Mohon tunggu...
Elaine Telehala
Elaine Telehala Mohon Tunggu... karyawan swasta -

bekerja sebagai captain banquet membuat saya bertemu banyak orang untuk belajar bagaimana mengulas senyum di bibir mereka karna puas pada konsep yang saya ciptakan. menyenangkan sekaligus menegangkan kadang membuat saya lupa kalau seharusnya juga harus ada senyuman terulas di wajah saya. mungkin karna terlalu sibuk dan tidak ada waktu luang. hobi saya untuk menulispun kurang terasah karna kepadatan pekerjaan saya. sekarang hobi itu ingin sekali saya asah...supaya apa yang saya fikirkan bisa saya tuangkan dan semoga dapat berguna

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Adakah Idul Fitri Milik Bitumi?

15 Agustus 2012   10:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:44 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ada bocah meluruskan kaki di tengah malam menjelang sahur

kakinya nampak dingin dan kaku

senyumnya pucat

dan wajahnya pasi

bibirnya bergemeretuk habis ditampar udara malam dan angin dingin

ibunya diseberang jalan

didekat lampu merah gedung tua

namanya bitumi

rambutnya beruban dicepol seadanya

berdiri merapat pada mobil mobil yang sengaja berhenti

karna lampu merah dekat gedung tua itu menyala

dia mengemis...

tangan tuanya saling ditumpang dengan wajah yang dibuat memelas

agar 60 detik kemudian ada selembar uang atau sekeping receh bisa tersembul dari balik kaca mobil mewah

begitu berulang sampai dirasa cukup

atau mungkin sampai mobilnya habis

kapan ? ? entah...

bitumi menyeberang

menemui anaknya yang membeku

"ini nasi wartegnya nak, sahur sana..."

si anak membuka bungkusan, bibirnya membiru

sungguh sebenaranya dia ingin dipeluk

tapi bitumi kembali menyeberang

giat mengemis demi menu warteg yang berbeda saat berbuka esok

atau demi tiga lembar baju baru sisa eksport yang bisa ditukar dengan uang sepuluh ribu rupiah di pasar senen

si anak makan lahap

bibir birunya sedikit memerah

lalu teriak "ibu..ibu.. mana minumnya, aku haus  sebentar lagi imsak"

bitumi tak dengar

dirinya sibuk merapatkan diri pada mobil mobil yang tertahan lampu merah

bocah itupun berlari menembus malam menuju sebrang

ada empat jalan arah bulak balik yang harus dilewatinya demi menemui sang ibu

pada jalan yang ke dua

mobil melaju kencang dan lampu merah di dekat gedung tua itu masih tiga puluh enam detik lagi menyala

bocah itu bersimbah darah

bibirnya kembali biru

dan tangannya membeku

kali ini untuk selamanya

lebaran esok berganti pedih

padahal ini sudah hari ke dua puluh enam

bitumi yang giat mengemis itu harus pasrah anak semata wayangnya dilindas kejam

tangis memuncah

mengerang kencang membelah subuh

imsak tak lagi minum

hanya airmata tertelan paksa

mampukah kita melawan nasib

demi menu warteg yang berbeda di esok harinya

demi baju lebaran berwarna hijau nan cerah

bukankah harusnya bitumi sedang tidur lelap bersama sang anak sekarang

nyatanya malah mengemis karna tak ada santunan sedikitpun

tak ada yang peduli secuilpun

bahkan tak ada penerimaan sedikitpun

langit biru adalah atap rumah bitumi

dan gorong gorong adalah penggantinya dikala hujan pecah mengaduk langit

Idul fitri harusnya mampu menjadi kemenangan dan bukan kemeriahan

harusnya juga mampu milik bitumi dan anaknya

ataukah saat ini hanya mampu menjadi milik orang orang di dalam kaca mobil mewah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun