ada bocah meluruskan kaki di tengah malam menjelang sahur
kakinya nampak dingin dan kaku
senyumnya pucat
dan wajahnya pasi
bibirnya bergemeretuk habis ditampar udara malam dan angin dingin
ibunya diseberang jalan
didekat lampu merah gedung tua
namanya bitumi
rambutnya beruban dicepol seadanya
berdiri merapat pada mobil mobil yang sengaja berhenti
karna lampu merah dekat gedung tua itu menyala
dia mengemis...
tangan tuanya saling ditumpang dengan wajah yang dibuat memelas
agar 60 detik kemudian ada selembar uang atau sekeping receh bisa tersembul dari balik kaca mobil mewah
begitu berulang sampai dirasa cukup
atau mungkin sampai mobilnya habis
kapan ? ? entah...
bitumi menyeberang
menemui anaknya yang membeku
"ini nasi wartegnya nak, sahur sana..."
si anak membuka bungkusan, bibirnya membiru
sungguh sebenaranya dia ingin dipeluk
tapi bitumi kembali menyeberang
giat mengemis demi menu warteg yang berbeda saat berbuka esok
atau demi tiga lembar baju baru sisa eksport yang bisa ditukar dengan uang sepuluh ribu rupiah di pasar senen
si anak makan lahap
bibir birunya sedikit memerah
lalu teriak "ibu..ibu.. mana minumnya, aku haus sebentar lagi imsak"
bitumi tak dengar
dirinya sibuk merapatkan diri pada mobil mobil yang tertahan lampu merah
bocah itupun berlari menembus malam menuju sebrang
ada empat jalan arah bulak balik yang harus dilewatinya demi menemui sang ibu
pada jalan yang ke dua
mobil melaju kencang dan lampu merah di dekat gedung tua itu masih tiga puluh enam detik lagi menyala
bocah itu bersimbah darah
bibirnya kembali biru
dan tangannya membeku
kali ini untuk selamanya
lebaran esok berganti pedih
padahal ini sudah hari ke dua puluh enam
bitumi yang giat mengemis itu harus pasrah anak semata wayangnya dilindas kejam
tangis memuncah
mengerang kencang membelah subuh
imsak tak lagi minum
hanya airmata tertelan paksa
mampukah kita melawan nasib
demi menu warteg yang berbeda di esok harinya
demi baju lebaran berwarna hijau nan cerah
bukankah harusnya bitumi sedang tidur lelap bersama sang anak sekarang
nyatanya malah mengemis karna tak ada santunan sedikitpun
tak ada yang peduli secuilpun
bahkan tak ada penerimaan sedikitpun
langit biru adalah atap rumah bitumi
dan gorong gorong adalah penggantinya dikala hujan pecah mengaduk langit
Idul fitri harusnya mampu menjadi kemenangan dan bukan kemeriahan
harusnya juga mampu milik bitumi dan anaknya
ataukah saat ini hanya mampu menjadi milik orang orang di dalam kaca mobil mewah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H