Benang merah, klik!
Hah, akhirnya berhasil juga aku membawa Nugie ke hadapan Rheinara. Aku ingin melihat senyum Rheinara kembali. Meski nyatanya keadaan berbalik. Nugie malah jatuh pingsan dan aku harus segera mengamankannya.
Masih kuingat jelas kata-kata Nugie pada Nina ketika aku membawanya ke kantor melalui jalur rahasia.
"Jika memang dia Rhein, mengapa dia tak lagi mengenalimu, Na, dan percaya saja ketika kau kukenalkan sebagai adikku! Padahal kurang akrab bagaimana kita berempat sejak masih sekolah dulu?"
Kita berempat? Siapa yang dia maksud dengan kita berempat? Nugie, Nina, Rheinara, lalu satunya lagi? Jelas orang keempat itu bukan aku. Aku tidak pernah mengenal Nugie sebelum bekerja di perusahaan miliknya. Aku juga bukan teman sekolahnya.
Astaga! Aku ingat sekarang. Kenapa Nugie terlihat lebih gemuk dari sebelumnya? Kenapa hingga kini Nina belum juga menyerahkan kunci duplikat apartemen kepadaku?
Nina telah mempertemukan aku dengan orang lain yang mirip Nugie. Yang kubawa menemui Rheinara kemarin bukan Nugie. Dia orang lain yang sengaja mengaku sebagai Nugie. Dan Nina, ia bekerja sama dengan orang itu.
Aku segera menghubungi Rheinara. Ponselnya mati. Tidak aktif. Aku berlari menembus kabut. Kuterjang malam yang pekat. Semoga aku tidak terlambat. Aku harus menyelamatkan Rheinara. Ia dalam bahaya. Aku merasakan firasat buruk itu.
Dan dugaanku benar.
Pintu apartemen tidak terkunci.
"Rheinara! Rheinara!" aku memanggil-manggil namanya. Tak ada jawaban. Aku menuju kamar tidur utama. Kosong. Ada coretan menggunakan lipstik merah darah tertempel pada cermin: Kill....