Mohon tunggu...
Hyude Ekowa
Hyude Ekowa Mohon Tunggu... Novelis - Donatur Inspirasi

Penulis sederhana, dengan konsep dinamika dan plot twist yang complicated. Selalu dikritik karena menulis skripsi malah seperti novel. Anehnya, Sekarang, menulis novel dengan latar belakang dan dasar pustaka bak skripsi. Sangat ilmiah. Mengalir dan impressive. -------------------------------------- Penggila kopi, membaca, dan tidur satu ini, mengaku jenius sejak lahir yang selalu rangking satu di sekolah dasar. Namun IQ di atas rata-rata nya harus jongkok ketika ia berada di sekolah lanjutan tingkat pertama. Imaginasi liar yang tertolak dalam realitas logika, dimana masa remaja yang sudah mulai terbangun. Sekolah bagaimanapun juga harus tetap belajar dan disiplin berlatih. Begitu sering terbanting oleh hidup, tp berjuang bangkit lagi. Karena setiap dari 9/10 kita jatuh, dihina, diremehkan, direndahkan, dan tak dianggap, maka yakinlah 1/10-nya adalah akan ada pertolongan Tuhan. -------------------------------- Lahir di Pati. Di sebuah desa tengah perkebunan tebu dan sawah-sawah, di pinggiran hutan kaki gunung, namun tak jauh dari sungai dan lautan. Ia tumbuh dengan kelebihan multipel intelejensi dan kecerdasan yang laduni atau alamiah. Sayangnya, sama sekali tidak expertise dalam hal apapun, Sama sekali. Hanya saja, Semua kawan-kawannya setuju, dia penulis yang pantang menyerah, sangat terampil dalam hal teori, bahasa kasarnya sangat terampil dalam hal alesan. Sekali lagi karena dia pembaca dan pembelajar yang bar-bar. Pencari solusi yang cerdik, ulung, unik, tak terprediksi, dan di luar nalar. Bagi dia, menulis adalah mengukir sejarah. Menulis adalah panggilan Tuhan. Menulis adalah cara berdaya-manfaat untuk sesama. Dan bagi dia, menulis adalah bentuk berjuang untuk rakyat, masyarakat, Bangsa dan Negara. Maaf banyak bualan yang ter-sampaikan dalam biografi saya, karena memang kenyataanya tidak banyak prestasi yang diraih sebagai seorang penulis. Meski demikian, saya sangat mengapresiasi dan berterimakasih sekali teman-teman semua sudah membaca sampai kata terakhir ini. Alhamdulillah, Puji Tuhan. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Detektif Skenario Kertas Kematian

23 Mei 2021   21:32 Diperbarui: 23 Mei 2021   21:52 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dialami dari kisah nyata yang sampai sekarang masih belum berani saya ceritakan. Kali ini, semoga bisa berbagi makna dengan para pembaca kompasiana yang budiman sekalian. Tentunya semua tokoh dan tempat, dalam fiksi ini adalah bukan nama yang sebenarnya. Terimakasih.

Kematian, mungkin sebagian orang mengatakannya sebagai sebuah rahasia yang paling gelap dalam hidup, getir, kelam, dan sedikit sekali jawaban tentang apa itu mati. Dalam sebuah buku Definition Of Death, para pakar biologi, fisikawan, dan beberapa ilmuwan kimia menyebutkan bahwa mati merupakan penghentian permanen dari semua fungsi vital atau proses kehidupan pada sebuah organisme atau sel. Tapi, tetap saja, bagiku mati adalah awal dari sebuah akhir, tentunya bukan dengan cara yang disengaja, karena itu bukan kuasa kita. Seperti setahun lalu, di atas atap gedung kampus ini, di gelap malam tepat pada jam-jam ini, seorang mahasiswi perempuan jatuh dari atap lantai ujung tertinggi gedung. Meskipun ada beberapa sumber yang mengatakan ia bunuh diri, sebagian yang lain bilang kematiannya adalah sekenario pembunuhan yang disebabkan masalah cinta, bahkan yang lain yang lebih gila lagi mengatakan kematiannya adalah karena kutukan setan penjaga atap gedung ini. Entahlah. Bukan semua itu yang ada di otakku sekarang.

