Astaga, hari ini ulang tahunku. Bagaimana bisa, aku lupa lagi hari ulang tahunku. Baru sadar, seharian aku tidak membuka handphone sama sekali. Ada dua puluh satu pesan belum dibaca, empat belas panggilan masuk, bunyi alarm notification handphone yang masih kelap-kelip. Ini benar-benar gila, sebegitu cintanyakah aku dengan Nimma, sampai-sampai seharian penuh hanya berkutat di lab ini. Seminggu malah. Aku tak tahu, yang aku tahu, mungkin aku tak rela ia tak tersenyum lagi seperti dulu. Dan bodohnya, kenapa aku yang harus merasa bersalah atas semua ini. Entahlah, aku hanya ingin melihatnya tersenyum lagi. Ibu-ibu jamu itu memang benar-benar menyebalkan. Siapa sebenarnya dia?!
***********************
Aku segera berlari menuju gedung itu, hanya butuh lima belas menit untuk sampai di sana. Kertas ini milik Nimma. Aku harus memenuhi janji.
Tuhan, apalagi ini? Di tengah perjalanan, di depan salah satu gedung kampus, semua orang mengerumuniku. Semua teman-temanku kenapa berkumpul di sini? Aku sejenak teringat sekilas isi pesan singkat yang ada di handphone tadi. Ternyata mereka menungguku di sini. Ah, kebetulan apa lagi ini?! Aku tak mungkin mengabaikan Nimma, lebih tidak mungkin  lagi meninggalkan mereka semua. Waktu, waktuku terbatas.
"Lo datang lebih awal, Yud!" Sapa Mikah, pasti ia dalang dan sekaligus provokator yang mengadakan acara ini, mengumpulkan teman-teman di depan kampus ini, dan pasti ada kejutan gila yang ia siapkan.
"Biasanya lo telat mulu, Yud... Ah, lo belum mandi ya! Uhh, ini lagi, perasaan lo belum ganti baju juga dari tadi pagi kayaknya," tambahnya.
"Nimma," aku berseru pelan, menunduk, seolah sudah pasrah Mikah akan mengolok-olokku lagi. Kumohon, kumohon kali ini mengerti keadaanku. Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Aku harus menyelesaikan janjiku.
"Hoe teman-teman! Mohon perhatiannye sebentar... Kesini semua, kesini semua! Temen kite, Yudo, professor kite, bapak pendidikan kite ini, punya kejutan yang tak akan pernah kite duga-duga!" Mikah berteriak penuh semangat, yang di depan berseru-seru girang, riuh penuh suara, tertawa lepas.
"Sepuluh menit lagi die akan ke sini dengan kekasihnye!" Mikah berteriak lagi.
Suara di depan semakin riuh tak terkira. Semakin keras, semakin tertawa lepas.
"Awas, Yud!" Tangan Mikah mendorong bahuku. Sebuah lemparan telur tidak sabaran mengenai baju Mikah. Ia berusaha menahan kejutan dari teman-teman (versi Mikah, menurutku itu siksaan bukan kejutan).