Aku tersenyum, mengangkat bahu, merasa menang, dan duduk kembali.
Tepat sebelum tubuhku sempurna dalam posisi duduk, ia beranjak keluar dari kos, berjalan dengan wajah menunduk, nampak murung. Nimma menjatuhkan sebuah kertas dari saku jaket merahnya saat ia mengambil handphone. Tampaknya ia terburu-buru pergi. Wajahnya kusut seperti sedang memikirkan sesuatu.
Aku akan segera mengambil kertas yang jatuh itu, selagi ia belum terlalu jauh. Mungkin saja ini kesempatan yang Tuhan berikan padaku (untuk berkenalan). Karena sekalipun aku selalu memperhatikannya, aku tak berani sedikitpun menyapa.
Jarak warung makan ini dengan kosan Nimma hanya dibatasi oleh jalan raya, halaman kosannya yang luas, dan juga bunga-bunga hias cantik yang ditanam mbak Iana si penjaga kos (kata orang-orang sekitar, ia penjaga kos paling galak sepanjang sejarah, tapi untungnya cantik). Jadi, Â meskipun aku bisa dengan jelas memandang ke arah kos, belum tentu penghuni kos itu dengan jelas memandang kesini. Lagipula Nimma memakai kacamata, jadi kukira posisiku aman, dan siapa pula yang akan tahu? Sekalipun ia menoleh kesini toh ia tak mengenalku.
"Yudo... mau kemana lo Yud! Ah ni anak, masak beneran ngambek gara-gara dikecengin sama cewek, Heran gue," teriak pelan Mikah saat aku berjalan menuju kertas itu.
Kertas sudah di tanganku, aku ingin membaca apa yang ada di lipatan ini, ah tidak! Aku tak ada hak untuk membacanya. Tapi, entah kenapa setan di depanku terus berbisik dalam pikiran, 'baca saja, nanti kan bisa bilang belum dibuka-buka kertasnya'. Alangkah dungunya setan ini, tentu saja aku langsung membalas membisikkan dalam hati, 'hubungan yang baik harus diawali dengan kejujuran, karena dimana-mana sesuatu yang diawali dengan kebohongan pasti endingnya tidak enak'. Aku menghembus napas dalam, sekali lagi menghembuskan napas dalam-dalam. Tetap saja surat itu aku baca! Dimana-mana yang namanya setan memang pandai menggoda, karena kelebihan mereka adalah hasil akhir bukan kemenangan sesaat, seperti yang kurasakan baru saja.
"Pyuurrrrr...."
"Eh, punten mas. Maaf, maaf banget, saya ndak sengaja mas... maaf, maaf..." Seorang ibu-ibu jamu, entah bagaimana bisa tersandung dan menumpahkan ember tempat air untuk mencuci gelas. Menumpahkan air ke kertas yang sedang aku lihat.
"Aishhh, " aku berdesis pelan, masih terduduk belum sadar melihat apa yang terjadi.
"Maaf mas, maaf... punten ma'aaaaf banget." Ibu itu terburu-buru dan berlalu begitu saja.
"Basah," aku bergumam sejenak.