Aku hanya khawatir, sangat khawatir. Karena perempuan yang mengisi relung terdalam hatiku (meskipun ia tak pernah tahu) sedang termenung di tepi atap gedung kampus malam ini. Aku tak mampu melangkah, tak mampu berkata. Sangat tak mampu malah. Semua kacau dalam otakku. Semakin kuat aku berusaha melangkah, semakin lemah kakiku seperti tak bernyawa. Beberapa analisis teori berhamburan dalam bayanganku, barangkali bisa membantu. Entah tentang psikiologi remaja mungkin? Persamaan-persamaan fisika yang boleh jadi bisa kuterapkan di sini, prediksi arah angin mungkinkah berpengaruh? Dan kenapa transformasi rasi bintang pun yang biasanya kuharapkan mampu memberiku petunjuk apa yang harus kulakukan saat ini. Sekali lagi aku tak tahu, sangat tidak tahu. Aku tidak bisa apa-apa.

*********************

"Eh, nggak perlu dilihatin mulu gitu.... Kalau lo tertarik? Kenalan aja Yud, gue kenal teman dekatnya kok! Namanya Hana. Biasa, gebetan baru gue, bujubune benar-benar cantik gila tuh si Hana. Seluruh kampus ntu sudah pada kenal siapa yang namanya Hana, bakalan beruntung banget dah gue kalau bisa jadiin dia pacar, udah cantik, pintar, baik, frendly banget orangnya. Sempurna dah pokoknya, " Sapa Mikah, teman kuliahku, satu angkatan namun beda program studi, asal dari Jakarta, orang betawi asli sedangkan aku dari Semarang, dan dia juga terkenal playboy, kita teman baik, karena memang sejak awal masuk kuliah kita sudah bareng.

Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja dia muncul didepan meja makanku. Mengganggu makan malam yang memang setiap hari kulakukan di warung ini. Warung depan kosannya, kosan Nimma.

"Siapa yang lihat Nimma... wong saya lagi mengingat-ingat sesuatu e," kataku berusaha menyangkal. Sekalipun kelihatan sekali itu alasan yang memang paling bodoh untuk menyangkal. Siapa juga yang bisa tahan? Untuk tidak memandang paras ranum seseorang yang disukai, jika jelas-jelas di depannya sedang ada orang yang selalu dirindukan. Senyumnya begitu indah, sangat indah. Tapi, nampaknya Nimma sedang tidak tersenyum malam ini.

"Nah ntu, lo mengakui! Siapa juga yang bilang lo ngeliatin Nimma, udah ngaku aje, hahahaaaa... Teman gue bisa juga suka cewek! Gue kira hidup lo bakal lo habisin buat baca buku sama di perpus aja Yud, ngerjain tugas, ikut kompetisi ilmiah, jaga lab, oiya bikin laporan terus mimpin rapat... dah ga berwarna banget hidup lo Yud, gue benar-benar bersyukur lo mau ngelihatin cewek.... untung ma..."

"Bu, sudah bu! Nasi, sayur, gorengannya dua, sa..." Aku berdiri,  belum selesai aku memutus kata-kata Mikah, dia sudah menarik tanganku untuk duduk kembali. Teknik seperti ini sering aku lakukan untuk membuatnya diam, karena kalau sampai Mikah sudah tertawa sambil meledek, sudah pasti sampai satu jam dia juga tidak akan berhenti tertawa sambil bicara terus-terusan.

"Iya, iya masbro.... Gue taubat dah,  kagak lagi-lagi..."

Aku tersenyum, mengangkat bahu, merasa menang, dan duduk kembali.

