Uang tersebut, katanya, merupakan dana yang diperuntukkan untuk kegiatan sosial yang disalurkan ke berbagai lembaga pendidikan dan keagamaan. Kedua lembaga ini saling mengikat, berbaur satu sama lain dalam mengelola, hanya namanya yang berbeda. Kekesalanku bahwa siapa nama yang harus kami segera selidiki tidak begitu jelas. Perkara korupsi ini sederhana, hanya, ketika nama-nama para terduga yang kami kantongi sudah muncul ke media, kami harus bekerja penuh keringat untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kami yakini benar. Lembaga peradilan negeri ini pun sudah mahfum bahwa pengadilan yang dibuat oleh media lebih berbahaya.
Nominal sebesar itu, aku sangat yakin, bukanlah perbuatan orang yang girang karena pertama kali melihat biru laut. Licin dan penuh taktik. Marwah lembaga kepolisian dan peradilan, seberapa indah kata-kata ini, kami juga wajib pelihara. Kami sungguh pelik memahaminya. Kami mengetahui kedekatan beberapa perwira dengan para pejabat dan tokoh agama. Seperti tali yang erat mengikat mereka. Banyak yang menginginkan kota ini. Beberapa orang asing yang suka memelihara janggut panjang sampai yang asing bahasanya, mampir setidaknya aku menghitung lima kali dalam seminggu.
Tak jarang aku yang menjadi pengawal walikota. Dia berjalan bersama beberapa orang kepercayaan gereja. Pihak gereja sangat jarang menyertakan para padri dalam setiap agenda pemerintahan. Namun, sama saja. Aku mengenal siapa orang-orang yang memiliki relasi dekat dengan mereka.
Begitu tenang dan semua seakan menginginkan malam setiap harinya. Para padri disini sangat mampu mengendalikan situasi umat. Artinya, warga disini hanya mengakui satu pemimpin mereka yang sebenar-benarnya, yakni para padri dan uskup. Maka tak heran, walikota pun sebenarnya tak berbuat banyak. Segalanya harus seturut pada kehendak para padri tersebut. Mereka kaum padri dari Jesuit berpengetahuan luar biasa. Apakah kota ini sudah mendapat perlindungan Tuhan? Kau hanya perlu mencari mereka dan menemukan jawabannya.
Satu khotbah yang kuingat sekali waktu dalam misa. Katanya, “Tidak ada satupun di antara kamu yang mampu mengendalikan diri sebaik-baiknya. Kamu menginginkan kebesaran, karena kamu ingin seperti Tuhan. Sekali-kali kamu tetaplah manusia biasa.”
Selepas dari misa itu, di tempat aku mendengarkan khotbah tersebut, aku merasa seseorang mengikutiku. Ratapan tangis menghantuiku dari belakang. Aku berpaling, seorang wanita menatapku.
“Aku ingin berbicara. Entahlah, hanya kau yang saat ini aku percaya,” isaknya
Dia adalah Helen, seorang diri merawat kedua anaknya. Suaminya meninggal tiga tahun lalu saat perjalanan menuju London, Inggris. Pesawat yang ditumpanginya lenyap di samudera. Sampai sekarang dia sangat terpukul. Dia ingin menabur bunga di atas keganasan samudera, tetapi tidak bisa.
“Ceritakanlah. Apa kau masih berduka karena suamimu?”
“Tidak bukan itu. Aku sangat terpukul saat ini. Putriku merenung, tidak berkata sesuatu kepadaku. Tidak kepada seorang pun. Matanya terus terbuka sepanjang waktu. Dia terus mengurung diri di kamarnya.”
Dia tidak melanjutkan. Air matanya terus mengalir. Aku mengajaknya untuk beralih dari keramaian orang-orang yang baru saja menyelesaikan misa.