Hujan masih mengguyur deras sore ini, dan Sisil hanya bisa berdiri diam  seribu bahasa dihalte tempat dirinya menunggu angkutan kota yang akan  mengantarnya pulang dari sekolah. Sekian lama menunggu, setiap angkutan  selalu saja penuh, bahkan tak jarang masih saja ada yang berdiri  dipintu, sementara haltenya semakin banyak orang yang berdatangan  melindungi diri dari terpaan hujan.Â
Sisil menatap sinis pada beberapa  orang yang berlarian dari sepeda motor kehaltenya. Kenapasih mampu beli  motor tapi tak mampu beli jas hujan? Bikin halte makin penuh saja.  Rutuknya dalam hati.
      "Hai..!" sapa seseorang disampingnya yang juga berbasah kuyup.
      Sisil menoleh kearah suara tersebut. Sesosok cowok tinggi semampai sudah ada disisinya.
      "Mungkin hujan masih lama ya akan berhenti?" kata cowok disampingnya  sambil menatap hujan. Sisil mulai berpikir, dari pada diam seperti  patung, kayaknya enak juga bila ada teman yang bisa diajak ngobrol  sambil menunggu hujan reda.
      "Iya nih... dasarnya juga musim hujan" katanya menyambung arah pembicaraan lelaki disampingnya
      "Oya... nama saya Kevin" kata cowok itu menjulurkan tangannya dari dekapannya diantara jaket yang menyelimuti tubuhnya
      "Sisil" jawab Sisil menyambut tangan Kevin
      "Nunggu angkutan?" tanya Kevin membuka percakapan.
      "Iya nih... angkutannya penuh terus"
      Kevin... hem, ternyata ada makhluk kiut yang menemaninya diantara dera  hujan yang mengguyur kotanya, rambutnya yang lurus serta menutupi  telinganya yang basah acak-acakan semakin menambah ketampanannya, tulang  rahangnya yang menonjol memperlihatkan kegagahan.
      "Kamu kedinginan ya?" seakan tahu perasaan Sisil yang mendekap tasnya  erat sambil menggigil. Dan Sisil hanya tersenyum.
      Cowok itu melepaskan jaketnya dan katanya:
      "Pakai nih! Biar nggak terlalu dingin" Sisil menatap lekat kematanya, ada keraguan menyelimuti hatinya.
      "Pakai saja, ndak papa. Kamu keliatan kedinginan dengan hanya memakai  seragam Osis itu." Sekali lagi Sisil masih ragu untuk menerimanya.  Kenapa dia begitu akrab? Padahal baru saja mengenal dirinya. Dan Sisil  masih saja enggan menerimanya. Hingga cowok itu memakaikannya dipunggung  Sisil. Sisil tersenyum dengan tingkah cowok disampingnya.
      Hari semakin sore, hujan sudah mulai reda hanya tinggal gerimis dan  halte sudah mulai kosong. Sebuah angkutan distopnya.
      Sisil berusaha melepas jaketnya, tapi Kevin memegangi jaketnya.
      "Pakai saja, Hujan masih turun!"
      Sisil menatap sinar ketulusan dimata cowok itu. Dan cowok itu mengangguk tersenyum menjawab keraguan hati Sisil.
      "Makasih ya Vin. Besok aku kembalikan, kamu tunggu di halte" kata Sisil  memasuki angkutan dan Kevin mengiringinya dengan senyuman. Hatinya  berbunga. Ternyata masih ada orang baik didunia ini, atau wajahku memang  tidak menyiratkan jahat hingga orang itu percaya begitu saja memberikan  jaketnya. Sisil tersenyum sendirian dalam angkutan yang berjalan  menerobos hujan tak mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Hari ini  ia merasa indah, ternyata hujan juga membawa berkah.
      Jam pelajaran selesai. Sisil bergegas menuju halte, tidak untuk  mengejar angkutan dan takut hujan keburu turun, tapi hatinya berharap ia  menemui Kevin. Jaketnya sudah kering, dan terlipat rajin. Halte masih  sepi. Sisil duduk menunggu Kevin. Beberapa orang datang lalu kemudian  pergi lagi menaiki angkutan yang menjemputnya. Sisil masih diam  menunggunya. Angannya melayang-layang dan hatinya berdegup lebih  kencang. Sudah satu jam Sisil menunggu Kevin, langit sudah mulai gelap,  berarak-arak mendung memayungi kotanya. Sisil menatap cemas kearah  langit yang gelap. Dan setetes demi setetes air mulai turun hingga  akhirnya membentuk hujan. Sisil berdiri menatap tak percaya hingga suara  seseorang mengagetkan lamunannya.
      "Hai Sil.. nunggu aku ya?" tanyanya dengan senyum mengembang.
      "Ih... Geer" jawabnya singkat sambil menoleh kearah Kevin dan ia bengong menatap Kevin yang berselimutkan jaket.
      "Kamu sudah pakai jaket? I... ini jaket kamu" kata sisil sambil mengeluarkan jaket dari tasnya. Kevin tersenyum.
      "Buat kamu saja."
      "Tapi kita kan baru kemarin bertemu dan berkenalan?"
      "Memang ndak boleh?"
      "Ya... bukan begitu, tapi kamu kok cepat percaya sama aku?"
      "Karena aku tahu, kamu nggak akan menggadaikan jaket itu"
      "Siapa bilang? Aku akan jual ke pasar loak kalau udah nggak kepakai"
      "Terserah kamu, jaket itu sudah menjadi milikmu" Kevin menjawab enteng
      "Memang kamu punya jaket berapa?"
      "Aku punya pabriknya"
      "Hemm mbel.." lalu mereka tertawa. Ada kehangatan diantara hujan yang  mengguyur, ada keriangan hinggap dihati, dan ada sesuatu yang mulai  mekar dijiwa. Hingga sebuah Honda Civic metalik berhenti dihadapan  mereka. Keduanya diam dan menatap sedan yang kacanya perlahan mulai  terbuka, sesosok bapak tua mengintip dan..
      "Den... !" lelaki itu memanggil Kevin
      "Ayo aku antar kamu pulang" kata Kevin menatap Sisil.
      "Tapi..." Sisil mnjawab bingung.
      "Ayolah..." kata Kevin menggandeng Sisil, menerobos hujan lalu membuka  pintu sedan itu. Sementara Sisil seperti terhipnotis, ia hanya  menurutinya dan tidak punya kemampuan untuk menolak. Kevin menutup  pintunya memandang beberapa orang dihalte yang masih menatapnya.
      "Pak Jono, nganter Sisil pulang dulu ya?"
      "Iya den" jawab Pak Jono singkat lalu sedan perlahan mulai merangkak  pelan kemudian berlari menerobos hujan yang mengguyur. Sisil masih diam  terpaku disamping Kevin.
      "Hei... jangan ngalamun" kata Kevin mengagetkan Sisil.
      "Kamu takut ya, kalau-kalau aku penjahat yang mau nyulik kamu?" Kevin  membuka percakapan. Dan Sisil mencubit pinggang Kevin hingga menyeringai  kesakitan.
      Sejak saat itu, hari-hari Sisil serasa indah. Ada Kevin yang mengisi  hari-harinya. Cowok ramah dan baik hati, kata-katanya selalu membuat  Sisil tersenyum, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang misterius.  Malam minggunya nggak lagi sepi, Kevin selalu hadir dengan seuntai bunga  yang selalu disembunyikan dibalik punggungnya. Hari-harinya dilalui  dengan keindahan. Kadang Kevin mengajaknya jalan ketika hari minggu  datang untuk sekedar shoping. Dan Kevin selalu saja menjadi sosok  makhluk yang baik. Adik-adik Sisil dan orang tuanya tak pernah terlupa  untuk sekedar dibelikan bingkisan ketika setelah seharian mereka  berkeliling dengan sedan yang selalu setia menamaninya. Sisil tak pernah  menyalahkan siapa-siapa jika ia menjalin cinta dengan Kevin, cowok  tampan dan kaya. Ketika ia merasakan getar dihatinya pada pertemuan  pertama di halte ia tak pernah menduga kalau Kevin adalah seorang anak  orang kaya. Dan karena itu Sisil mencintainya bukan karena ia kaya.  Seandainya Kevin hanya seperti dirinya yang hidup sederhana, ia tetap  akan mencintainya setulus dan sesuci cintanya. Meski Kevin selalu  mengalihkan pembicaraan ketika Sisil bertanya soal sekolahnya, itu tak  membuatnya berkurang untuk menyayanginya. Hingga akhirnya prahara itu  datang.
      Sore hari di akhir pekan diawal liburan semester yang sejuk. Seharian  hujan tak mengguyur kotanya. Matahari  mulai tenggelam dan menyiratkan  cahaya jingga dibalik pegunungan yang mengelilingi kampungnya. Angin  sejuk berhembus membelai rambut Sisil yang duduk diberanda dan asyik  membaca Conan. Sedan Kevin datang dan memarkir mobilnya dibawah pohon  mangga. Sisil berdiri menyambutnya, namun ketika Kevin membuka pintu dan  keluar, Sisil menemukan raut wajah Kevin yang berselimut mendung,  dipunggungnya tak tersembunyi suntai bunga seperti biasanya.
      "Hai Sil.." Kevin tersenyum menanggapi Sisil yang menyambutnya ramah.  Namun keramahan Kevin yang tetap berusaha semanis biasanya tetap tak  mampu menyembunyikan masalah yang hinggap dihatinya.Â
      "Ada apa Vin...?"
      "Nggak papa... hanya kangen, kenapa?" jawab Kevin senyum
      "Tapi kamu kok seperti sedang membawa beban berat dipundakmu?"
      "Ah... masa... ndak ada apa-apa tuh" jawab Kevin memperlihatkan pundaknya.  Sisil tersenyum, ia tahu Kevin menyembunyikan sesuatu.
      "Vin.. kamu itu nggak bisa pura-pura.... Kalau ada masalah kamu tuh keliatan banget"
      "Nggak... nggak ada apa-apa kok, masalahnya Cuma kangen saja"
      "Ayolah Vin... cerita, kamu pasti punya masalah..."
      "Benar... ndak ada apa-apa... suueer dech" kevin mengangkat dua jari-jarinya. Sisil tersenyum,Â
      "Aku tahu kamu punya masalah Kevin sayang, dan kamu bisa cerita padaku,  tapi well... kalau kamu nggak mau cerita ya ndak papa, aku sholat Maghrib  dulu ya, kamu sholat yuk!"
      "Aku nunggu disini saja Sil" Sisil tertegun mendapat jawaban Kevin,  lalu ia meninggalkan Kevin dan mengambil air wudhu.
      Ketika Sisil keluar sehabis sholat, ia mendapati Kevin yang duduk lesu dengan kepala tertunduk.
      "Vin..." suara lirih Sisil namun cukup mengagetkan Kevin.
      "Oh... hai Sil, dah selesai ya?' tanya kevin gugup
      "Vin, kamu punya masalah, kamu nggak bisa menyembunyikan masalahmu itu.  Dan masalahmu itu terlalu berat untuk kau tanggung sendiri." Kevin  masih diam menunduk, ada sesuatu yang mencabik-cabik hatinya.
      "Vin..." Sisil memajukan kursinya kedepan Kevin, diangkatnya dagu Kevin  dan ditatapnya wajah Kevin yang berselimut mendung tebal.
      "Vin... kalau kamu punya masalah, cerita Vin... aku selalu ada untuk kamu"Â
      Setetes air keluar dari mata Kevin yang sembab dan mulai membentuk anak sungai.
      "Sil..." Suara Kevin keluar terbata.