Tepat sebelum tubuhku sempurna dalam posisi duduk, ia beranjak keluar dari kos, berjalan dengan wajah menunduk, nampak murung. Nimma menjatuhkan sebuah kertas dari saku jaket merahnya saat ia mengambil handphone. Tampaknya ia terburu-buru pergi. Wajahnya kusut seperti sedang memikirkan sesuatu.

Aku akan segera mengambil kertas yang jatuh itu, selagi ia belum terlalu jauh. Mungkin saja ini kesempatan yang Tuhan berikan padaku (untuk berkenalan). Karena sekalipun aku selalu memperhatikannya, aku tak berani sedikitpun menyapa.

Jarak warung makan ini dengan kosan Nimma hanya dibatasi oleh jalan raya, halaman kosannya yang luas, dan juga bunga-bunga hias cantik yang ditanam mbak Iana si penjaga kos (kata orang-orang sekitar, ia penjaga kos paling galak sepanjang sejarah, tapi untungnya cantik). Jadi,  meskipun aku bisa dengan jelas memandang ke arah kos, belum tentu penghuni kos itu dengan jelas memandang kesini. Lagipula Nimma memakai kacamata, jadi kukira posisiku aman, dan siapa pula yang akan tahu? Sekalipun ia menoleh kesini toh ia tak mengenalku.

"Yudo... mau kemana lo Yud! Ah ni anak, masak beneran ngambek gara-gara dikecengin sama cewek, Heran gue," teriak pelan Mikah saat aku berjalan menuju kertas itu.

Kertas sudah di tanganku, aku ingin membaca apa yang ada di lipatan ini, ah tidak! Aku tak ada hak untuk membacanya. Tapi, entah kenapa setan di depanku terus berbisik dalam pikiran, 'baca saja, nanti kan bisa bilang belum dibuka-buka kertasnya'. Alangkah dungunya setan ini, tentu saja aku langsung membalas membisikkan dalam hati, 'hubungan yang baik harus diawali dengan kejujuran, karena dimana-mana sesuatu yang diawali dengan kebohongan pasti endingnya tidak enak'. Aku menghembus napas dalam, sekali lagi menghembuskan napas dalam-dalam. Tetap saja surat itu aku baca! Dimana-mana yang namanya setan memang pandai menggoda, karena kelebihan mereka adalah hasil akhir bukan kemenangan sesaat, seperti yang kurasakan baru saja.

"Pyuurrrrr...."

"Eh, punten mas. Maaf, maaf banget, saya ndak sengaja mas... maaf, maaf..." Seorang ibu-ibu jamu, entah bagaimana bisa tersandung dan menumpahkan ember tempat air untuk mencuci gelas. Menumpahkan air ke kertas yang sedang aku lihat.

"Aishhh, " aku berdesis pelan, masih terduduk belum sadar melihat apa yang terjadi.

"Maaf mas, maaf... punten ma'aaaaf banget." Ibu itu terburu-buru dan berlalu begitu saja.

"Basah," aku bergumam sejenak.

Kertas itu basah, bagaimana ceritanya kalau begini. Pentingkah kertas ini? Berharga atau tidakkah kertas lembek dan lusuh tak berbentuk yang kupegang ini? Ataukah hanya sekedar surat tak berharga dari kerabat tentang kabar keadaan? Mungkin saja surat bukti warisan? Jangan-jangan hanya surat tagihan hutang? Ah, aku tidak tahu, dan ini membuatku gila. Setidaknya akan kusimpan sementara kertas tak berbentuk ini. Tapi, sedikit yang kulihat samar-samar tulisan tadi masih tersimpan di memori otakku, adalah tulisan yang mungkin mengguratkan kesedihan. Masalah baru! Bagaimana kalau dia tahu? Nimma tahu kalau aku yang menemukan kertas ini, dan membuatnya seperti ini, Mungkinkah? Tapi belum tentu juga, boleh jadi ini hanya spekulasi otakku yang di luar kendali. Out of the box.

