Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Penjual Jamu yang Masuk di Sekolah Elite

12 November 2018   02:01 Diperbarui: 12 November 2018   03:57 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Takdir telah menyeretku

Dalam istana megah yang tak terkira

Segala suguhan kemewahan di depan mata

Namun aku hanya upik abu

Yang berbeda jauh dengan para puteri raja

Aku pun tak patut mendapat cinta putera mahkota

Hanya karena kasta

===

Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya.  Jingga mulai sedikit merekah merenggut birunya langit.  Daun pohon jatuh berserakan diterpa angin sepoi.  Burung-burung mulai mencicit mencari makanan kesana kemari.  Tentu saja sang jago tak absen membangunkan tiap insan yang masih terlelap dalam buaian mimpi. 

"Rara,  sudah siap? " tanya ibu Rara sembari melihat anaknya berkaca di kamar, anak pertamanya itu akan masuk SMP.  Karena nilai ujiannya bagus maka Rara dengan mudahnya diterima di sekolah tervaforit di Surabaya. 

Beberapa minggu yang lalu,  Rara sempat ke sekolah barunya.  Ditemani ibunya,  dirinya mengambil perlengkapan seragam di sekolah. Walaupun warnanya biru putih namun model seragam yang digunakan di sekolah ini berbeda dengan SMP kebanyakan.  Kalau kemeja sih sama,  tapi model roknya berbeda. 

Rara mengagumi bangunan megah sekolah barunya.  Baru kali ini dirinya melihat sekolah seluas dan seindah itu.  Berasal dari sekolah dasar yang berada di kampungan,  membuat Rara mencolok sekali. Tatapannya,  sikapnya,  berbeda dengan kebanyakan teman yang ditemuinya. 

"Nanti dianter Bapak ya" kata ibu Rara. 

"Memangnya ibu tidak mau mengantar? "

"Mau naik apa?  Kalau diantar Bapak kan bisa naik sepeda.  Nah kalau sama Ibu mesti naik angkutan umum."

Rara membayangkan dirinya diantar Bapaknya menggunakan sepeda lawas yang berwarna merah.  Jelas itu akan sangat mencolok ditengah teman-temannya yang kebanyakan diantar menggunakan mobil. 

Namun Rara tidak ada pilihan lain.  Lagipula ibu harus meramu sinom untuk jualan jamu Bapaknya nanti sore. 

"Sekarang saja Bu nganternya"

"Tapi kamu belum sarapan Nduk"

"Nggak apa-apa Bu"

Wanita yang berusia tiga puluh lima tahun tersebut menatap mata anaknya. 

"Jujur sama Ibu,  kamu malu kan kalau diantar Bapak naik sepeda ontel"

Ah ibu selalu bisa membaca pikirannya. Rara hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. 

"Rara,  setiap manusia itu kedudukannya sama di hadapan Tuhan.  Yang membedakan hanya tingkat ketaqwaannya saja.  Rara tidak perlu malu karena hanya berasal dari keluarga penjual jamu. Rara harus tetap rajin belajar dan rajin sholatnya. Ibu yakin Rara bisa sama hebatnya dengan teman-teman Rara"

"Hebat? "

"Iya Rara,  ketika kamu diterima di sekolah ini,  peluang untuk masuk perguruan tinggi negeri akan terbuka lebar.  Kamu mau kan masuk SMA komplek,  lalu kuliah"

"Iya Bu.  Rara mau menjadi dokter atau enjineer"

Ibu Rara memegang bahu anaknya,  "Jadilah anak yang hebat sayang.  Ibu yakin kamu pasti bisa"

Dan di hari pertama sekolah di sana,  nyali Rara menciut. Namun ternyata semua yang dibayangkan Rara tidak ada satupun yang terjadi.  Anak-anak orang kaya tersebut malah lebih ramah dan sopan.  Rara pun memiliki banyak teman.  

Di semester pertama Rara mendapatkan peringkat kedua di kelas.  Itu adalah prestasi yang sangat membanggakan. Mengingat dirinya sejak TK hingga SD selalu bersekolah di kampung. 

===

Setiap berangkat sekolah dan pulang sekolah Rara selalu dijemput Bapaknya menggunakan sepeda lawas berwarna merah. Rara tidak lagi malu pada teman-temannya.  Bahkan kebanyakan orangtua teman-temannya malah mengajak Bapaknya kenalan.  Mereka takjub dengan kehidupan sederhana Rara dan keluarganya.

Suatu hari... 

Sebuah mobil terparkir di dekat sepeda Bapaknya.  Seorang wanita cantik keluar dari mobil tersebut.  Di sampingnya ada seorang lelaki kurus kering dengan banyak jerawat di pipinya. 

"Rara ya... "tegur wanita itu

"Iya Bu... " Rara mencium tangan wanita tersebut. Rara selalu menganggap orangtua temannya adalah orangtuanya juga,  yang wajib dihormati. 

"Saya Mamanya Aditya"

Ya,  Rara jelas mengenali wanita tersebut.  Toh Aditya adalah ketua kelas yang selalu suka mendekatinya.  Entah apakah benar-benar suka ataukah hanya menggoda saja.  Toh lelaki setampan Aditya mana mungkin jatuh hati pada wanita berkulit sawo matang seperti dia. 

"Ini Masnya Aditya... Namanya Permana"

Lelaki kurus kering dengan banyak jerawat tersebut tersenyum manis pada Rara.  Sungguh berbeda dengan Aditya yang berwajah tampan dan masih bisa dibilang sopan. Lelaki bernama Permana ini lebih urakan dengan gayanya yang nyeleneh. 

"Jadi ini Ma,  yang namanya Rara?" tanya lelaki bernama Pramana

"Iya,  manis kan? " jawab ibu tersebut. 

Rara menangkap ada sesuatu yang disembunyikan oleh ibu Aditya tersebut.  Namun dirinya memilih diam. 

"Kamu hebat ya bisa bertahan di sekolah elite seperti ini" kata Pramana.

"Iya Mas.  Teman-teman disini baik semuanya.  Termasuk Aditya"

"Kamu naksir adikku? "

Rara menggeleng. 

"Kasihan sekali Aditya,  bahkan anak penjual jamu pun menolaknya"

Rara terdiam.  Entah apakah lelaki itu hanya bercanda atau tidak.  Tapi perkataannya itu menyinggung perasaan Rara. 

Dan Rara tidak pernah tahu enam tahun kemudian dirinya harus berhadapan dengan lelaki bernama Pramana dan kelak dirinya bisa jadi jatuh hati pada lelaki yang sombong tersebut. 

Ibu Aditya memegang pipi Rara,  "Nggak usah didengarkan ya Rara. Pramana memang begitu,  sangat berbeda dengan Aditya, sifat dan sikapnya"

Ibu Aditya memeluk Rara.  Aliran kasih sayang mampu Rara rasakan di hatinya.  Wanita itu berhati sangat lembut. 

Dan sekali lagi Rara tidak pernah tahu kelembutan kasih tersebut akan meninggalkan bekas luka mendalam di hati Rara. 

Ah...upik abu tidak usah berandai-andai menjadi Cinderella

(bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun