Lama Juan menanti. Hingga tibalah jam makan siang. Bergegas ia tinggalkan kursi kerjanya. Meninggalkan Candra yang sedari tadi mengajaknya bicara.Â
Di rooftop, angin berhembus cukup kencang. Mengenai rambut panjang Lana yang tergerai. Tetap dilihat berapa kalipun, Lana memang sangat cantik. Ia tersenyum simpul.Â
Lana berbalik menghadap Juan.Â
"Juan ada apa ini? Apa maksud kamu menanyakan apa yang bisa kamu bantu?" tanya Lana. Mencoba mencari jawaban atas tiap pertanyaan yang mengganjalnya sedari tadi.Â
"Aku tidak bisa melihatmu menderita seperti ini. Katakan saja apa yang bisa aku lakukan untukmu?" jawab Juan sambil mendekati gadis itu.Â
"Hahaha. Jangan becanda Juan. Baru beberapa hari lalu, kamu memandangku dengan raut wajah ketakutan dan keengganan. Sekarang kamu bertanya seolah peduli padaku. Sebenarnya apa ini?" Lana memandang netra Juan dengan penuh keraguan. Ia tidak marah. Hanya saja semua ini terlalu mencurigakan. Ia tersenyum sinis.Â
"Maafkan aku. Sepertinya aku membuat kesalahan besar beberapa hari ini. Tapi sepertinya, saat ini aku sudah yakin. Aku ingin bersamamu. Aku ingin menemanimu. Aku tidak bisa melihatmu tertawa karena orang lain. Candra mendekatimu bukan? Aku tak suka. Sudut hatiku tak mau menerimanya. Aku masih mencintaimu." ujar Juan panjang lebar. Ia mendekati Lana sembari menjabat tangannya. Berharap Lana masih mau bersamanya.Â
"Juan. Jangan bercanda. Apa tidak cukup kamu menyakiti hatiku dengan tatapanmu selama ini. Perkataanmu. Lalu sekarang, seolah tak terjadi apa-apa. Kamu berharap semua akan kembali normal? Tidak. Aku kuyang. Aku setan, seperti yang kamu bilang. Jadi mari menganggap begitu." Lana beranjak pergi, namun lengannya sudah lebih dulu ditahan oleh Juan.Â
"Lana aku serius."Â
Lana tak peduli dengan ucapan Juan yang baginya hanya omong kosong. Ia hempaskan tangan Juan ke udara. Sesekali ia hembuskan nafas kasar.Â
"Baiklah. Datanglah ke rumahku nanti malam. Mari kita lihat keteguhanmu."