***********************

Hari ini, Sabtu tanggal 10 Januari 2004. Setahun yang lalu adalah hari Sabtu tanggal 11 Januari 2003. Seminggu kemudian setelah tanggal itu, gadis itu meninggal jatuh dari ketinggian gedung. Sama seperti hari ini, ketika ia, gadis yang mengisi sebagian hatiku, trauma ketakutan, sedih, sesal, dan semua rasa gundah mungkin bertumpuk dalam benaknya. Kehilangan kertas yang mungkin menjadi bukti sangat penting dalam hidupnya.

***********************

"The chief function of the body is to carry the brain around, by Thomas Alfa Edison, dan yang perlu kalian ingat lagi adalah kalimat Albert Einstein 'If the facts don't fit the theory, change the facts!' Jangan pernah ragu mencoba, jawaban apapun yang kalian berikan, teori apapun yang kalian gunakan, analisis manapun yang kalian terapkan, bebas... Terserah... Asal kalian paham dan mampu menjelaskan."

"Oh iya, dan saya harap satu kelas tugasnya tidak ada yang sama... Tugas telat mengumpulkan? Tidak diterima!"

Begitu aku selesai menggantikan dosen mengisi mata kuliah Ethical Hacking di pertemuan terakhir ini, dan melampirkan beberapa tugas untuk dibagikan, aku bergegas pergi meninggalkan ruangan kelas karena ada janji yang harus segera kupenuhi. Meskipun terdengar samar-samar dari belakang, adik angkatan ada yang memanggil-manggil. Aku tak peduli, waktuku terbatas, sangat terbatas. Lagipula ketentuan tugas sudah tertulis jelas dalam lampiran, tidak ada yang perlu dipertanyakan. Waktuku terbatas, hari ini kertas itu harus kuselesaikan.

Aku sedikit melamun. Terbuyar beberapa kerumitan di otak kananku yang mengawang-awang tak jelas. Aku tak mendengar lagi suara-suara sekelilingku, aku berjalan cepat mengikuti arah kaki, tanpa peduli dunia sekitarku saat ini.

Seperti sore ini, laboratorium akan tutup jam sembilan malam seperti biasa. Mau atau tidak mau, sintesis tinta dari beberapa bahan yang kutemukan harus selesai malam ini juga, karena sudah berkali-kali aku mencoba merekayasa satu bidang ini, namun seringkali gagal. Entahlah, sejak dulu bagiku pelajaran kimia memang menyebalkan.

Jadi begini, Proses pemurnian tinta yang berbahan baku resin, sollubilizer, surfaktan, dan beberapa bahan lainya yang sebagian ada di lab, harus dilakukan dengan proses penyulingan berkala untuk mendapatkan konsentrat yang pekat dan lembut. Sehingga, nanti ketika dilakukan rekayasa penyinaran sinar ultraviolet pada kertas yang di-print dengan tinta tersebut, tintanya tidak mengalami pemudaran. Tentang untuk apa penyinaran radiasi ultraviolet akan kujelaskan nanti. Tuhan memang Maha Adil padaku, untung saja lab kimia dan lab Informatika tidak terlau jauh dengan lab Elektro dan Kedokteran. Sehingga aku leluasa berpindah dari gedung satu ke gedung lain. Selain itu, aku adalah anggota aktif Asosiasi Laboraturium. Jadi, tidak akan ada yang curiga melihatku keluar masuk lab berkali-kali.

Aku berjalan menatap tak jelas, menerawang kosong ranting pohon yang berserakan. Teringat malam itu, saat kertas itu terjatuh.

Jika aku tidak salah menganalisa, kertas Nimma itu adalah sebuah surat terakhir yang diberikan seseorang, untuk kekasihnya mungkin? Sebagai pesan perpisahan. Meskipun itu seharusnya bukan menjadi urusanku, yang menjadi pertanyaan, kenapa surat itu ada di tangan Nimma? Padahal, jelas sekali surat itu tetulis untuk Farani, gadis yang jatuh dari atap lantai ujung tertinggi gedung kampus. Ada yang bilang ia mati karena bunuh dirilah, skenario pembunuhan masalah cinta, bahkan yang lain, yang lebih gila lagi mengatakan kematiannya adalah karena kutukan setan penjaga atap gedung. Terserah, tapi kenapa harus ada Nimma dalam skenario ini?