      "Ada apa Kevin sayang, aku disini"
      "Sil... sejak kita bertemu, sebenarnya hatiku mulai tenang, ada keceriaan  dihidupku, aku merasa hidupku penuh arti. Aku merasa punya tujuan dalam  hidup ini... ketika aku bersamamu dihalte hingga berjam-jam... sebenarnya  hatiku merasa sangat damai... merasa bahagia..."Â
      "Lalu apa yang membuat kamu sedih?'
      "Mamaku..."
      "Mamamu kenapa?"
      "Sejak aku mulai bolos dari Primagama, mama mulai curiga, dan setelah  dia mencerca Pak Jono dengan pertanyaan-pertanyaaan seputarku akhirnya  mama tahu kalau aku menjalin hubungan denganmu Sil..."
      "Apa mamamu nggak mau kita pacaran?"
      "Mama bukannya nggak merestui kita Sil... dulu mama nggak pernah  melarangku berpacaran, bahkan mama selalu tersenyum ketika pacarku  menelpon kerumah. tapi dengan kamu Sil...." Kevin menghentikan  kata-katanya, air matanya tak tahan lagi untuk dibendung. Laki-laki yang  ia kenal perkasa itu kini duduk dihadapannya dengan air mata yang  berurai. Sisil meraih Kevin dan memeluknya. Air mata yang terus mengalir  dipipi Kevin membasahi jilbab dan dadanya.Â
      "Kenapa Vin?... Kenapa mamamu menentang hubungan kita Vin? Padahal mamamu  sebelumnya tak pernah menentang hubunganmu dengan gadis lain. Kenapa  Vin?" Mata sisil yang tak kuasa menahan air matanya.
      "Denganmu Sil... mama melarangku untuk menemuimu, mama mengancamku untuk  mengirimku keluar negeri jika terus berhubungan denganmu, bahkan mama  sudah mulai berani menamparku ketika aku membelamu"
      "Kenapa Vin? Kenapa mamamu melarang? Apakah aku hanya orang yang tak punya?"
      "Bukan Sil... bukan karena itu. Tapi sejak aku menjalin cinta denganmu  aku mulai tak aktif di gereja" bagaikan petir yang menyambar telinga,  Sisil terhentak dan melemparkan pelukannya mendengar jawaban yang  mengagetkan itu. Sisil mengatupkan kedua telapak tangan dibibirnya  menahan isak yang hampir meledak. Air matanya mengalir deras diiringi  gelegar petir yang menyambar dan membawa derasnya hujan.Â
      "Maafkan aku Sil..." Kevin berusaha merajuk
      "Maafkan aku yang tak pernah berterus terang padamu Sil..." Sisil  berusaha menghindar dan menjauh lalu berlari masuk kekamarnya, tak  dihiraukan Kevin yang memanggil-manggil:
      "Sil.... Sil.... Maafkan aku Sil... tapi aku mencintaimu..." dan akhirnya suara  itu lenyap seiring pintu kamar yang ditutup keras. Sisil menjatuhkan  tubuhnya diatas ranjangnya, air matanya tumpah ruah diatas bantal yang  dipeluknya. Hujan yang mengguyur deras menambah pilu luka hatinya.  Sementara Kevin suaranya makin mereda lalu dilangkahkan kakinya perlahan  dibawah hujan menuju mobilnya. Hatinya hancur... pelan ia membuka pintu  Honda Civicnya dan sebelum ia masuk kedalam mobilnya:
      "Siiiilll.... Bagaimanapun yang terjadi aku akan tetap mencintaimu...."  Teriaknya keras menembus derasnya hujan dan gelapnya malam.Â
      Haripun berlalu, Sisil sudah mulai bisa menenangkan hatinya meski  kepedihannya masih terasa, adik-adiknya yang selalu menanyakan Kevin tak  pernah ditanggapinya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan organisasi  didesanya. Ayahnya yang mengajar baca Al-Qur'an didesanya sangat  bijaksana menanggapi polemik yang dihadapi anak gadisnya. Dan Kevin juga  lebih sering berdiam diri dikamarnya. Sikapnya berubah, tak pernah  ditanggapinya teguran dan panggilan mamanya dari luar. Sikapnya acuh tak  acuh. Bahkan ia tetap cuek ketika Erika, cintanya yang dulu mencoba  kembali hadir dirumahnya. Erika, gadis adik kelasnya di Kanisius yang  menjadi ketua OSIS di sekolahnya, cintanya dulu harus kandas ketika  Erika terlalu disibukkan dengan kegiatan sekolah dan kegiatan gereja  hingga tak mempunyai sisa waktu untuk Kevin, diakhir pekanpun ia selalu  sibuk dengan kebaktian digerejanya.
