“Kapan?”
“Hari ini kita harus bergegas. Entahlah, aku pikir malam nanti. Kita memiliki banyak waktu sekarang. Biarkan aku mengaturnya.”
Suara dihantarkan angin, langit yang merah tenggelam perlahan-lahan. Lima kali, gaung lonceng bergantian menyambar langit sambil menunggu bunyi terakhir hilang di atas kota. Aku merasa yakin malam ini. Sejujurnya, aku agak terganggu dengan sikap-sikap orang-orang di sekitar sini. Barangkali, Dobri dan yang lain bisa menahan sentimen buruk, namun aku tidak demikian. Sekali lagi, apapun yang telah terjadi, aku seperti menemukan keyakinan bahwa Tuhan tidak berkehendak atas orang-orang kota ini. Mereka tidak menyadarinya, inilah kesimpulan yang aku belum bisa berterima. Harus berapa lama lagi, mereka tinggal dalam suara para penyamun? Seketika, aku merasa bersikap nasionalis di samping mempertimbangkan rasa persaudaraan dalam iman yang sama.
“Aku berada dalam barisan kedua. Beritahu Dobri untuk memimpin perjalanan kita,” aku memerintahkan salah seorang anggota.
Jumlah kami genap sepuluh. Dobri telah memegang nama dan alamatnya. Hanya aku dan Dobri yang mengetahui siapa orang yang kami cari. Perlahan kami membaur bersama gelap gulita. Bintang tidak ada gunanya bersinar. Nyala lampu kendaraan kami saling menyalip. Orang-orang hanya sepintas lalu berkendara, selebihnya kami yang beriringan melewati jalan. Badanku terdorong. Mobil berhenti tiba-tiba. Aku melihat apa yang terjadi dari dalam sini. Dobri keluar pertama, mengayunkan jemarinya. Lampu kendaraan kami padamkan. Dobri menghampiri mobil yang aku tumpangi.
“Itu rumah yang sedang kita cari. Aku kira berlima saja sudah cukup. Selebihnya mengamankan area di sekitar kita,” jelasnya dengan suara yang sangat pelan.
Aku sependapat dengannya. Rumah itu cukup asing, namun Dobry mengatakan itu rumah sekretaris Departemen Agama Kota. Aku hanya sekali waktu bertemu dengannya dalam sebuah seminar pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Atas. Ruben Herlanda, cukup sebut Ruben saja. Itu sapaan umum warga kota disini, menyebut dari nama depan.
Aku berada di depan. Dobri paling belakang. Bersamaku adalah Natam, Bendi, dan Johan. Natam pertama memulai aksi. Aku sudah memberitahu agar sebisa mungkin berlaku sopan, seperti masyarakat biasa. Benturan gembok menyentuh pagar. Rumah ini begitu menyala. Dari balik jendela, wanita paruh baya menatap kami. Tak lama kemudian, dia menemui kami.
“Selamat malam,” aku mulai pembicaraan. “Kami adalah anggota Kepolisian Kota yang hendak bertemu dengan Ruben. Apakah yang bersangkutan berada di sini?” Aku menunjukkan identitas dan lencana yang selalu kubawa setiap waktu.
Wanita itu mengalihkan pandangan. Dia melihat Natam, Johan, dan terakhir Dobri.
“Apa keperluan saudara bertemu suami saya?”