Aku membasuh lamunanku, tugasku masih banyak. Aku harus segera ke laboraturium.

Baiklah kawan, akan sedikit kujelaskan tentang masterplan-ku tentang bagaimana aku mengembalikan kertas ini menjadi sedia kala lagi. Setelah makan malam itu, saat kutemukan kertas itu terjatuh dan basah, paginya aku memberanikan diri bertemu dengan Nimma menjelaskan semuanya. Entah kenapa ia menangis tersedu-sedu saat aku mengaku yang menemukan kertas itu. Tanpa tahu apapun penjelasannya, aku telah bertekad untuk mengembalikan kertas itu seperti semula. Asal kau tahu kawan, ia justru berseru menangis semakin terisak. Aku kembali meyakinkannya bahwa besok malam pasti surat itu akan aku kembalikan. Barulah ia sedikit menahan sesenggukannya, entah itu menangis atau tersenyum miris ia nampak beda tipis sekali. Wajahnya selalu indah untuk dipandang (bagi ku).

"Di kertas itu, ada sidik jari orang yang menjatuhkan Farani. Mungkin, jika kertas itu hilang, rusak... aku adalah orang yang paling berdosa pada dia. Setelah hampir setahun aku menahan diri karena takut, baru malam itu aku memberanikan diri untuk melapor polisi. Tetapi... Tetapi surat itu hilang... dan aku tak tahu dimana," lirih Nimma pelan dengan nafas sesenggukan, ia menyungkurkan kepalanya di atas meja.

Aku hanya terdiam, membiarkan waktu perlahan berdetak. Sepertinya ia akan bercerita sesuatu.

"Sebenarnya, ia mungkin tidak bunuh diri..." Ucapannya tertahan sejenak. Wajahnya menatap kosong.

"Waktu itu, bukuku tertinggal di ruang kelas lantai tiga. Aku baru ingat ada tugas yang harus dikumpulkan besok. Jadi, aku harus mengambil bukuku malam itu juga. Aku tidak terlalu memperhatikan, tampaknya ada suara ribut di lantai atas. Aku bergegas masuk ruangan begitu saja. Ketika aku keluar ruangan kelas, aku mendengar suara berdebam.... jatuh..."

"........" Nimma berhenti sejenak menahan sesenggukanya.

"Sebuah kertas jatuh dari atas dan meliuk-liuk terbawa angin ke depan ruangan di lantai tiga... Aku segera mengambilnya..."

"Ada suara langkah kaki yang terburu-buru turun dari tangga... Aku bersembunyi di salah satu kamar kecil yang dekat ruangan itu... Langkah kaki itu tampaknya memang terburu-buru sekali, langkah itu terhenti sejenak di depan kamar kecil tempatku bersembunyi... Seperti mencari sesuatu, lalu terburu-buru lagi bergegas turun... Lantas pergi meniggalkan gedung begitu saja."

"Saat aku keluar kamar kecil, aku merasa masih mendengar suara orang menangis di atap paling atas, mungkin itu suara seorang laki-laki..."

".........." Ia semakin basah dengan air mata, semakin dalam sesenggukan. Ingin sekali aku mengusap air mata itu. Tapi apa dayaku, aku hanya bisa memandangnya. Wajahnya selalu indah untuk dipandang (bagi ku).

"Aku berjalan turun dan segera meninggalkan gedung. Aku tak kuasa menahan takut dan bingung, serta trauma... melihat Farani tergeletak dan berlumur darah...."

"Aku ga tahu do... harus berbuat apa, aku takut.... benar-benar takut... aku malah meninggalkanya..." Ia menarik tanganku, menggenggamnya dan berusaha meyakinkan. Meraih tanganku dan memeluk dalam dekapannya. Andai saja, momen ini bukan dalam keadaan seperti ini. Pasti sudah kekecup kening jilbabnya, dan membisikkan 'Nimma, Yudo akan selalu di sini untuk Nimma'.

"Paginya, aku mendengar kejadian itu, tanpa ada orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi..."

Setelah beberapa percakapan kecil penutup pertemuan kami, ia berkata lirih padaku, minggu depan ia akan pindah ke kota Padang ikut dengan ayahnya yang bekerja di sana. Ia takut berada di sini, masih trauma. Kemudian, samar-samar ia berbisik, sebelum pergi ia ingin bertemu denganku sabtu malamnya, di gedung itu. Di atap tertinggi, lantai paling atas. Sepertinya Nimma mengerti bahasa mataku yang memandangnya dengan agak melotot heran. Bertanya, 'kenapa harus disitu? Tidak adakah tempat yang lebih seram lagi?' Ia menjawab pula dengan tatapan matanya 'aku hanya ingin memberanikan diri di tempat itu untuk terakhir kalinya, juga meminta maaf mungkin Farani mendengarku.

***********************

Hari ini, Sabtu tanggal 17 Januari 2004. Setahun yang lalu adalah hari sabtu tanggal 18 Januari 2003. Malam itu, tepat malam itu, gadis itu meninggal jatuh dari ketinggian gedung. Sama seperti hari ini, ketika ia gadis yang mengisi sebagian hatiku (meskipun ia tak pernah tahu), berdiri di tepi paling atas atap gedung kampus ini. Kehilangan kertas yang mungkin sangat berharga dalam hidupnya. Ia ingin mengucapkan kata selamat tinggal. Dan semoga tidak untuk selamanya.

***********************

Ternyata satu hari bukan waktu yang cukup untuk mengembalikan kertas itu, aku telah berbohong. Memang seperti inilah aku, selalu menganggap hal-hal dengan mudah dan sederhana untuk diselesaikan. Tapi, setidaknya sebelum ia pergi ke kota lain, aku berjanji akan mengembalikan kertas itu. Hampir satu minggu aku mencoba semua manipulasi dan rekayasa untuk mengembalikan kertas itu. Dari mulai mencari bahan baku kertas pengganti yang sesuai, hingga mengeringkan kertas Nimma yang basah dengan alat microwave oven yang ada di lab. Meskipun begitu, hasilnya masih berupa tulisan kusut tak jelas, kertas kumal, dan bentuknya yang amat buruk. Tapi itu sudah lebih dari cukup membantu. Aku mampu menyalinnya di kertas yang lebih baik dengan caraku.

Hal yang paling sulit adalah mengidentifikasi salinan sidik jari itu. Aku sampai harus berfikir selama dua hari penuh seperti orang kesurupan mencari konsep ini 'x-ray scanner'. Dengan bantuan sinar x yang biasa digunakan untuk memeriksa pasien kanker otak, tulang retak, atau apalah, yang kata mereka bilang mesin rontgen, akan dengan mudah mendapatkan bentuk salinan sidik jari itu meskipun gambar yang dihasilkan berupa gambar grayscale (gambar hitam putih seperti pada klise foto). Itu sudah cukup. Izin menggunakan alat ini di lab kedokteran adalah hal yang paling sulit dari yang lain.

Ya, aku sudah sedikit menyelamatkan kertas ini. Tapi ini masih jauh dari selesai, aku harus menyalinnya dalam kertas yang lebih baik lagi, dengan bentuk yang sama dan serupa dengan kertas Nimma. Urusan ini harus diselesaikan. Kertas itu harus dikembalikan. Karena dengan terungkapnya kasus kematian Farani, mungkin akan membuat Nimma tersenyum kembali seperti sediakala. Melepaskan Nimma dari rasa bersalah yang selama ini membelenggunya.

Jangan tanya bagaimana aku menggantinya di kertas lain, ini hanya masalah klasik. Kalau di kelas saja aku menjadi pengganti dosen matakuliah Ethical Hacking, maka untuk meniru font, bahkan membuat font serupa dengan tulisan yang ada di kertas itu, kemampuan programming-ku sudah cukup memadai. Bukan Cuma itu, aku juga mampu merekayasa print out-nya sama persis sekali dengan tulisan tangan seperti kertas Nimma. Hanya saja aku mungkin butuh waktu tiga hari dua malam untuk mengerjakannya. Semoga prediksiku tepat.

***********************

Sore ini, laboratorium akan tutup jam sembilan malam seperti biasanya lagi. Mau atau tidak mau, semuanya, sebelum aku bertemu Nimma malam nanti, janjiku harus sudah terpenuhi. Font sudah siap, rekayasa kertas sudah selesai, penyulingan tinta semoga tidak gagal lagi, x-ray scanning sidik jari sudah tercetak melekat di kertas, dan terakhir yang akan segera kulakukan adalah rekayasa penyinaran sinar ultraviolet di laboraturium Sistem Telekomunikasi. Dengan menggunakan penyinaran sinar ultraviolet skala tinggi, maka kertas yang tercetak dengan tinta konsentrat hasil sulingan, akan tampak seperti kertas yang berumur beberapa tahun yang lalu, hanya butuh pengaturan intensitas penyinarannya saja. Semakin tinggi radiasi yang dipancarkan, maka kertas akan lebih cepat mengkerut atau menjadi kusut. Seolah-olah kertas satu tahun yang lalu. Tepat satu tahun yang lalu.

***********************

Ia pasti masih menungguku di atap gedung.

Sial, aku masih harus menunggu setengah jam lagi. Jika perhitunganku tepat, maka jam 21.00 nanti pancaran radiasi harus segera dihentikan. Kertas itu telah mengalami penuaan dini, ia tepat akan berumur 355 hari. Sesuai kalkulasi matematis yang kuperhitungkan.

Trrrtttthh... Trrrtttthh...

Trrrtttthh... Trrrtttthh... Trrrtttthh...

Trrrtttthh... Trrrtttthh... Trrrtttthh... Trrrtttthh... Trrrtttthh... Trrrtttthh...

"Iya, halo ma..." Aku sampai tidak sadar handphone ku terus-terusan bergetar.

"Yudo... selamat ulang tahun nak. Maaf, mama terlambat ngucapine.... mama benar-benar belum sempat... Eyang putrimu gula darah-nya kambuh lagi. Jadi, mama sibuk sekali di sini..."

Astaga, hari ini ulang tahunku. Bagaimana bisa, aku lupa lagi hari ulang tahunku. Baru sadar, seharian aku tidak membuka handphone sama sekali. Ada dua puluh satu pesan belum dibaca, empat belas panggilan masuk, bunyi alarm notification handphone yang masih kelap-kelip. Ini benar-benar gila, sebegitu cintanyakah aku dengan Nimma, sampai-sampai seharian penuh hanya berkutat di lab ini. Seminggu malah. Aku tak tahu, yang aku tahu, mungkin aku tak rela ia tak tersenyum lagi seperti dulu. Dan bodohnya, kenapa aku yang harus merasa bersalah atas semua ini. Entahlah, aku hanya ingin melihatnya tersenyum lagi. Ibu-ibu jamu itu memang benar-benar menyebalkan. Siapa sebenarnya dia?!

***********************

Aku segera berlari menuju gedung itu, hanya butuh lima belas menit untuk sampai di sana. Kertas ini milik Nimma. Aku harus memenuhi janji.

Tuhan, apalagi ini? Di tengah perjalanan, di depan salah satu gedung kampus, semua orang mengerumuniku. Semua teman-temanku kenapa berkumpul di sini? Aku sejenak teringat sekilas isi pesan singkat yang ada di handphone tadi. Ternyata mereka menungguku di sini. Ah, kebetulan apa lagi ini?! Aku tak mungkin mengabaikan Nimma, lebih tidak mungkin  lagi meninggalkan mereka semua. Waktu, waktuku terbatas.