      Pagi hari, Kevin bangkit dari ranjangnya untuk mengambil sarapan. Papa  mamanya sedang menikmati sarapan diruang tengah, ada Erika disana. Kevin  tak menggubrisnya, ia menuju lemari es dan mengambil spagheti.
      "Vin..." mamanya memanggil, Kevin tak menyahut
      "Ini ada Erika, ayo makan sini sama-sama" Kevin tetap saja tak menoleh
      "Vin!!!" mamanya membentak keras
      "Kamu punya telinga nggak sih? Apa sih istimewanya gadis desa itu?"Â
      Kevin terhentak menoleh kemamanya dengan tatapan tajam
      "Apa sih yang gadis itu lakukan hingga membuatmu kacau begitu?" pertanyaan mamanya menusuk jantung.
      "Mama dengar ya.." kevin menjawab tak kalah ketus
      "Gadis desa itu yang membuat Kevin merasa hidup, gadis desa itu yang membuat Kevin merasa bahagia..."
      "Apasih kurangnya Erika? Ia pandai, kaya, seagama?"
      Kevin tak menjawabnya dan berlalu menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamar, selera makannya mendadak hilang.
      "Vin..." suara Erika memanggil dari balik pintu
      "Pergi kau..."
      "Vin... izinkan aku masuk, aku nggak bermaksud apa-apa, aku nggak ingin  mengusik hatimu..." Erika perlahan membuka pintu kamar dan duduk disamping  Kevin.
      "Vin... kalau pintu hatimu memang sudah tertutup untukku, aku ndak papa.  Tapi paling tidak, izinkan aku untuk sekedar menjadi sahabatmu."
      "Kamu nggak akan pernah bisa mengerti aku, Ka" Suara Kevin melunak
      "Memang Vin, aku nggak akan pernah bisa mengerti hatimu. Tapi perasaan Sisil aku bisa mengerti..."
      "Tahu apa kamu tentang Sisil?" Suara Kevin kembali keras memutus perkataan Erika.
      "Aku tahu perasaan Sisil karena aku dan dia sama-sama wanita Vin... Aku  tahu bagaimana seandainya aku berdiri dipihak Sisil, aku tahu perasaan  hatinya yang harus terbentur pada dinding yang tak tertembus, kalau kamu  memang mencintinya, kamu harus punya keyakinan bahwa Cinta mempunyai  kekuatan yang mampu menembus apapaun meski terhalang tembok China,  karena cinta mampu meruntuhkan tembok Berlin. Pergilah Vin temui  cintamu. Bila cinta memanggilmu, temuilah ia walau tajam pisau  menghadangmu"
      "Pergilah Ka... biarkan aku sendirian"
      Akhirnya Erika meninggalkan Kevin yang duduk menatap hampa.
      Malam menjelang larut, Sisil baru saja menutup Al-Qur'an yang  dibacanya. Sebuah sedan Kevin berhenti didepan rumahnya. Sisil yang  melihat dari jendela, hatinya bergetar. Tapi keterkejutannya berlanjut,  ketika yang keluar dari mobil itu bukan Kevin tapi wanita separuh baya.  Mamanya Kevin batinnya. Ayah dan ibunya masih di Masjid, keduanya biasa  tak pulang sehabis Maghrib hingga Isya. Sisil membukakan pintu ketika  mamanya Kevin mengetuk.Â
      "Silahkan duduk tante!" Sisil mencoba beramah tamah
      Wanita itu duduk, lalu katanya
      "Kamu Sisil kan? Saya mamanya Kevin" Sisil masih diam, wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
      "Ini ada uang lima juta. Tolong kamu terima dan lupakan Kevin"
      Sisil terperanjat
      "Tante!.." suara Sisil keras
      "Keluargaku memang miskin, tapi kami masih mempunyai harga diri. Tante  pikir cinta bisa dibeli? Silahkan bawa kembali uang tante dan keluar  dari sini!" Suara Sisil keras mengejutkan, meski hatinya pedih  tersayat-sayat
      "Kalau kamu kurang, ini aku tambahi..." wanita itu kembali mengeluarkan  segepok uang. Diambilnya uang itu oleh Sisil lalu dihamburkannya didepan  wanita itu.Â
      "Aku bukan pelacur.. aku nggak butuh uangmu... pergi kau... pergi..." suara  lantang Sisil dengan air mata yang mengalir. Dan wanita itu pergi  meninggalkan Sisil dengan uangnya yang berhamburan.
      "Dasar. Perempuan nggak mau diuntung..."
      "Pergi....." belum selesai wanita itu berkata, Sisil sudah kembali teriak
      Akhirnya wanita itu pergi meninggalkan Sisil yang menelungkupkan  dahinya diatas meja yang berurai air mata. Ia hampir saja bisa melupakan  Kevin setelah sekian hari dirumahnya. Tak disangka wanita itu kembali  menorehkan luka dan menaburkan garam  diatas lukanya yang dulu.
      Ketika ayah ibunya pulang, ia terkejut mendapati anaknya yang menangis  sesenggukan dengan uang-uang yang berhamburan disekelilingnya.
      "Ada apa to nduk?" tanya ibunya penuh kasih sambil memeluknya
      "Uang siapa ini Sil?" ayahnya juga tak kalah kagetnya. Dan sambil  sesenggukan didada ibunya, Sisil menceritakan kejadian yang baru  dialaminya. Hingga kedua adiknya muncul dipintu.
      "Asalamu'alaikum"
      "Wa'alaikum salam' jawab kedua orang tuanya.
      "Kok banyak duit pak. Minta ya pak" kata Zaki adiknya yang besar.
      "Hush... itu bukan duit bapak. Ayo kumpulkan dan kita kembalikan besok..
      "Udahlah Sil, ayo ibu antar kekamar" ibunya merangkul anak gadisnya  yang sesenggukan. Sementara itu ayah dan kedua adiknya mengumpulkan uang  yang berhamburan dilantai rumahnya.
      Hari mulai sore, langit tampak cerah. Sisil keluar dari angkutan dan  menuju sebuah rumah yang lumayan besar dan mewah, Hari ini Sisil mencoba  menguatkan hatinya, perlahan ia memencet bel dan seorang yang menjadi  pelayan dirumah itu membukakan pintunya lalu bertanya
      "Maaf. Anda mau bertemu siapa?"
      "Saya mau bertemu Kevin" jawabnya singkat
      "Tapi den Kevin bilang dia nggak mau diganggu siapapun"
      "Katakan padanya Sisil ada dibawah!"
      "Baik akan saya coba" kata perempuan itu lalu menuju kamar Kevin.
      Kevin yang diberitahu pembantunya berlari keluar dan turun menemui Sisil.
      "Sisil??" tanyanya penuh rasa keterkejutan.
      "Aku hanya mau mengembalikan uang ini." Sisil mengeluarkan bungkusan uang dari tasnya.
      "Uang? Uang apa?" tanya Kevin yang menerimanya tapi tidak mengerti.
      "Semalam mamamu kerumahku dan membawa uang ini agar aku melupakanmu.  Kamu tahu? Aku sudah melupakanmu Vin. Tapi aku nggak pernah tahu apa  yang kau lakukan dirumah ini, hingga mamamu kerumahku dengan uang ini"  panjang lebar Sisil menerangkan sementara Kevin hanya diam tak mengerti  ucapannya.
