“Mengapa ke gereja?”
“Menurutmu, kemana kau menyerahkan segala kekhawatiranmu?”
Wanita itu tentu menghubungi Ruben selepas kami pergi. Seandainya itu terjadi, aku berharap bertemu dengan Ruben. Kepanikan wanita itu seakan mewakilkan kecemasan para terduga atas kasus yang sedang kami selidiki. Hanya menunggu waktu. Selama ini, bukan hanya dia saja, terduga lain merasa leluasa tak tersentuh oleh kami. Ruben seperti berada dalam permainan judi, tebakan sial baginya. Dia yang pertama dicari.
Kami tiba. Firasatku semakin benar. Dua mobil mewah sedang terparkir di halaman. Aku bergegas turun. Dorbi menantiku di depan pintu gereja. Aku membuka pintu, perlahan tanpa tergesa-gesa. Pintu ini lebih tua dari usiaku. Bunyi nyernyit dari engsel.
“Letakkan,” aku meninggikan suara.
Dobri menarik sesuatu dari sakunya. Pistol itu berhasil dikeluarkan. Dia langsung membidik. Aku berjalan pelan menuju altar. Aku mengangkat kedua tanganku, berjalan sendiri. Jarak kami semakin dekat.
“Dor”. Terlambat sudah. Tembakan melayang.
Darah membasahi lantai. Ruben meregang nyawa. Aku menatap Dobri, meminta dia tenang dan menurunkan senjata.
“Bapa, apa yang kau lakukan?”
Tangannya bangkit. Muncung senjata itu persis berada satu garis dengan tatapan mataku. Aku diam, tak banyak memajukkan kakiku. Tidak ada kesempatan untuk menyergap. Situasi sangat merugikan. Dobri kaku menatap kami dari belakang. Pistol yang dijepitnya siap sedia melepaskan timah panas dari dalam. Padri itu memberiku selembar surat yang baru dikeluarkan dari jubahnya. Dia menghampiriku. Perasaan takutku segera juga menurun.
“Dor.” Tembakan lagi menggemakan suara di dalam gereja. Di luar gereja para anggota terdiam kembali. Tak ada nyanyian Gregorian yang mengiringi peristiwa ini. Aku menatap Ruben lagi.