"Gue udah coba mendekati Kak Lana, tapi Kak Lana selalu aja nolak gue. Katanya ada pria lain yang dia suka. Gak masuk akal kan, Kak. Kalau emang ada, fix jadi pria paling beruntung sih." ungkap Candra yang membuat Juan tertegun.
"Bentar. Lelaki yang Lana suka. Dia ada kasih tau ga siapa?" tanya Juan. Juan tergoda. Ia merasakan kebanggaan yang sulit dijelaskan. Sial. Pesona Lana terlalu kuat. Padahal tahu kenyataannya, namun tak juga menyadarkannya.Â
"Engga. Cuman gue ga akan nyerah sih." ujar Candra tak kalah berapi-api.Â
"Gimana kalau dia ga sesuai ekspektasi lu, Can? Gimana kalau dia ternyata, dia ternyata. Ck. Pokoknya jangan Lana lah." kesal Juan sambil berlalu meninggalkan Candra.Â
Juan kesal dengan sifat Candra yang keras kepala. Pokoknya jangan salahkan Juan, jika sesuatu terjadi pada Candra suatu saat nanti. Ia sudah coba memperingatkan.Â
Mendekati istirahat, Juan bergegas pergi ke rooftop kantor. Mencoba menikmati pemandangan sembari memakan bekal makan siangnya. Namun saat ia mencoba melihat ke arah bawah, ia melihat Lana dan Candra yang berjalan beriringan ke arah kedai kopi di dekat kantor mereka.
Lana terlihat tertawa. Juan gamang. Ia tak suka. Perasaan kesal yang coba ia tutupi sendiri sedari tadi, sekarang terlihat jelas. Juan menghela nafas berat.Â
"J, apa kamu gila? Apa kamu segitu gilanya dengan Lana? Kamu tahu kenyataannya tapi kamu masih saja mencintainya. J. Kamu betulan bakal pergi ke neraka." Juan tersenyum tipis, sembari meneguk secangkir espresso kesukaannya.Â
#############
Keesokan harinya. Juan berniat untuk mendekati Lana kembali. Ia takut tapi hatinya terus tertaut dengan Lana. Segala kenangan itu terus menghantuinya. Tawa Lana. Seluruhnya.Â
Namun, saat ingin menyapanya. Langkahnya terhenti. Candra sudah lebih dulu menghampirinya. Ia membawa beberapa vitamin dan sebotol air yang kemudian ia tawarkan kepada Lana. Lana hanya menerimanya sembari mengucapkan terima kasih.Â