      "Mama..." ucapannya geram
      "Aku pulang Vin" Sisil membalikkan badan dan melangkah pulang
      "Tunggu dulu Sil!" Kevin memegangi pudak Sisil
      "Biarkan dia pulang" kata seorang wanita dari balik pintu ruang tengah.
      "Mama... apa yang mama lakukan terhadap Sisil?"
      "Mama nggak melakukan apa-apa"
      "Lalu ini uang apa?"
      "Oh itu... itu cuma agar dia melupakanmu dengan kekayaan ini"
      Sisil menoleh dan menatap tajam kearah mamanya Kevin
      "Apa tante bilang?.. tante kira aku menginginkan kekayaan ini?"
      "Benarkan? Kamu mencintai Kevin karena dia anak tunggal dan pewaris kekayaan ini?"
      "Aku memang orang miskin tante... tapi aku masih punya harga diri, dan  tak butuh kekayaan ini" air mata Sisil tak terbendung lagi.
      "Mama sudah keterlaluan dengan Sisil! Kenapa mama begitu tega terhadapnya"
      "Itu demi kebaikanmu Vin, dia tidak seagama dengan kita, kenapa kau  membelanya? Kenapa kau harus memilih orang diluar agama kita? Kenapa kau  tidak memilih Erika yang mencintaimu?"
      "Aku tidak mencintai Kevin tante" Erika muncul dibalik pintu mengejutkan semua orang
      "Erika..." mamanya tak kuasa untuk meneruskan perkataanya.
      "Maaf tante, aku tidak mencintai Kevin, dan Kevin tidak mencintaiku, ia  mencintai Sisil. Biarkan mereka saling mencintai tante. Cinta tidak  pernah memandang agama. Mungkin agama mereka berbeda, tapi biarkan cinta  menyatukan cinta mereka"
      "Kamu rupanya sudah terkena dukun perempuan itu..."
      "Mama !!!" Kevin membentak keras mamanya, dan Sisil berlari keluar dari rumah itu.
      "Sil... tunggu Sil..." Kevin berlari mengejarnya
      "Maaf tante... kenapa tante harus menghalangi cinta mereka?" Erika mencoba melunakkan hati mamanya Kevin
      "Ah... cinta.. cinta... apanya yang cinta" jawabnya sambil pergi meninggalkan Erika yang masih memandanginya
      "Sil tunggu aku sil.." Kevin menghentikan langkah Sisil sambil  terengah-engah. Ketika Sisil hendak masuk angkutan kota yang distopnya.  Sisil menoleh kearah Kevin.
      "Vin... aku memang mencintaimu... dan aku tahu kamu juga mencintaiku, tapi  tidakkah kau bisa mengerti? Kita dilahirkan dalam keadaan beda, semuanya  berbeda, setatus sosial kita, keluarga kita, kehidupan kita dan yang  paling penting akidah kita juga berbeda, dan yang perlu kamu ketahui  Vin... dengan nilai apapun, atau ancaman apapun aku nggak akan pernah  melepaskan keyakinanku terhadap Tuhanku."
      "Tapi apakah perpisahan adalah jalan satu-satunya?"
      "Vin... kenapa kamu juga belum bisa mengerti. Kamu nggak mau kan  melepaskan agamamu demi aku? Dan aku juga nggak akan pernah mau  melepaskan agamaku demi kamu Vin. tapi kita nggak mungkin bersatu..."Â
      "Mungkin saja" kata Erika yang tiba-tiba sudah ada dibelakang keduanya.
      "Tidak ada yang tak mungkin dalam Cinta,Cinta mempunyai kekuatan yang  mampu menghilangkan semua bentuk kemustahiln. Kalau kalian saling  mencintai, jalani saja apa yang mesti kalian jalani, anggap semua yang  terjadi adalah ujian untuk membuat cinta kalian semakin kuat. Biarkan  kerikil yang menghalangi cinta kalian sebagai kerikil yang mengasah emas  demi membuatnya semakin berkilauan. Jangan pernah risaukan agama kalian  yang berbeda, biarkan waktu yang akan menjawabnya. Masa depan masih  panjang, perjalanan masih jauh, kenapa kalian harus memikirkan sesuatu  yang seharusnya tidak kalian pikirkan. Pikirkan saja perjalanan kalian  yang panjang dan siapkan diri kalian untuk menempuh semua bentuk  riantangan yang akan kalian hadapi. Pergilah kalian. Temui kebahagiaan  dan kedamaian jangan biarkan Iblis mencerai beraikan kalian dengan  menggunakan kedok keagamaan. Pergilah kalian, jika memang cinta kalian  ditakdirkan bersama, maka kalian akan menemukan jalan keluar yang  terbaik bagi kalian berdua"
      Kevin terhenyak mendengar perkataan Erika yang panjang lebar. Tak  pernah disangkanya Erika begitu bijaksana menanggapi masalah cinta.  Kevin mendekatinya kemudian mengecup kening Erika:
      "Terima kasih Ka... sungguh kamu adalah sahabat yang paling bisa mengerti  aku"  Kevin memeluk Erika, tapi Erika segera melepaskannya
      "Sudahlah kalian pergi saja, jika Sisil tak mungkin hadir dirumah ini,  maka kamu Vin yang harus meninggalkan rumah ini."
      Kevin menatap ragu akan rumah yang besar didepannya.
      "Kalau kamu masih ragu Vin. Jangan pernah harapkan cinta Sisil" Erika  seakan tahu masalah yang dikandung dalam pikiran Kevin, lalu ia kembali  meneruskan:
      "Dan kalau kamu terlalu lama untuk berpikir, maka kau hanya akan  mendapatkan kebimbangan yang semakin lama semakin besar, Pergilah kalian  cepat! Sebelum hujan mengguyur kalian."
      "Sebentar Sil" Kevin melepaskan tangan Sisil yang digandengnya lalu  berlari kedalam rumah, diambilnya beberapa potong pakaian dalam lemari  dan dimasukkannya kedalam tas. Sementara Erika yang diluar mendekati  Sisil
      "Sil... aku tahu kamu begitu mencintai Kevin, seperti halnya aku  mencintainya, tapi aku sangat sadar sesadar-sadarnya bahwa cinta yang  sesungguhnya adalah berani mengorbankan hati dan cintanya demi melihat  sang kekasih bahagia meski tidak bersamanya. Aku lebih bahagia melihat  orang yang kucinta bahagia bersama orang lain daripada harus bersamaku  namun hatinya terluka dan tak bahagia"
      Sisil menatap tak percaya apa yang dikatakan Erika, lalu ia mendekatinya dan berusaha memeluk Erika.
      "Terima kasih Erika, meski aku belum mengenalmu, tapi hatimu bagai mutiara"
      "Jaga dia Sil demi aku, demi kamu dan demi kalian berdua"
      Sisil mengangguk pelan, hingga Kevin datang dengan mobil sedan dan beberapa tas dikursi belakangnya.
      "Ayo Sil kita pergi menuju tempat yang penuh cinta, kedamaian dan  kebahagiaan"  Sisil menatap Erika penuh keraguan, dan Erika mengangguk  membalas keraguan hati Sisil. Kemudian Sisil masuk kedalam mobil Kevin.
      "Terima kasih Ka, atas segalanya" teriak Kevin dari balik jendela. Dan  Erika hanya menjawab dengan senyuman hingga mobil sedan yang membawa  keduanya lenyap dibalik tikungan. Sesaat setelah Kevin dan Sisil  meninggalkan dirinya, Erika tak kuat lagi menahan air mata yang  dibendungnya, ia terisak sendirian disamping gerbang rumah Kevin. Ada  luka dihatinya, namun jiwanya merasa merdeka dan bahagia.
The End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H