Gie. Sangat membutuhkanmu. Kau harus segera menemuinya," ujarku serius. Nugie tidak menyahut. Ia mengalihkan pandangan ke arah langit-langit rumah.
"Jangan jadi pria pengecut, Gie. Tak seharusnya kau meninggalkan Rheinara tanpa pesan. Ia sangat tergantung padamu. Ia teramat mencintaimu!" Aku mulai menyerangnya dengan kata-kata.
"Tahu apa kau tentang cinta, Ran?" Suaranya terdengar kosong.
"Aku memang tak tahu banyak tentang cinta. Tapi setidaknya aku pernah merasakannya. Ketika...," aku menghentikan kata-kataku.
"Ketika apa?" Nugie mengangkat kedua alisnya. Ia menggeser duduknya.
"Ketika aku mencium Rheinara...," ujarku jujur.
Plaaak!!! Sebuah tamparan keras mampir di rahangku. Terasa ngilu dan panas.
"Kau...berani menciumnya?" tubuh Nugie bergetar hebat. Kentara sekali ia berusaha menahan amarah yang bergejolak.
"Ya. Tepatnya kami, mm, berciuman..., di balkon apartemen kalian, di bawah temaram bulan mati." Aku tersenyum mengejek. Wajah Nugie memerah. Tangan kekarnya mengepal.
"Jika kau tetap berada di sini, maka jangan salahkan aku, Gie. Ia akan segera menjadi milikku!" Aku sengaja memancing kemarahannya. Dan berhasil. Nugie merangsek. Menubrukku. Tanpa ampun lagi ia meninjuku. Bertubi-tubi. Hingga aku jatuh tersungkur babak belur.
"Cukup, Gie! Ini sudah cukup membuktikan bahwa kau masih mencintai Rheinara...."
Aku berusaha bangkit dengan napas megap-megap.
Â
***
 Benang merah, klik!
Hah, akhirnya berhasil juga aku membawa Nugie ke hadapan Rheinara. Aku ingin melihat senyum Rheinara kembali. Meski nyatanya keadaan berbalik. Nugie malah jatuh pingsan dan aku harus segera mengamankannya.
Masih kuingat jelas kata-kata Nugie pada Nina ketika aku membawanya ke kantor melalui jalur rahasia.
"Jika memang dia Rhein, mengapa dia tak lagi mengenalimu, Na, dan percaya saja ketika kau kukenalkan sebagai adikku! Padahal kurang akrab bagaimana kita berempat sejak masih sekolah dulu?"
Kita berempat? Siapa yang dia maksud dengan kita berempat? Nugie, Nina, Rheinara, lalu satunya lagi? Jelas orang keempat itu bukan aku. Aku tidak pernah mengenal Nugie sebelum bekerja di perusahaan miliknya. Aku juga bukan teman sekolahnya.
Astaga! Aku ingat sekarang. Kenapa Nugie terlihat lebih gemuk dari sebelumnya? Kenapa hingga kini Nina belum juga menyerahkan kunci duplikat apartemen kepadaku?
Nina telah mempertemukan aku dengan orang lain yang mirip Nugie. Yang kubawa menemui Rheinara kemarin bukan Nugie. Dia orang lain yang sengaja mengaku sebagai Nugie. Dan Nina, ia bekerja sama dengan orang itu.
Aku segera menghubungi Rheinara. Ponselnya mati. Tidak aktif. Aku berlari menembus kabut. Kuterjang malam yang pekat. Semoga aku tidak terlambat. Aku harus menyelamatkan Rheinara. Ia dalam bahaya. Aku merasakan firasat buruk itu.
Dan dugaanku benar.
Pintu apartemen tidak terkunci.
"Rheinara! Rheinara!" aku memanggil-manggil namanya. Tak ada jawaban. Aku menuju kamar tidur utama. Kosong. Ada coretan menggunakan lipstik merah darah tertempel pada cermin: Kill....
Di atas meja rias tergeletak selembar foto dua bocah laki-laki kembar usia Balita sedang tertawa ceria. Di bawah foto itu tertulis nama : Nugha- Nugie.
Ada juga surat pengantar dokter tercecer atas nama Rheinara. Pada amplop  surat tertulis  Cedera Otak Traumatis.
Pikiranku tertuju kembali pada Rheinara. Apa yang telah terjadi padanya? Mungkinkah ia selamat?
Â
***
Malang, 16 November 2015
#Karya peserta sebelumnya:
Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman
Gabung Grup FB : Fiksiana Community
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H