"Aku memang tak tahu banyak tentang cinta. Tapi setidaknya aku pernah merasakannya. Ketika...," aku menghentikan kata-kataku.
"Ketika apa?" Nugie mengangkat kedua alisnya. Ia menggeser duduknya.
"Ketika aku mencium Rheinara...," ujarku jujur.
Plaaak!!! Sebuah tamparan keras mampir di rahangku. Terasa ngilu dan panas.
"Kau...berani menciumnya?" tubuh Nugie bergetar hebat. Kentara sekali ia berusaha menahan amarah yang bergejolak.
"Ya. Tepatnya kami, mm, berciuman..., di balkon apartemen kalian, di bawah temaram bulan mati." Aku tersenyum mengejek. Wajah Nugie memerah. Tangan kekarnya mengepal.
"Jika kau tetap berada di sini, maka jangan salahkan aku, Gie. Ia akan segera menjadi milikku!" Aku sengaja memancing kemarahannya. Dan berhasil. Nugie merangsek. Menubrukku. Tanpa ampun lagi ia meninjuku. Bertubi-tubi. Hingga aku jatuh tersungkur babak belur.
"Cukup, Gie! Ini sudah cukup membuktikan bahwa kau masih mencintai Rheinara...."
Aku berusaha bangkit dengan napas megap-megap.
Â
***