"Lo datang lebih awal, Yud!" Sapa Mikah, pasti ia dalang dan sekaligus provokator yang mengadakan acara ini, mengumpulkan teman-teman di depan kampus ini, dan pasti ada kejutan gila yang ia siapkan.

"Biasanya lo telat mulu, Yud... Ah, lo belum mandi ya! Uhh, ini lagi, perasaan lo belum ganti baju juga dari tadi pagi kayaknya," tambahnya.

"Nimma," aku berseru pelan, menunduk, seolah sudah pasrah Mikah akan mengolok-olokku lagi. Kumohon, kumohon kali ini mengerti keadaanku. Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Aku harus menyelesaikan janjiku.

"Hoe teman-teman! Mohon perhatiannye sebentar... Kesini semua, kesini semua! Temen kite, Yudo, professor kite, bapak pendidikan kite ini, punya kejutan yang tak akan pernah kite duga-duga!" Mikah berteriak penuh semangat, yang di depan berseru-seru girang, riuh penuh suara, tertawa lepas.

"Sepuluh menit lagi die akan ke sini dengan kekasihnye!" Mikah berteriak lagi.

Suara di depan semakin riuh tak terkira. Semakin keras, semakin tertawa lepas.

"Awas, Yud!" Tangan Mikah mendorong bahuku. Sebuah lemparan telur tidak sabaran mengenai baju Mikah. Ia berusaha menahan kejutan dari teman-teman (versi Mikah, menurutku itu siksaan bukan kejutan).

"Lo ga mau kan kertas Nimma basah lagi? Bukan cuma basah malah kayaknye! Kalo sampai teman-teman lain ikut ngelemparin lagi. Inget! Lo cuma punya waktu sepuluh menit, Yud..." Ia nyengir.

Aku tersenyum, sedikit menepuk bahunya keras, kepalanya juga. Ia memang teman yang cukup bisa diandalkan, meskipun seringnya menyusahkan. Aku berlari sekuat tenaga menuju gedung atap paling tinggi. Nimma sudah menungguku, aku harap ia masih di sana.

***********************

Tetap saja! Tak ada gunanya analisis teori berhamburan dalam bayangan. Psikologi remaja tak penting di sini. Persamaan-persamaan fisika yang boleh jadi bisa diterapkan tak berarti. Prediksi arah angin sama sekali tak berpengaruh, tak ada angin disini, sepi, sunyi. Transformasi rasi bintang pun tak mampu memberiku petunjuk sedikitpun tentang apa yang harus kulakukan. Karena memang aku tak mampu berkata apa-apa di lantai atap paling ujung gedung ini. Apalagi melangkah, kakiku mati. Begitulah, selalu saja perempuan mempunyai pesonanya sendiri untuk membuat lelaki tak berdaya. Aku beruntung, jantungku masih berdetak, meskipun nafasku naik turun. Karena, seketika itu setelah aku sampai di ujung atap gedung ini, ia menyeka air matanya dan berdiri menatapku. Tampaknya, sejak dari tadi ia berdiri di sana, menatap kosong kedepan, menunggu kehadiranku. Kini, ia berlari memelukku. Memelukku erat sekali, semoga bukan pelukkan yang terakhir. Kertas ini sempurna kukembalikan seperti sedia kala, dan janjiku terpenuhi.

"Terima kasih," bisik Nimma pelan di telingaku.

[Closing Statement: Silakan bagi yang ingin berkomentar untuk kisah ini, masih banyak lanjutan yang saya ragu untuk berbagi. Karena sampai tulisan ini diposting, orang-orang dalam kisah ini memang masih hidup semua sampai sekarang. Juga silakan cek, bahwa pasti ada di salah satu gedung perguruan tinggi di Negeri ini, yang lantai paling atasnya ada yang memang sangat angker sekali.]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun